Pengantar:
Fyuhh.. Setelah sekian lama saya harus melanjutkan cerita ini lagi. Gara-gara si Yuka nih. Tapi buat Halaman Pantai apa sih yang enggak? Buat anda yang belum sempat baca cerita sebelumnya cari di sini, atau mau lihat episode 1, episode 2 dan episode 3.
Fyuhh.. Setelah sekian lama saya harus melanjutkan cerita ini lagi. Gara-gara si Yuka nih. Tapi buat Halaman Pantai apa sih yang enggak? Buat anda yang belum sempat baca cerita sebelumnya cari di sini, atau mau lihat episode 1, episode 2 dan episode 3.
Tapi rasanya cerita kali ini m,ain membosankan ya??
Bukit Taratak
Kami tentu sangat kaget mendengar
teriakan Komeng. Terutama Angga yang tidak tahu pangkal soalnya. Aku yang sedikit
lebih tahu jadi tersenyum-senyum saja melihat Anton yang bersembunyi di belakang
bangku. Ditambah lagi teriakan Komeng ke arah sebuah rumah. “Wit, Wiit, Abang
Anton mau jalan-jalan…”
Setelah mobil agak menjauh, Komeng
tertawa nyaris guling-guling di bangku mobil. “Mampus. Hutang darah berbalas
darah.” Kira-kira itulah yang hendak dia katakan.
Angga yang masih tidak mengerti
apa-apa tak kuat untuk tak bertanya.
“Biasa Bang. Tadi itu rumah pacarnya
Anton.”
Kami pun tergelak. Anton
mesem-mesem. Sekarang, sepertinya perut anak muda itu tak bisa kompromi. Dia
bisa muntah kapan saja serta dalam kondisi apa pun. Dia menjadi demikian
hati-hati, tertawa begitu dijaga, bergerak pun ia mesti mengatur ritme
perutnya.
Perjalanan terus berlanjut. Kami
sampai di Pandakian, kampung kecil menjelang jalanan berbukit. Di sinilah dulu
aku pernah tinggal. Pandakian merupakan kampung paling ujung, terletak di utara
kecamatan Sutera. Setelah ini kita akan menemukan jalan menanjak, berliku dan
agak terjal. Dulu kawasan sepanjang tempat ini kami sebut Bukit Taluk. Taluk
merupakan desa pertama di kecamatan tetangga, Kecamatan Batang Kapas. Sementara
di Taluk, nama bukit ini sering disebut Bukit Taratak, nama Kenagarian kami.
Sungguh, sebuah toleransi yang luar biasa. Apakah karena kawasan ini tidak
potensial? Ah, siapa bilang? Di sini terdapat kawasan wisata yang mulai
dikembangkan namun agak merana yakni Nyiur Melambai. Tempat yang lain adalah
sebuah belokan yang cukup gawat, dulu namanya Kelok Camin (Cermin)
karena pernah dipasang cermin sebagai peringatan untuk pengendara yang ada di utara
dan selatan jalan. Setiap sore tempat ini selalu ramai oleh dara-bujang untuk
bersantai dan menikmati sunset. Dari sana pemandangan aduhai menanti
anda. Di perbukitan, di kelokan curam itu berhentilah sejenak. Jika kepala
ditolehkan ke selatan, hamparan pasir dan batu karang membuat anda terpana,
apalagi jika beruntung bertemu penarik pukat, dan sampan-sampan tua mereka.
sisanya perbukitan yang mempesona, tak lagi hijau memang, batu dan tanah liat
menyembul di sana-sini. Di hadapan, Samudera Hindia membentang, beberapa pulau
bisa menjadi penanda, Karabak Ketek, Karabak Gadang, tolehkan sedikit kepala ke
utara, anda menikmati teluk yang dasyat. Sempurna. belilah segelas kopi atau
minuman, Uni Si,er, pemilik warung, dengan pondok sekadarnya siap menemani anda
bercerita sepanjang petang. Jika anda berani, apa salahnya mencoba turun ke
batu karang di bawah sana. Asal jangan berdua dengan pasangan saja.
Dulu di kawasan bukit ini hanya ada
beberapa rumah saja, namun sekarang sudah merupakan wilayah potensial dalam hal
ekonomi dan bisnis. Nantilah saya ceritakan. Sementara kita baru sampai di
Pendakian toh?
Dulu di daerah memang tak seramai
sekarang, meski pun tambahan rumah tak terlalu banyak. Dari Selatan, dekat
sekolah saya itu, saya mengenal baik seluruh penghuninya. Di pinggir pantai
agak jauh dari jalan ada Ijul, teman kami, anak pak Pire, yang dulu tinggal di
sebelah sekolah kami. Berikutnya kumpulan 3-4 rumah yang markasnya di rumah Pak
Bila Telong. Iral, dan dading, salah satu anak-anak mereka yang saya ingat. Di
depannya kini sebuah surau tegak berdiri, setelah bertahun-tahun kampung ini
kehilangan sebuah surau di pinggir pantai, merana, hancur dan ditinggalkan. Lalu
hamparan pohon kelapa, di kiri pantai, di kanan ada gunung dan hamparan pohon
pala serta sebuah kuburan Cina. Lalu rumah keluarga Izal, teman sekolah saya.
Dua rumah, yang selalu menyenangkan bagi saya ketika sekolah. Matahari di sini
baru muncul sebelum pukul delapan. Adem.
Lalu kumpulan beberapa rumah lagi.
Ada rumah Pak Gaek dan Mak Gaek, dan Guru Sibus. Di depannya ada dua rumah
keluarga, di sebelahnya sebuah rumah keren dalam ingatan saya, rumah Ayek Iyai
dengan dua lantai. selebihnya tanah kosong, pohon pisang dan batu karang. Ada
pohon besar dulu di sini. Ada rumah, lalu kosong. Setelah itu ada rumah Uwan
dan One. Dulu mereka buka warung makan untuk supir truk. One dan Uwan punya
anak-anak yang cantik dan ganteng. Putih-putih, maklum mereka pindahan dari
padang. Di depan, hamparan parak kelapa Ayek Udin. Dari jalan ini rumah saya
akan kelihatan di pinggir ladang. Di parak Ayek Udin ini tinggal Mak Gaek dan
Imul. Di depannya tinggal Ayek Nomi. Lalu kosong lagi, rumah Tek Si,ai, Etek
Jani, rumah Uni Inis, rumah Uni Isum, dan rumah Mak Gaek dan anaknya Uni Si,er
yang sekarang pindah ke Taluk. Di depan rumah mereka tinggal Pak Gaek Tujang.
Lalu kosong. Sebuah buk, yang ada pohon jambu batu. Sawah. Di pinggir pantai
tinggal Etek Pasa dan anak-anak mereka yang riang, Ijas dan Madi, teman bermain
kami. Di sebelah kanan ada rumah Pak Gek Ripun, Bila Jalak, Katik Newe dan
sejumlah rumah keluarga mereka. begitu kita mendaki, jika melongkok ke sebelah
kiri akan ada rumah Mak Mak Gaek Piak Akang. Mereka punya beberapa anak yang
pintar: ada Solihin, Dayat, Uni Mila dan Uni Ayang. Lalu pendakian yang panjang.
Aku pernah tinggal lama di daerah ini. Kawasan ini agak lengang,
terdiri dari beberapa rumah yang agak jarang-jarang dan di belakangnya ada laut
dan di depan berhadapan langsung dengan bukit dan areal persawahan. Saya nyaris
tujuh tahun, atau mungkin lebih tinggal di sini. Sejak saya belum sekolah
hingga saya kelas dua SMP.
Saya tinggal di kaki bukit. Untuk
sampai ke rumah (kami menyebutnya pondok) yang ada di ladang, kita harus
melewati hamparan sawah. Musim-musim hujan cukup menyiksa. Saya tak pernah
memakai sepatu langsung dari rumah karena saya akan menginjak lumpur sawah. Untuk
peristiwa-peristiwa masa kecil saya dan yang berkaitan dengan ladang ini mungkin
akan saya kisahkan di waktu yang lain saja.
Mobil mulai mendaki. Komeng
bernyanyi-nyanyi kecil, senyum-senyum dan berkali-kali membetulkan rambutnya.
Sementara Anton terhenyak dan bersandar di bangku, berusaha melupakan guncangan
di perutnya. Angga sibuk menyetir.
Pendakian ini dulu lumayan terkenal.
Waktu aku mulai bisa bersepeda, aku sering mendorong sepeda ke puncak dan turun
dengan melepaskan kedua tangan. Tentu berbahaya mengingat jalan yang kecil,
jalur utama pula dan sepeda yang tak punya rem. Tapi waktu itu kan belum banyak
kendaraan.
Kami melewati beberapa rumah. Dari
dulu rumah-rumah di sini tak berubah. Sebelah kanan ada rumah Amak Pe’o.
Anaknya yang bungsu menjadi tentara di Jawa. Aku kenal dia waktu aku masih
sangat kecil. Aku sering main ke sini. Di belakang ada tempat pembuatan batu
bata. Waktu aku kecil memang banyak di sini usaha-usaha pembuatan batu bata
keluarga. Saya sering bantu-bantu (atau mungkin merepotkan) Uda Ujang, yang
kini tentara di Jawa. Lalu ada rumah Tuli Bari, anaknya Finaria dan Kutub yang
masih saya ingat. Seperti keluargaku, mereka memilih tinggal di ladang dari
pada tinggal di rumah sendiri. Di sebelah kanan ada rumah Etek Simar.
Anak-anaknya ada beberapa, dan menjadi teman saya: Idil, Ipil, Ides, Uni Isum, Ipul,
Uda Ijam, Si Nof, dan yang lain dan saya lupa. Setelah uda Ujang tugas ke Jawa
saya pernah belajar bikin tembok di sini. Di rumah ini juga ada usaha bikin
tembok keluarga. Waktu kecil, selain di rumah Amak Pe’o saya juga sering
membantu-bantu bikin tembok di rumah Etek Simar karena saya berteman dengan
Ipul dan Idil. Lalu rumah Uni Mia. Dia tiga bersaudara cantik-cantik. Aku
berteman dengan Iwan, teman sekolah yang kisah hidupnya sangat rumit untuk
dipahami waktu aku kecil. Selebihnya bukit dan di bawah hanya ada laut.
Lalu ada semacam taman rekreasi di
atas bukit yang dibangun 5 tahun terakhir. Dulu kawasan ini adalah tempat usaha
batu bata. Saya bekerja cukup lama di sini. setiap pulang sekolah saya
mengangkut tembok dari puncak bukit, tembok yang basah dan berat itu diangkut
ke bawah tempat tungku pembakaran disiapkan. 150 rupiah untuk 100 tembok yang
terangkut. Rasanya? Ampun. Aku yang hanya kuat mengangkut 5 tembok basah, harus
bolak-balik puluhan kali naik-turun bukit untuk uang 400-500 rupiah setiap
minggunya. Perusahaan tembok itu sepertinya bangkrut, apalagi cengkeh yang dulu
tumbuh subur sudah mulai mati. Di musim cengkeh kami berganti profesi dari
mengangkut tembok menjadi pemetik cengkeh. Hasilnya dihitung dari literan,
sejak dipetik, memisahkan buah dan cangkang. Satu liter 50 rupiah kalau tak
salah. Waktu itu harga seliter cengkeh 400-700 rupiah. 1200-1700 kalau cengkeh
yang sudah dijemur.
Sejak adanya tempat wisata dan
warung di atas bukit ini, kawasan di bawahnya juga mulai ramai. Ada
warung-warung kecil menjual mie rebus dan kopi dan tempat karaoke segala. Dulu
ini kawasan sepi. Tempat pasangan kasmaran untuk pacaran dan bersembunyi di
semak-semak di bawah sana. Tentu kawasan ini juga jadi sarang bagi kawan-kawan
belajar memalak. Sekarang tentu main ramai saja orang pacaran di sini. Mereka
cukup belanja sebotol minuman impor bersoda, kacang rebus, lalu memilih tempat
pacaran sesuka hati.
Dulu kawasan legal untuk pacaran terdapat
di sebalik belokan ini (Eit, ini belokan tajam. Kiri kanan ada jurang)yaitu di
sekitar kedai Yuang Gulo. Aku memanggilnya Uwan dan memanggil istrinya Mintuo.
Dulu aku juga sering di sini di siang hari. Aku ikut Indra, anaknya yang
membuka usaha cuci motor dan mobil. Usaha itu sampai sekarang sepertinya masih
ada. Kadang-kadang aku ikut Indra membeli buah untuk Rujak Jao-nya yang
terkenal itu. Di samping rumahnya ada sebuah bekas benteng. Entah benteng apa.
Orang-orang menyebutnya panorama. Benteng yang kini tiggal bekas saja. Di bawahnya
ada jalan menuju pinggiran pantai yang ada karang-karangnya. Malam mingguan
kawasan di bawah ini akan ramai oleh pasangan muda. Saya tak pernah berani
mengajak pasangan. Saya takut jika harus mengajak perempuan bergelap-gelapan.
Saya trauma dengan seorang kawan perempuan yang pernah saya ajak ke sebuah
tempat yang agak gelap dan dia berkata: “Ngapain di sini?”
“Ya ngobrol-ngobrol,” jawabku
setengah gugup. Di tempat gelap dan sepi seharusnya lebih dari sekedar ngobrol kan?
“Jadi kamu sering bawa cewek ke
tempat beginian, ya?”
Aku gelagapan setengah mati. Kehilangan
cara untuk mengajak cewek bersunyi-sunyi. Takut dituduh pengen macam-macam,
padahal memang pengen macam-macam. Aku sampai heran, bagaimana kawan-kawanku
bisa mengajak pacarnya ke tempat gelap begini ya? Apa pacarnya tidak bertanya,
“kenapa harus berduaan di tempat gelap sih?”
Ih beruntung sekali mereka dibanding saya yang tertohok justru bukan
dikencan pertama.
Sekarang kawasan wisata yang sudah
kita lalui itu juga dijadikan tempat yang aman dan nyaman buat pacaran.
Legallah, bahasa formalnya. Tak ada pembalak yang akan mengintip dan memalak
tepat pada waktu-waktu yang ‘runyam’. Setiap motor yang parkir, tentu harus
membeli sebotol-dua minuman, akan menjadi tanggung jawab pemilik warung. Betapa
merdekanya sekarang pacaran di kampungku. Alih-alih merasa iri aku justru
merasa makin cemas dengan tersedianya tempat-tempat semacam itu. Seolah
legalisasi buat mereka yang pacaran, berduaan di tempat gelap. Aduh…
Karena ini diniatkan sebagai catatan
perjalanan belaka, maka baiknya tak usah berpanjang-panjang di sini. Dari rumah
Nora kita harus melewati jalan yang berbelok. Ada rumah Almarhum Inuang, mantan
kepala desa Taratak yang membuka warung makan. Rudi, anaknya kuliah di jurusan
psikologi, di fakultasku. Terus ke utara ada pertigaan kecil menuju pantai, ya
Nyiur Melambai itu. Di sana tempat tukang pukat menarik nasib. Ada warung Idil,
yang sekarang entah diurus siapa. Lalu ke utara lagi ada rumah Uda Telen. Dulu
waktu kecil rumah ini milik Uwan Pokong, lelaki buntung dan anaknya Ijai. Di
masa-masa gawat itu aku juga sering mencuci mobil di sini jika Indra tidak
berkenan mengajakku.
Kabarnya dulu di sini tinggal wanita penghibur. Sebuah peristiwa
hebat, di mana para ibu-ibu konon datang ke rumah ini dan mengasami dan
menggosokkan cabe merah keriting ke kelamin perempuan-perempuan pembuka jasa
itu. Benar-benar diasam-dicabekan dalam arti susungguhnya. Perempuan pekerja
seks itu dikenal dengan nama Poyok. Mereka kalah banyak dari ibu-ibu yang
datang dan menerima nasib buruk. Kelaminnya benar-benar digosok dengan cabe dan
diberi asam segala. Rasanya? Hanya mereka yang tahu. Saya tak tahu, apakah itu peristiwa sungguhan atau tidak, fiksi atau nyata.
Lalu jalanan lengang. Dan
dinding-dinding bukit yang terjal. Lalu Kelok Camin yang ramai tadi. Belokan
yang mendaki dan cukup tajam. Tempat ini sudah dikeruk sehingga menyisakan
jalan yang agak lapang. Saya dan Andi beberapa kali memanjat puncak bukit ini
dan menancapkan singlet di sana.
Lalu ada Kelok Cingkiau. Ada sebuah
gua batu yang dulu konon pernah dihuni harimau, sebelum akhirnya ada turunan
dan sampailah kita di kampung Ujung Batu, yang menjadi kawasan Taluk. Jalanan
kecil dan lengang. Beberapa rumah yang sudah kukenal sejak lama, tak memiliki
banyak perubahan, tak pula banyak penambahan. Di pinggir pantai, dekat turunan
ini, aku juga mengenal satu-dua keluarga. Uni Si’er yang kini juanan di Kelok Camin
adalah salah satu penghuni rumah di bibir pantai itu.
Kulirik Anton memejamkan mata,
berusaha untuk tidur, Komeng melongok tajam ke jendela, Angga dengan manis
mengendarai mobil. (Bersambung)
4 komentar:
nah, kan krn ada deadline daku tak bisa ke acara ini.
tampaknya menyenangkan ya.
Acara yang mana mbak Maya? Jalan2 di Sumatera Barat? hehe
lha, cerita ini nggak disampeikan jg di mlm acara tempo hari?
hahaha... kalo gitu aku salah -___-
hahahha.. hayooo... hemmmm
Posting Komentar