Catatan
Pembuka: Saya sudah pernah berjanji di blog Kuli
Pelabuhan ini, meskipun Anda mungkin tak membacanya, bahwa saya akan menulis tentang Film Indonesia Terburuk sesuai segmen sesuai keinginan saya saja.
Tiba-tiba saya
malas memakai segmen-segmen macam Drama, Komedi, Horor dan lain-lain itu. Sisa
pilem Indonesia yang saya tonton sepanjang Mei kemarin hanya terbagi dalam 3
segmen saja. Pertama, yang ada judulnya di bawah (postingan sebelum ini) dan
kedua Pilem-Pilem yang cukup menjengkelkan saya. Jadi menjengkelkan ini juga
versi saya sendiri, sekaligus biar terkesan gagah dan gampang dicekidot di
mesin pencari.
1. Not For
Sale Keperawanan Tidak Untuk Dijual (2010)
Dari judulnya aja sudah ketahuan
kira-kira bagaimana film Indonesia terbaru ini bercerita. Meskipun pesan moralnya sangat jelas,
“wahai anak muda dunia ketiga, hati-hatilah. Jangan tukar keperawananmu dengan
BB dan laptop.” Tapi benarkah pesan moral itu sebenarnya muncul dengan
sungguh-sungguh di dalam film-film kita.
Not For Sale jelas macam Virgin, dan
film sejenis. Gambaran-gambaran verbal sudah tergambar sejak awal. Ada tokoh
baiiiiik dan jahat, ada orang miskin dan orang kaya. Nah, sambil terheran-heran
ria, kita akan diajak bertualang dalam dunianya anak muda kita yang glamour.
Sayangnya generasi clubbing ini di dalam film kita sekarang tak beda jauh
dengan gaya tutur dalam film di zaman disko masih terkenal. Kita tinggal
mengganti mejeng jadi nongkrong. Maksud saya, film-film dengan tonjolan sensual
ini tetap saja seperti dulu. Menggembar-gemborkan nilai sosial dalam jualan,
tetap saja memunculkan adegan ngawur yang mengingatkan kita pada Malfin Sheina,
Liza Chaniago, Sally Marcelina waktu berjaya. Tanggung dan terasa betul-betul
ditempelkan.
Si Mei, tokoh utama kita yang baik
hati, dan pendiam. Miskin pula. Hapenya jadul. Nah kan. Anak baik itu
dikeluarkan sekolah karena dia dituduh jadi pelacur. Gak ada perlawanan apa
pun. dia diselamatkan oleh Sasha (Arumi Bachsin, satu-satunya yang aku tau
namanya). Mulailah petualangan klasik ini. ayah tidak kerja, rumah disita,
membuatnya terjepit. Lalu bagaimana?
Lihatlah bagaimana si Mei (Leylarey
Lesesne atau si Chindy Anggrina?) berperan dengan sangat susah untuk bisa
menjadi anak yang santun. peristiwa-peristiwa unik muncul deh. Putus sekolah,
lingkungan ‘kotor’, bunuh diri, pembunuhan, soal lesbian, soal cowok
psycho, kekerasan, kecanduan narkotika,
dilecehkan, clubbing lagi, clubbing lagi, punya hutang, ketemu cowok baik-baik,
diselamatkan, kencan pertama, merasa ditipu, balas budi, broken home, teman-teman
yang baik, masuk penjara, lalu bla-bla-bla… Brrrr… Capek deh… Si tokoh utama
kita yang baik hati, lugu dan polos itu menyerah. “Jual gue, Shas..” katanya.
Lalu adegan di kamar, betapa perihnya hati tokoh utama kita ini. Dia harus
menyerahkan keperawanannya dengan hati yang teriris-iris.
Lalu apa? Di bagian akhir, tokoh-tokoh utama kita mati dan hanya
bersisa satu! Lho? Lalu hubungannya dengan judul dengan jalan cerita? Mana ane
tau. Jadi kata film ini kalau kamu ditolak cewek, iris urat nadi, kalau suda
kekepet jual perawan, kalau tekanan semakin keras, bunuh orang aja, kalau ada
yang teman yang jual perawan karena menyelamatkan kamu over dosis aja, kalau
ada teman yang mati karena over dosis, bunuh diri aja… capek deh.Saya menilainya sebagai salah satu film Indonesia terburuk.
2. The Sexi
City
Judul kecil film Indonesia terbaru ini adalah
Persahabatan, Cinta dan Keperawanan. Anjrit kok banyak sekali ya cerita dengan
tema-tema semacam ini ditawarkan. Jalan cerita pun tak jauh berbeda. Secara
keseluruhan alurnya tak jauh beda dengan Not For Sale yang saya bilang meniru
standar Virgin yang lebih dulu nampang.
Kenapa sih orang film kita sibuk
sekali membicarakan soal keperawanan? Mereka sendiri yang menampilkan betapa
glamournya kehidupan di kota besar, mereka sendiri pula yang kemudian
menginginkan tokoh-tokohnya menjaga perawan. Kita lihat, apa ada yang berudah
setelah itu? Tidak. Tokoh-tokohnya tetap saja menyerah oleh kondisi yang
lagi-lagi sama.
Bayangkan pula, kehidupan yang
ditampilkan bukan latar kehidupan masyarakat yang ketat dan penuh aturan. Apa
perawan sedemikian berharga di kehidupan yang sibuk dengan party dan
mabuk-mabukan itu? Bukan soal penting atau tidaknya perawan. Apa film-film
sejenis ini ingin mengatakan, “lu boleh hidup bebas, tapi perawan harus tetap
dijaga.”
Sampaikah pesan-pesan semacam ini
bagi masyarakat kita yang jauh lebih kompleks seperti sekarang? Maaf ya The
Sexi City, gue gak kesel amal u doang. Gue sebel aja kok ya begini saja terus
kita berpikir. Kalau memang mau bicara moral dan etika atau mau lebih serius
menjadi pelindung generasi muda kan bisa riset yang lebih halus dan tajam dan
masuk ke cerita yang lebih sederhana. Lu tau kan lingkungan sekitar tokoh-tokoh
kita ini sangat rentan pada karakter. Lu tau kan bagaimana gaya hidup generasi
sekarang. Sekarang bagaimana nih ceritanya tokoh yang baru tiba di Jakarta,
sendirian ini diusir dari kos karena sudah nunggak tiga bulan. Bicara
keperawanan pun kita tak harus bicara secara verbal macam itu kan. Tokoh yang
harus menjual keperawanannya saya kita sudah cerita basi. Lagi pula kenapa
selalu Jakarta yang dijadikan latar kasus macam begini. Jakarta sudah menampung
banyak dosa. Soal virginitas ada di mana-mana. Clubbing tersebar di berbagai
kota, minuman tersebar di kaki lima. Jakarta harusnya tidak sekedar
membicarakan lu masih perawan atau enggak.
Tolong, jangan suguhi kami lagi
dengan pesan-pesan moral macam begini. Asal lu btau ya, seberapa banyak sih
orang-orang yang sibuk clubbing macam begini? Kepada siapa sih sebenarnya film
ini ditujukan? Seperti sex education yang mengajari seluk-beluk bagaimana
caranya lu gak hamil kalo ML, lalu bilang, “harus perawan ya..”
Sungguh-sungguh bernilaikah
keperawanan bagi perempuan dalam masyarakat kita tanpa perlu bertanya kamu
masih perjaka gak? Sudha, sudah, kesal gue. Saya agak serius, karena film ini
lumayan serius dan beberapa pemainnya pun orang-orang yang cukup serius di
dunia film. Duh, pascakolonial, duh semangat postmodern, duh globalisasi, duh
Indrian Koto yang cerewet. Kasian deh lu!Sekali lagi, film ini bagi saya masuk dalam daftar film Indonesia yang terburuk.
3. Akibat
Pergaulan Bebas (2010)
Film Indonesia terbaru yang satu ini dibuka
dengan suasana yang ramai di clubbing, musik yang mengajak semua pengunjung
bergoyang, di sela-sela itu terjadi transaksi narkoba. Dua orang gadis
berangkat ke hotel. Yang satu ke tempat oom-oom, minum banyak, pipis di mangkuk
yang disediakan. Yang satu bercinta dengan seorang lelaki dengan es batu, lalu
pulang ke kos dalam keadaan mabuk.
“Kita gak mungkin gini-gini terus
kan? Kuliah kita mesti selesai kan?” Kata satu cewek sambil tiduran di ranjang.
“Ya enggaklah. Kuliah kita harus
selesai.” Jawab cewek yang satu sambil buka baju.
“Tapi dari mana duitnya?”
“Ya lu usaha lah. Jadi model kayak
gue,” balas si cewek dengan BH hitam sambil ikutan berbaring.
Di tempat yang lain, seorang
gadis—yang habis party tentunya—juga pulang ke rumah. Melewati sebuah jembatan,
perkampungan padat yang lengang. Di rumah si ibunya sedang ngamuk pada si bapak
yang tak berdaya di atas ranjang. Gadis kita ini mendengarkan semua itu dengan
erasaan hancur. Tentu ia sangat sedih pada si bapak yang tak berdaya.
Paginya, di sebuah tempat yang lain,
seorang gadis baru bangun dari tidurnya. Ia mencari si Mama dan si bibi
pembantu bilang tidak pulang dari semalam. Papanya seperti menyembunyikan
rahasia mereka.
Selanjutnya adegan yang seharusnya bisa ketebak sendiri. Soal jadi
perempuan simpanan, hidup mewah tapi hati tersiksa. Lalu kampus. Si istri
simpanan yang disiksa secara fisik. Si teman yang dibiayai temannya.
Si gadis, salah satu dari cewek tadi, yang tajir dan kaya malam
harinya lagi-lagi mendengar bokap-nyokapnya bertengkar. Soal arisan, soal
belanja ino-itu, soal bajingan dan tentu soal koruptor. Di gadis tidak tahan
lagio. Ia ngamuk.
Pindah ke tempat lain, di sebuah club malam, si Kanya yang model
memperkenalkan Dinda, temannya yang semalam mabuk bareng dia yang pingin jadi
model itu ke seorang lelaki yang mau jadikan dia model. Dia mau jadi model
karena butuh duit, mau mencari biaya untuk menyelesaikan kuliah. Lalu si cowok
mau meniduri si gadis. Ditanya, masih perawan apa enggak. Si Dinda marah dan
ngamuk sama Kanya.
Musik mengalun. Musik yang seperti
di awal cerita tadi itu. Diperkosa kawan.
Inilah fragmen awal film Akibat
Pergaulan Bebas. Saya tidak boleh
berkomentar sebab teman saya pernah bilang, “kamu menulis apa sih? Tidak jelas
rsensi pilemmu.” Tapi bukan karena itu saya tidak berkomentar. Saya rasa,
menonton pilem ini kalian semua juga akan secapek saya.
Jika mau jujur pilem sejenis ini
menawarkan pesan yang mkuat. Paling kecil misalnya, bagaimana peran keluarga
dalam membentuk kepribadian anak-anaknya, persoalan hidup remaja kota besar,
bagaimana pergaulan ikut mempengaruhi seseorang. Sayangnya yang ditampilkan
adalah bagian-bagian yang sesungguhnya tidak penting dan melulu begitu
penyajiannya. Hampir tidak pernah ada gambaran yang berbeda tentang keluarga
yang berantakan. Persoalan orang kaya dan orang miskin menjalani hidup, soal
transfer uang di rekening yang rasanya terlalu dibuat-buat. Soal tata suara
yang seperti di dubbing. dan selalu mengeksploitasi tubuh.
Bukankah penonton yang ingin dibidik
adalah orang-orang yang secara fisik dekat dengan kehidupan ini. Lalu kenapa di
pilem ditampilkan dengan cara yang verbal? Para pemain sendirilah yang merasa
gugup menjalani peran mereka tersebut. Film dengan banyak hal-hal yang
sebenarnya sangat menarik jika dieksplorasi dengan apik semacam ini, jadi
kehilangan gregetnya akibat logika-logika yang tidak masuk akal.
Film yang baik tentu mesti diimbangi
dengan eksekusi yang baik pula. Dengan begitu pesan benar-benar bisa terbungkus
rapi, terekam di benak penonton. Anak muda kota besar tidak sekedar clubbing
dengan konsep yang itu-itu juga. Penonton pilem kita menjalani hidup jauih
lebih rumit dari sekedar yang ditampilkan di pilem. Jadi sia-siala pesan yang
sudah didesain sedemikian susah payah itu, jika tetap saja yang menonjol soal-soal
remeh. Ambisi untuk menyampaikan banyak hal membuat pilem sejenis ini menjadi
tidak jelas ujung-pangkalnya.
Dan lagi-lagi, perempuan seperti
Dinda, yang berusaha tidak menjadi pecun, tiba-tiba harus kehilangan apa pun
dari dirinya. Bukankah dua pilem di atas semacam Not For Sale dan Sexi City
sudah menampilkannya juga tadi? Apa yang membedakan jika sudah begini? Lalu apa
yang bisa dibawa penonton yang mayoritas anak-anak muda itu?
Saya, dan tentu mereka di belakang
layar dan anda pembaca saya yang budiman tak sedikit pun berniat seperti ini.
Sama sekali tidak. Seolah itulah pesan-pesan yang terus muncul di pilem-pilem
kita belakangan ini yang bertema sama belakangan ini. Clubbing, persaingan,
narkotik, selingkuh, dan jual diri.Dari kesamaan tema dan alur bagi saya dia lagi-lagi bagian dari film Indonesia terburuk.
4. Sweet
Heart
Tidak habis pikir saya.
Kenapa bisa begitu ya? Apa maksud
ini semua?
Kalau bukan untuk menulis ini tidak
bakal saya menghabiskan waktu menonton pilem yang dibuka dengan adegan orang
mandi dan soal yang begitu-begitu terus. Yang beda apa? Genk sekolah? Kekerasan
di sekolah? Kisah cinta anak remaja? Perselingkuhan? Impian-impian untuk
terkenal? Atau keperawanan? Ember, ember, saya perlu ember.
5. Tipu Kanan
Tipu Kiri
Saya selalu merasa cemas setiap kali
Titi Kamal main pilem apalagi di genre komedi. Entahlah. Buat saya, dalam
pilem-pilemnya, dia benar-benar sedang berakting. Di pilemnya dia yang aku tonton yang muncul
itu ya Titi Kamal yang berperan jadi siapa, tapi bukan sebagai siapa yang
dimainkannya. Maksudnya lagi, ketahuan sekali kalau dia memang membikin-bikin.
Jadilah Titi Kamal yang heboh, dengan tingkah laku yang unik, norak dan tentu
saja rada garing.
Kali ini dia main pilem di Malaysia.
Ceritanya tentang Wulan, si Titi yang artis terkenal dan punya kontrak tak
boleh menikah, hidup dengan suaminya yang bekerja di Malaysia. Karena kontrak
si Titi eh Wulan inilah kisah berjalan dengan sangat pelik. Sangat pelik.
Masalah hati, Cik.
Sayang sekali penyelesaiannya
lagi-lagi berpusing di soal klasik. Macam mana lagi, cerita dah udai dah.
Demikianlah sekelumit tentang Film Indonesia terburuk versi saya, tentu saja
4 komentar:
barangkali kelainan nafsu mas.hehehehhe
mungkin juga, bung. hehhe...
Mantab. Ayo rame-rame berkelainan.hehhee
tapi ane gak berkelainan nafsu. hanya selera. hahaha
Posting Komentar