9 Mar 2011

Semacam catatan perjalanan (2)

(Nyaris) Keliling Sumbar:
“Terjebak” Perjalanan yang Mengasyikkan (2)


Surantih—Painan (40 km)
          “Sudah oke semua?” kata Angga pada kami sebelum mulai menstater mobil. (Mengenai Angga ini sebaiknya dibaca fragmen saya yang mengulas tentang dia, karena saya malas menceritakan ulang. hehehe).
           Setelah saling melambaikan tangan kami berangkat menuju Painan. Yudi masih melongo di depan rumah Mugil, sepupuku. Yudi bertugas mengurusi play station jika si tuan rumah yang sudah menikah dan memiliki Ayyin bocah perempuan yang cantik. Secara otomatis dia tidak lagi tidur di rumah dan memiliki beberapa pekerjaan. Urusan PS kadang-kadang digawangi oleh Yudi. Nah ketika kami lewat di depan yudi, Komeng dan Anton saling mencibir.
            Itu baru beberapa langkah saja dari rumahku. Ke padang arahnya ke utara. Beberapa rumah lagi ada pos ronda, kami menyebutnya rumah undo. Artinya tempat tinggal mereka yang ronda. Itu Cuma penamaan saja karena pos ronda menjadi maskasnya anak lelaki yang tak punya ruang di rumah sendiri.

Dulu di masa aku masih menjadi bajingan kampung (halah…), pos ronda itu aktif nyaris 24 jam. Jauh mengalahkan majid. Dulu aku punya teman yang jagoan-jagoan begadang, cukup dengan gitar dan rokok Lintang enam, bahkan Sarang Walet sekalipun hingga pagi menjelang. Sekarang hampir semua kawan-kawan main dan teman begadang sudah menikah. Misalnya Ujang Korea alias Satria Ahmadi alias Sikor alias Tumtum yang jago bernyanyi bahkan pernah menyabet juara menyanyi itu telah menikah, Si A,am alias Si,ir yang bersuara emas juga sudah pula menikah. Belu lagi pasukan mainku di malam minggu “Aliansi Pemakan Ubi” yang beranggota Si,il atau Ayek, Dodi ‘Panjang’, Ijal ‘Balak’, I,in ‘Takur’ Anda, telah lama pula berkeluarga. Mugil, Suan, Pak Bila Tion, Iber, Eka ‘Kombet’, Andi ‘Awua’, Andi ‘Kenuang’, Si,al ‘Takur’, ‘Induak’ Sinof, semua sudah bekeluarga juga. Yang lain, Eka ‘Gadang’, Andi ‘Ntang linong’, Andi ‘Gadang’ menghilang entah ke mana. Belum lagi geng besar yang sudah terpecah-pecah Bang Pirin, Induak Atong alias Rikal Sikumbang, Lutis, Isul, Herman ‘Mandiang’ alias Silai, Epen ‘Sutam’, sudah kocar-kacir di perantauan dan sebagian menetap di rumah. Anggota yang lain, Roni ‘Mandan’, Uwan Ijal, Isam, Uman, sudah bekeluarga juga. Generasi yang lebih muda, Isal ‘Martel’ sudah menikah, Ramon sibuk bekerja di tempas sibe, Agus ‘Kudil’, Reza ‘Pak Guru’, Osep ‘Oceng’, Randu, Robi sedang kuliah. Maka tinggallah sedikit saja penghuni rumah undo kami mulai dari Matri ‘Awak’, Ropi, Doni ‘Botak’, Abang, Codot Supar, dan beberapa kawan lain yang sekarang menghuni pos ronda, termasuk Komeng dan Anton dan beebrapa masih sulit saya akrabi. Nama-nama lain seperti Hendra, Sihen ‘P.O’., Buyuang ‘Gendut’, Sawal ‘Goapak Goimo’, Ajil, Onuak dan banyak nama lain sudah tidak saja jumpai lagi. Dan catatan inib tentulah bukan data sensus sehingga harus saya catat satu demi satu nama-nama merea di sini. Setidaknya demikianlah gambarannya, betapa lengang kini pos ronda kami dan generasi baru yang menggantikan saya dan kawan-kawan itu tidak menjadikan rumah undo semata-mata jadi markas mereka. Gaya hidup berkembang jauh dari sebelumnya. Mereka yang tidak bisa berbaur dengan kultur barulah yang membuat ia tetap menekuni rumah undo. Alasan lain mereka tidak tertarik untuk terlibat dengan dunia anak muda yang lebih modern. Anti kemapananlah istilahnya. Orang yang saya maksud salah satunya adalah Anton ‘Dukun’ dan Komeng tadi.
            Pos ronda di kampung kami, sejak berdirinya sudah tiga kali ganti tempat. Dua tempat sebelumnya aku ikut terlibat di dalamnya. Apakah aku perlu menceritakan soal pos ronda itu sekarang?
            Kini pos ronda memang sepi. Anak-anak muda, yang sebagian besar yang tersisa adaah anak SMA saja punya jam tidur. Tak banyak yang sekarang duduk di sana. Semasa aku di rumah, penghuni tetap di pso ronda itu ya Anton dan Komeng yang sekarang lagi cengengesan ini, membuka jendela mobil sebesar-besarnya dan menghadapkan muka ke semua pintu. Untunglah pintu-pintu rumah terkunci dan penghuninya sedang sibuk mungkin bekerja. Kalau tidak, bisa-bisa kaca mobil ini bisa pecah mereka kesal melighat tampang kedua anak bengal ini.
           Di pos ronda hanyaAda Acong, pemilik warung di belakang pos ronda sedang makan kuaci dan memarahi Enggi, anak sulungnya yang cengengesan sambil berlari. Acong, yang di Facebook bernama Zal Sikumbang ini tidak sadar, beberapa hari ke depan ia bakal diseret ke polsek dan menginap di sana beberapa jam gara-gara sebuah kasus. Biarlah ia tak tahu dulu agar masa depan tidak ikut dikacaukan.
            “Sayang ya, lagi kosong…” ucap Komeng seperti menyesali keadaan ketika melihat pos ronda sepi. Anton senyum-senyum saja. Kukira muntah sudah naik dari perutnya. Rasakan…
Lalu kami melewati Pelangi Enterprese. Dari namanya anda pasti bisa membayangkan sesuatu mengenai tempat ini. Yoi, Wal Ependri, si bos Pelangi enterprise yang membuat surat keputusan sendiri tanpa tembusan itu tanda sertifikasi legal mengatakan ini adalah wadah bagi mereka yang tidak percaya dengan politik praktis. Hahaha.. ngawur aku. Setidaknya Tangrit alias Elek adalah karyawan yang tanpa pengangkatan datang setiap pulang sekolah di SMA N 1 Sutera di Cimpu sana menggantikan posisi si Wal untuk memfotokopi. Dan giliran di wal Ependri yang pulang untuk makan siang.
            Jadi demikianlah adanya Pelangi Enterprese itu, kawan-kawan. Menjual semua kebutuhan alat tulis dan foto kopi serta bisa pula mencetak foto. Nah kurang apalagi? Maka mereka yang hobi berfoto dengan hape berkamera, yang suka pindah-pindah data, terutama musik dan bokep lewat bluethoot akan memilih tempat ini sebagai tempat-cuci cetak foto mereka. Kau mau ukuran berapa? Si Wal sigap mengurusi untuk anda semua. Selain ityu dia juga bisa megetikkan data-data yang dibutuhkan di kampung. Akta tanah, jual-beli, wasiat, surat nikah, proposal bantuan masjid, akta kematian hingga rahasia-rahasia kenagarian dan data-data sekolah, tugas para guru yang kuiah lagi di Universitas Terbuka, tugas-tugas kopi paste mereka, lembaran soal ujian dan segala macam bisa diketik di sini dan diprint. Jadi kalau kau ingin tahu dengan menyeluruh prosek-proyek ambisius, target-target luar biasa, rahasia-rahasia lembaga pendidikan ala kampung datanglah dimari, kau akan dapat semua yang kau butuhkan. Lengkap sudah.
        Luar biasa bukan? Jadi wal Ependri ini punya jaringan kuat dengan anak-anak sekolah, sebagaimana jargon PE-nya dia, “500 meter dari SD dan SMP 1 Sutera, 500 meter dari SMK 1 Sutera”. Nah, nah. Posisinya strategis. Ada di tengah-tengah. Mereka tak perlu repot-repot ke Pasar Surantih segala untuk mengurusi sesuatu. Cukup mendatangi Bang Wal, yang di rumah di panggil Henri, Sihen dan Kare,ok siap melayani kebutuhan anda semuanya. Dan Elek alias Tangrib akan cengengesan menyambut anda.
       Hati-hati dengan komputer, nanti Tangrib bisa berteriak memaki anda, “woii, jangan diganti lagunya.” Nah, itulah. Musik memang salah satu hiburan alternatif di sini. Para pelajar tidak sekedar lihat-lihat buku dan pulpen, mencuri minyak wangi isi ulang setetes dua tetes, tapi juga mendengarkan musik sambil menunggu ojek di bawah pohon mangga samping kedai. Elek tahu betul top 40 musik-musik Indonesia akan memilihkan lagu-lagu untuk mereka. Selain dengan anak sekolah ia juga terbiasa bekerjasama dengan guru SD, guru TK dan play group, meladeni kepala sekolah, guru SMP dan SMK dan sesekali menghardik mereka jika tidak mendengar apa yang diomongkan si Wal. Begitu juga dengan pegawai Kenagarian hingga pegawai kampung. Semua lengkap diurusi dia. Para guru yang muda-muda itu dan tentu pula perempuan akan tersenyum-senyum diomeli si Wal. Jadi saya rasa, saya sudah mengenalkan satu tokoh lagi kepada anda, bukan?
        Nah ketika kami lewat di sana, Elek sibuk menggoda anak SMK yang terkikik-kikik di depannya. Pastilah ini jam makan siang si Wal. Jadi tentu saja Komeng kecewa lagi. Si Wal Ependri sedang berada di tempat. Bukan jam kantor.
        Setelah melewati masjid Darul Ihsan Air Terjun Lansano yang pembangunannya tidak selesai-selesai sejak saya masih balita itu kami akan sampai di kawasan SMK yang berada di pinggir sawah, belakang kampung. Soal masjid ini memang aneh kawan. Tiap tahun, jika kebetulan kau shalat Idul Fitri dan Idul Adha akan ada penggalangan dana di sana sebelum shalat dimulai. Sehingga masuk akal jika shalat Ied baru dimulai jam 09.30 pagi. Itu juga berlaku di masjid-masjid lain kok.
        Pengumpulan dana berlangsung seru. “50.000 dari Si Anu dari Malaysia untuk yang hidup dan yang mati-mati.” Lalu ditingkahi, “ Si Itu 20 ribu untuk keluarga,” “Si Nunu 100.000.” kadang-kadang itu adalah media ejek-mengejek, yag diejek tentu tak mau kalah. Itu juga momen yang bagus untuk memancing-mancing mereka yang baru pulang dari Malaysia. Waktu yang pas juga untuk bikin tema, “Hari ini,” kata pembawa acara, tahun-tahun terakhir iu dilakoni Pak Jon, guru SMA yang sekarang entah mengajar di mana, “kita akan mengumpulkan 50 sak semen.” Atau misalnya, “Kita akan mencari 30 kodi seng,” dan semacamnya. Tetap saja, masjid kami belum juga rampung-rampung. Itu pun sudah ditunjang dengan pengumpulan kotak infak setiap jum’at, yang neraca uang masuk dan keluarnya terpampang di dinding masjid,s erta pengumpulan infak selama ramadhan. Belum lagi kadang-kadang lelang kyue yang ikut membantu sedikit-sedikit, atau kalau pemuda lagi rajin dan miskin, termasuk saya ketika itu, akan meminta sumbangan di jalan depan masjid ketika lebaran tiba. Tapi begitulah. Tidak Cuma di masjid kami kok, masjid tetangga juga begitu adanya. Maka tak jarang, pembicaraan ibu dan bapak-bapak di hari lebaran adalah, “Masjid kita paling banyaklah infaknya tahun ini. Hasil selama ramadhan saja di amsjdi Nurul Anu gak sebanding inak kita di hari lebaran.”
        Apa mau dikata. Secara kebetulan pula aku menemukan proposal bantuan pembangunan masjid Anu dari kampung Anu lumayan membuat saya kaget dan berpikir wajar jika masjid saya tak rampung-rampung. Anggarannya besar sekali cuy. Ratusan juta, itu juga angkanya di atas lima. Nah. Sudah dulu ya mengenai ini.
        Tiba-tiba Angga berhenti di rumah Uwan Sijam. Mobil ditepikan dan Angga keluar. Hmm.. sepertinya teman yang dimaksud Angga, yang punya mobil ini adalah menantu dari Uwan Sijam. Aku kenal betul dengan keluarga ini. Beberapa hari yang lalu istri beliau meninggal. Merlin, anaknya sepantaran denganku sudah punya anak sekarang, Uni Neng juga.
        Ketika melihat Angga, Uwan Sijam berbisik padaku, “Itu rambutnya asli ya?” memang si Angga ini biang kontroversi sih. Rambut kribonya membuat mukanya seperti bola kaki. Bulat. Seperti Edi Brokoli. “Seperti Giring menyanyi Nidji,” bisik Merlin hati-hati. Waduh..
       Saya tidak tahu apa yang dibicarakan Angga dengan Isum pemilik mobil itu. Yang kutahu dia teman Angga itu saja.
       Melihat komeng dan Anton Uwan Sijam juga mendekat. “Kalian mau kemana?”
       Tanpa menunggu komando, Komeng dengan percaya diri bilang, ‘biasa, ke Padang.”
       Anton sambil membakar class mild berucap dengan dingin. “Refresing…” Sungguh bulu kuduk saya merinding mendengarnya. (BERSAMBUNG)

Tidak ada komentar: