12 Des 2007

Masih Kisah Tentangmu Andi Wiranata II

Orgen Tunggal, Mistik dan tanah Rantau
(Tentang kawanku Andi Wiranata II)

lanjutan dari Andi Wiranata I


Rasanya baru kemarin aku merasakan kau menyentuh bahuku atau berteriak di kupingku setiap pagi, kawan Andi Wiranata. Dan aku bergegas mandi, atau sekedar mencuci muka lalu segera memakai seragam sekolah yang apak dan kotor. Aku tak pernah bisa memakai baju putih. Dan sekejab, motor HRZ buatan Malaysia yang diseludupkan Iwan – kakakmu – menderu di telinga diiringi makian Uni Si’eng kakakku yang terlalu cerewet.


Tentu kita terlambat lagi hari ini.


Sebenarnya, pada waktu kapan saja kita tidak bersama, selain mandi dan hal-hal teknis sejenis itu? Tidak juga, di sekolah aku berkumpul dengan teman-temanku dan aku seperti tidak mengenalmu. Kau terlalu banyak digelayuti perempuan dan terlalu bermurah hati pada mereka sehingga selalu bingung tiap hari Sabtu malam.


“Aku bingung mau ke rumah siapa malam ini. jadi aku memutuskan tidak ke mana-mana.” Dan aku punya teman lagi di malam panjang ini.


Kau suka keluyuran, tak kenal siang atau malam. Sementara aku lebih suka bergelung di dalam kamar atau tiduran di pos ronda di tengah kampung kita sambil melirik-lirik ke rumah Maria. Tiap kali datang kau akan membawa cerita baru, tentang acara apa yang kau kunjungi, cewek mana yang barus aja sempat kau kenali, rumahnya di mana, ada agenda apa saja seminggu ini dari kampung-kampung sepanjang Utara dan Selatan jalan ini.


“Ada orgen tunggal. Aku dapat undangan. Kamu nanti ikut ya?” Katamu berbinar. Matamu Andi Wiranata, matamu itu kawan selalu kuingat dengan fasih. Dan aku menggeleng lemah. Untuk acara-acara semacam ini: makan undangan atau menonton orgen tunggal aku tak begitu menyukainya apalagi kalau jalan bersamamu. Kau tak pernah jauh dari perempuan, dan aku tak terlalu menyukai orang-orang baru.


Pada saat-saat seperti inilah sebenarnya kita terpisah. Kau bergejolak dan butuh keramaian, aku merasa nyaman sendirian. Tak jarang, kita ada perhelatan di sebuah kampung, aku yang dari semula bersikukuh tak mau ikut akan kau jemput berkali-kali, sampai tak seorang pun kau kau relakan duduk di atas sadel motormu. Dan aku dengan sekuat tenaga pula akan menolak. Sesekali aku kalah, terkadang kau pergi setengah marah. Jika kali ini bintangku baik, kau akan masuk ke kamarku malam-malam. Seperti biasa, kau selalu tidur di kamarku. Juga Anton dan Doni. Hanya Hendra adikmu yang masih SMP itu yang jarang berkumpul di rumah ini. dan setelah masuk kau akan mencerocos panjang lebar mengenai acara yang baru saja kau saksikan, siapa saja perempuan baru yang kau kenali.


“Kali ini sepertinya aku benar-benar jatuh cinta padanya.” Desismu dengan yakin. Sebagaimana biasa. Aku kenal kau Andi Wiranata. Besok pagi-pagi kau akan melupakan sebagaimana mimpi. Untuk mengatasi kemalasan mendengar ceritamu –sesekali tentu perkelahian, duel atau antar kampung – aku menyuruh Doni yang masih duduk di bangku kelas tiga SD itu untuk tidur bersamaku. Anton biasanya akan pergi ke acara-acara yang sama, acara yang juga kau datangi. Kalau kebetulan Anton – adikmu yang SMA itu – yang tidur di sampingku, kau akan dengan semena-mena mengusirnya kapan saja. Dan bagiku kalian sudah bukan orang lain.


Pada saat tertentu kau menang, aku harus ikut denganmu dan kitaharus membikin kesepakatan. Bahwa: kita tidak boleh berurusan dnegan perempuan dan orang-orang baru. Dua, kalau pun toh akhirnya kamu berkenalan dnegan perempuan mana pun, tolong aku jangan dilibatkan. Dan kau mengangguk dnegan yakin. Tapi, dasar kau, pada setiap perempuan kau selalu mengatakan. “Kami kembar. Dia adikku, usia kami berpaut satu setengah jam saja.”


Merek mengangguk, tentu sama sekali tak percaya. Mana mungkin kembar jika tak ada yang sama dari kita. Dan kau tetaplah orang yang diburu-buru para gadis, dan ‘saudara kembarmu’ tak cukup menyelamatkan hidupku bahwa satu-dua dari mereka akan berbalik mendekatiku. Tak pernah.


Kau hampir-hampir tak pernah pulang ke rumah. Anton dan Doni juga. Aku mahfum, tak ada sesiapa di sana, hanya Hendra yang mulai berlaku seperti perempuan di rumahmu. Ah, kau enam orang lelaki yang semuanya keras kepala. Hanya saat menitipkan uang belanja dan makan sajalah kiranya kau sempatkan ke rumah. Selebihnya kau menghabiskan waktu di tempatku jika tidak di jalan-jalan. Kau ini Andi Wiranata...


Saat-saat paling buruk dalam hidupku adalah tidak memiliki uang untuk sebatang rokok. Nyaris setiap hari aku alami hal semacam itu. Dan kau, setiap kali aku habis makan akan bertutur dnegan santai. “Punya rokok ndak?” serta merta aku menggeleng dan cengngesan. Dulu gigiku belum patah seperti sekarang, tentu kau tidak tahu bagian ini.


Inilah yang kadang tidak aku suka darimu. Suka menghambur-hamburkan uang. Kiriman ibumu semuanya kau yang pegang. Untuk teman-teman, apa pun yang mereka minta tanpa berfikir dua kali kau akan memberikannya begitu saja. Beli rokok, uang bensin, modal main kartu, beli minuman sampai utangan yang tak akan pernah dibayar. Dan kemiskinan yang membelitmu tak membuat seorang pun balas simpati padamu. Dan kau selalu mengadu padaku.


“Aku menguji mereka. Orang-orang yang kita kenal.d alam kondisi seperti apa saja mereka membutuhkanku.”


“Kau sudah tahu jawabannya bukan?”


“Ya, tapi setiap kali mereka datang padaku dengan kerut di kening aku tak pernah bisa untuk tak tega.”


Aku mengenal minuman darimu, Andi Wiranata. Kita sering nongkrong sama Roni, Uwan Ijal, Suan, Tion. Roni dan Uwan Ijal adalah pemabuk nomor satu. Juga Isap, Siil, Dodi, dan serombongan yang lainnya. Suatu kali aku melihat kau ikut menonoh botol minuman ke mulutmu, mulut yang tak pernah berhenti mengucapkan usali.


Dan aku ikutan minum sejak itu. Dan nyaris menjadi tukang mabuk.


Kau selalu bisa meninggalkan apa pun yang ingin kau tinggalkan. Kau sempat merokok, karena kau takut bibirmu tak akan semerah bibir Ari Wibowo kau hentikan itu nikotin dan sepanjang malam memasang pasta di bibir hingga melepuh. Juga mabuk.


Lalu kita mengenal kartu. Kita selalu bermusuh karena aku selalu bermandan (pasangan main) dnegan sepupuku. Tapi kau tak pernah mau mengambil uangku kalau kau menang.
“Kau mandanku, aku tak akan memakanmu tapi kalau kau menang tak usahlah bermandan dneganku. Mana pulauang yang akan kau dapatd ari kemenangan itu.” Begitu katamu selalu.
Dan kita selalu bertengkar jika sudah bicara kepercayaan. Kau percaya pada yang mistis, sesuatu yang keramat, rapalan dan mantera-mantera. Seperti yang kukatakan kau selalu percaya dengan omongan orang yang bisa berdiplomasi. Kita sering berdebat soal politik, kenapa Soeharto tumbang, kenapa Tragedi Mei terjadi, Wiji Thukul dan orang hilang, mengapa kita dijajah belanda, apakah sihir benar-benar keluar dari tangan serupa api, seperti seorang politikus dasyat. Dan kita akans elalu bertengkar karenanya.


Selalu itu yang kita pertengkarkan, sesekali waktu kau mengutip pula dariku. Pertengkaran yang itu-itu juga, soal kuburan berasap, hantu yang bisa mencekik leher, orang mati yang bisa hidup lagi, kerajaan di bawah tanah, nabi dan malaikat, bagaimana rasanya bercinta dengan si ini, si itu dan si anu, bagaimana proses pencernaaan, seperti apakah bentuk lubang perawan. Dan kita akan bertengkar lebih dasyat jika kubilang kau bisa mengelilingi bumi menuju satu arah dan akan kembali ke tempat semula,d an kau akan menentangnya. Kau bilang si anu itu bisa berjalan di atas air dan aku menolaknya pula. Setelah itu kita akan berkata.


“Capek bicara denganmu.”


Lalu, “Iya..iya kau benar.” Lalu melompat ke warung. Dan kau selalu malas berhadapan dengan buku.


Pada akhirnya kau pergi juga. Segalanya telah kau persiapkan sejak bberapa bulan lalu. Pada pacar-pacarmu kau bisiki untuk setia menunggumu. Dan pagi itu rasanya berjalan dnegan pelan.


“Sebelum kau hilang, ada baiknya aku hilang.” Katamu. Dan aku tahu, kampung memang semakin lengang. Setiap hari selalu ada yang pergi dan kita tak pernah mencatatnya. Tahu-tahu si ini sudah tak ada, si itu tak nampak lagi pastilah dia sudah sampai di tanah seberang. Kita tak pernah bisa mencatat orang-orang yang pergi seberapa pun sepinya kita.


“Kau kan tahu aku tak bisa menulis surat.” Katamu ketika aku memintamu berkabar. Dan aku ingat, sebagian dari surat-surat cintamu akulah yang menuliskannya. “Tapi untukmu bolehlah...”


Aku tak begitu yakin dengan yang ini. tapi yang pasti inilah saat terakhir aku melihatmu begitu bis panjang itu menelanmu ke mulutmu dan kau tenggelam di ujung jalan.


Jalan telah memakanmu. Kemudian aku.


Rasanya baru kemarin aku merasakan kau menyentuh bahuku atau berteriak di kupingku setiap pagi, kawanku Andi Wiranata.

Tidak ada komentar: