2 Jun 2011

Keliling Sumatera Barat (3): Masih di Pesisir Selatan Sumatera Barat

(Nyaris) Keliling Sumatera Barat:
"Terjebak" Perjalanan yang Mengasyikkan (3)
 

Tak lama, perjalanan di sepanjang kawasan Pesisir Selatan Sumatera Barat dilanjutkan. Pertama-tama, kata Angga sang sopir tunggal kami, kita akan berhenti di Painan, Ibu kota Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Dia akan memasang pemancar radionya. Dia memang sengaja membawa radio panggilnya itu untuk berbicang-bincang dengan kawan-kawannya di berbagai pelosok wilayah. “Sekalian menguji frekuensi,” ujarnya diplomatis. Komeng bengong, Anton sibuk lagi dengan urusan perutnya.
            Komeng dan Anton memperhatikan radio panggil milik Angga saling lirik dan cekikik.


            Saya mencoba menghitung perjalanan, berapa jauh sebenarnya Batang Kapas, nama sebuah kecamatan di utara kecamatan kami, dari kampungku. Aku penasaran, berapa jauh dulu aku melakukan perjalanan pulang-balik ke sekolah. Saya SMP di Taluk, di kecamatan sebelah setelah melewati sebuah bukit yang kalau di daerah kami dulu disebut Bukit Taluk, kalau di desa tetangga di sebut Bukit Taratak. Sungguh luar biasa tidak ada klaim-klaiman. Justru mereka yang tinggal di Taratak menyebut sebagai bukit tetangga, sementara yang di Taluk juga menyebut itu daerah tetangganya. Saya juga pernah SMA di Anakan, dekat Pasar Kuok ibukota kecamatan Batang Kapas yang di masa orde baru merupakan ibu kota kecamatan kami juga. Saya mencoba mengira-ngira sekali lagi seberapa jauh saya dulu naik kendaraan sendirian untuk sampai di kawasan ini.
            Kami melewati Taratak. Menjelang Banda Gadang saya peringatkan Angga untuk pelan-pelan di depan sebuah rumah. Komeng memekik cemas. Anton terbahak. Begitulah. Di sebuah rumah, Angga tidak hanya memelankan mobil, tapi juga memencet klakson berkali-kali. Anton melambai-lambaikan tangan, sementara Komeng menyembunyikan kepala di dalam mobil. Itu rumah pacar Komeng.
            “Awas ya..” ancam Komeng pada Anton yang kembali mengurus perutnya yang mules.
            Perjalanan berlanjut. Kami sampai di Pasar Taratak, tentu masih di daerah Pesisir Selatan Sumatera Barat. Dulu namanya Balai Kamis. Ada pasar yang dulu sekali buka setiap hari kamis. Waktu aku kecil juga, aku pernah ke pasar itu. Tak terlalu ramai memang tetapi ada yang jual martabak horas ketika itu. Saat SD saya juga pernah dibonceng teman ke sini. Kami membeli kelereng dan gambar umbul. Di depan pasar dulu ada Rumah Gadang yang di depannya ada tulisan Balai Kerapatan Adat Nagari. Rumah panggung yang tinggi dan rapuh itu kini tak ada lagi. Sudah diganti kantor Wali Nagari. Di sana juga ada perpustakaan, yang saya tidak tahu bagaimana penanganannya.
            Di depan pasar yang sekarang kosong melompong itu ada sebuah SD No  sekian (saya lupa nomornya) desa Taratak. Di depan sekolah dulu ada tugu tangan yang teracung. Saya yang waktu kecil belum tahu tugu itu apa berpikir itu benar-benar tangan manusia yang diacungkan sepanjang hari. Tugu ini selalu menarik pengamatan dan pikiran saya ketika masih kecil tentang siapa pemilik tangan yang mengacung itu. ibu saya berkali-kali menegaskan itu satu. Tapi saya yakin itu tangan sungguhan yang sudah mengeras dan menjadi batu. Pertengkaran sengit saya dan ibu selalu berlangsung setiap kali saya dibonceng dari lading ke kampung, atau sebaliknya. SD ini kabarnya merupakan SD tertua di daerah kami. Ibu saya juga sekolah di sini. “Cuma sampai kelas lima,” ibu saya menjelaskan berkali-kali. Di salah satu SD ini pula dulu konon bapak saya yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah mengintip dari balik jendela di jam-jam pelajaran sekolah. Saya selalu sedih membayangkan kisah ini, tentang bapak saya yang tidak bersekolah tapi mati-matian belajar untuk bisa menulis dan membaca. Hingga saat ini.
            Setelah itu kami akan sampai di jembatan Olou. Waktu saya kecil juga nih, kami melihat ada mobil-mobil berat bekerja sepanjang hari memperbaiki jembatan. Jembatan lama sementara dirobohkan diganti jembatan cadangan yang dibuat dari batang kelapa. Kawasan ini sempat menjadi ramai karena kata orang-orang kampung ada tentara yang kaya mendadak. Rumahnya di kawasan itu. Saya tak kenal siapa orangnya dan bagaimana dia bisa kaya mendadak. Yang pasti saya memang melihat rumah bercat putih yang bangunannya depannya seperti bank. Dan yang paling kutahu, dampak dari orang kaya mendadak ini telah membuat kawan kami si Wal, buru-buru pengen nikah. Si orang kaya mendadak ini baru saja menyunting seorang gadis tetangga kampung kami dan, Astaga, ternyata disukai oleh si Wal juga.
            “Mas kawinnya kunci mobil,” begitu seseorang pernah saya dengar bercerita. Kabarnya, karena saya tidak terlalu tertarik cerita ini, dia kaya lantaran ikut berinvestasi di bank tertentu. belakangan orang-orang banyak yang kehilangan duit sampai puluhan juta karena duit itu dibawa lari oleh bos bank. Nah si orang kaya mendadak ini adalah orang yang awal-awal berinvestasi sehingga mendapat untung yang tak sedikit. Kasus semacam ini sering saya dengar, orang diminta berinvestasi untuk proyek tertentu di mana bunganya sangat besar. cuma ya begitu, banyak yang menjadi penipuan.
            “Di sini rumah orang kaya itu…” jerit Komeng dan Anton bersamaan. Angga mengangguk-angguk. Lamunanku terhenti seketika.
            Aku segera pura-pura mengerti. Angga memperlambat laju mobilnya. Kami berjalan pelan-pelan menjelang sampai di jembatan Olou.
            “Kita berhenti lama di Painan?” aku bertanya pada Angga.
            “Ya, kita ke radio dulu. Saya mau pakai antena di Langkisau FM,” katanya sambil menunjuk radio yang dibawanya. Luar biasa. Painan, ibukota kabupatenku sekarang makin maju. Setidaknya ada tiga radio yang FM yang mengudara di sini sejak tahun 2000-an kemarin. Angga salah satu operator dan mengurusi segala hal yang berhubungan dengan frekuensi dan gelombang, tentu juga pemancar. Dan bisnis radio pun naik turun. Langkisau FM merupakan radio yang di back-up oleh pemda.Saya merasa Pesisir selatan, Sumatera Barat ini bisa semakin maju dalam informasi.
            “Tapi tak seberapa. Di luar itu semua, kawan-kawan itulah sebenarnya yang masih membuat radio itu terus bertahan.”
            Saya mendengar radio ini beberapa kali. Dulu, semalam suntuk ketika saya berada di rumah sakit bersalin, menemani seorang kawan yang istrinya bermasalah dengan kandungan. Tapi saya merasa belum punya teman di sini, kecuali Uni Murni, sepupu saya yang berumah dekat Lembaga pemasyarakatan sejak puluhan tahun lalu, karena suaminya kerja di penjara itu.
            Painan sebuah kota kabupaten Pesisir Selatan di Sumatera Barat yang tengah berbenah, bergerak maju dengan potensi wisatanya dengan menawarkan Langkisau dan Carocok serta Pulau Cingkuak, rumah sakit, sekolah dan fasilitas umum lainnya. Anak-anak muda yang rajin sekolah dan tetap saja menarik minat remaja-remaja untuk melanjutkan sekolah di sini dan banyak kegiatan-kegiatan yang bisa ditemukan. Tapi tetap saja sulit mencari koran di sini. Apalagi koran nasional yang baru berkunjung setelah petang menjelang. Yang tersedia paling hanya Kompas dan tabloid olahraga macam Bola dan tentu saja Motor. Bukankah di setiap tempat renovasi motor menjadi trend? Tapi tenang dulu, kita belum sampai di Painan, jadi saya tak harus bercerita banyak, apalagi buru-buru menyebut nama Yuka Fainka Putra yang akan mendapat porsi yang cukup memadai di sini. Kukatakan, bersabarlah.

Kurasa kita tadi masih menjelang jembatan Olou. Di jembatan Olou ini juga dulu pertama-tama saya dan Izal teman SD saya mengalami kasmaran yang aneh. Kami senang dengan Sri, anak kepala desa yang punya rumah di dekat jembatan ini. kami bertemu Sri ketika ujian Ebtanas sekolah dasar. Untuk daerah Taratak ujian dilakukan di satu sekolah saja. Ada tiga sekolah yang bergabung, SD Inpres Pasir Koto Taratak yang merupakan SD saya yang jumlah muridnya paling sedikit, SD Koto Taratak dan SD Taratak. Nah kami bertemu Sri di hari-hari terakhir ujian Ebtanas. Aku merasa menyukainya, demikian juga Izal kawan saya. Kami telah terhipnotis oleh rasa cinta kanak-kanak yang rasanya amat ganjil. Maka sejak itu, sepeda Phoenik betina saya sepanjang siang akan melayang-layang di jalanan ini. Cuma kami nyaris tak pernah berani sampai di Jembatan Olou depan rumah Sri. Kami tak siap bertemu. Tak kuat menahan debaran jantung. Masa kanak-kanak yang tak terlalu buruk. Jika sesekali aku sampai juga di jembatan, kami hanya bertemu dengan Nosib dan Rudi, adik Sri yang masih bocah. Sekarang Nosib sudah punya anak dan Rudi ada di Yogyakarta juga. Namanya Okdinata, kuliah di jurusan psikologi UIN dan kebetulan satu angkatan dan satu fakultas dengan saya. Jadilah, untuk pertama kalinya di dunia, kami berdua sama-sama dari Taratak dan kuliah satu fakultas. Satu kampung yang sebelumnya tak saling kenal. Hebat sekali dunia ini.
            “Nanti kita beli sepeda federal dan bikin celana kain.” Gumam Izal berkali-kali kepada saya. Waktu itu memang sedang trend sepeda federal di kampung saya termasuk juga game wacht (benar gak nih tulisannya). Untuk mode, saat itu anak-anak muda membikin celana dari kain sarung (jenisnya Kain Jao (mungkin maksudnya Jawa). Celana itu memiliki saku yang banyak dan di setiap sakunya dikasih tali yang menggantung. Sumpah, itu adalah mimpi besar saya sejak kelas lima SD: punya sepeda federal dan celana kain. Dan cerita tentang Sri mengambang seiring waktu.
            Lalu kami sampai di Simpang puskesmas Koto Taratak. Di sana ada tikungan yang bagi saya dulu sangat ngeri. Di depannya sejak lama sudah berdiri pos ronda. Waktu kecil saya shalat jum’at di masjid belakang situ. Arah kiblatnya agak beda, karena memang posisi matahari tenggelam di kawasan ini agak berbeda. Dari itu berbelok. Setelah melihat googleearthlah saya agak paham mengapa di kawasan sini arah mataharinya beda. Dulu saya sangaaat penasaran. Karena Koto, nama wilayah ini akrab disapa, punya arah matahari tenggelam yang beda. Itu hanya posisi kamu terhadap matahari saja, ilmu fisika mengatakan itu kepada saya.
            Tak lama kemudian kami akan sampai di Koto yang menjadi sentral wilayah ini, saya satu tempat di Pesisir Selatan Sumatera Barat. Di Koto inilah terdapat Sekolah Dasar, ada kantor pemuda dan sebuah lapangan. Jika lebaran kawasan ini ramai dan menjadi pusat keramaian anak-anak dan remaja. Di sana setiap tahun selalu ada Buayan Kaliang (komidi putar). Di sana pula saya terkagum-kagum dengan kantor pemuda yang sampai sekarang masih berdiri itu. Atapnya berupa gonjong. Rasanya tinggal di daerah ini sungguh menyenangkan. Di Kantor Pemuda dulu sekali ada televise hitam-putih yang setiap malam menyala dan dikunjungi orang seantero desa. Saya pernah datang menonton sekali. Setiap lewat di sini saya selalu ingin memiliki tivi di kantor pemuda itu.
            Kawasan ini ramai karena di bagian belakang juga memiliki sebuah kampung. Koto Kaduduak, Kampuang Panai dan beberapa kawasan lainnya di dalam sana. tempat masuk dan keluarnya ada di kelok yang sudah kami lewati tadi dan nanti agak ke utara Koto ini.  anak-anak di kawasan ini biasanya sekolah di SD saya. Maka kami yang anak-anak SD Inpres dianggap anak ulok (kampungan). Sebenarnya saya ingin sekali lewat di kampung ini, Cuma entah kenapa saya tidak sempat masuk ke sana selama saya di rumah.
            Di daerah ‘dalam’ itu punya banyak kenangan juga saya. Di sana ada helr (mesin penumbuk padi) satu-satunya di daerah Koto. Helr itu punya Haji Ripun orang terkaya di kampung kami. Haji Ripun punya warung di rumahnya dekat jalan raya. Salah satu kalimat dari Haji Ripun yang dikenal oleh seluruh penjuru kampung adalah, “Hidup Senang, Rezeki Murah’ kalimat itu konon beliau ucapkan ketika akan berangkat haji. Di sebelahnya helr itu ada video. Kau tahu arti video di tahun 90-an bukan, saat listrik belum masuk ke desa kami? Video itu merupakan milik anak Pak haji Ripun. Di kenagarian kami, sepanjang yang saya tahu hanya ada dua tempat menonton video. Tempat pertama ada di Taratak, dekat rumah pacar si Komeng tadi. Di sana polanya seperti nonton bioskop. Saya pernah nonton beberapa kali. Di teras samping rumah ditutup dengan lapik agar tidak ada penonton gelap. Di teras bagian depan ada tulisan: PILEM MALAM INI. kau tidak hanya sekedar mempelototi judul pilem, tapi juga bisa melihat gambarnya. Kita bisa melihat gambar sampul dari video itu dan bolehlah mengagumi Sindi Rokrok (Cindy Rocrock, Brucele (Bruce Lee), Bari Prima, Pembangun (Advend Bangun), Johan Sinima (Johan Saimima), Eva Arnaz, dan lain-lain (nama-nama itu merupakan sebutan khas daerahku). Di depan pintu kau akan bertemu dengan penjaga yang menampung tangannya untuk 50 rupiah yang kau sediakan di kantong lalu silahkan masuk dan memilih tempat duduk.
            Nah, di Koto ini tempat nonton video kami agak berbeda. Kami hanya boleh menonton video kalau malam minggu saja. Teman-teman sekolah saya banyak tinggal di kawasan ini. tentu dia tidak hanya nonton video malam minggu saja seperti saya. Cara pemutarannya unik. Tuan rumah akan memutar dulu pilemnya, nanti penonton bilang, “tukar.. tukar..” permintaan terbanyaklah yang akan dipilih. Teman-teman saya sudah hapal hampir semua pilem-pilemnya karena memang koleksinya tidak terlalu banyak. Setelah itu ambil uang di kantong, ‘petugas’ akan berjalan memungut pada orang per orang. Saya selalu dibuat terkagum-kagum dengan adegan pembuka film-film Indonesia itu, meskipun gambar-gambar yang hampir tidak terlalu bagus.
        Sampai di Koto tadi ya? Nah setelah itu kami akan sampai lagi di sebuah belokan menjelang jembatan. Ini batas koto dengan wilayah Pasie. Di daerah ini ada sekelompok rumah. Di pinggir jembatan dulu ada surau tempat kami shalat kalau bulan ramadhan. Daerah ini dulu kami mengenal Ayek Tunuih almarhum. Di sini tinggal teman-teman sekolah saya, Izen, Irum dan tentu Anti, gadis hitam-manis yang entah kenapa waktu SD kami selalu dibilang pacaran oleh teman-teman. Aku dan Anti dijuluki pacaran sejak kelas satu, sejak kami pertama-tama di foto berdua untuk gambar rapor. Kebetulan aku dan Yulianti dipanggil untuk foto berdua. Sementara teman-teman yang lain pasangan fotonya sesama jenis kelamin. Setelah terima raporlah ketahuan, ketika Anti juara satu dan saya juara dua. Sejak itu untuk semua urusan selalu saja sama. Aku ketua kelas sampai kelas enam dan Anti bendahara merangkap sekretaris dan teman-teman yang badannya besar jadi wakil ketua dan keamanan. Saya jadi tahu, sebab hampir semua sekolah memberlakukan sistem ini, bahwa tidak selalu jabatan disandang oleh mereka yang berbakat di bidangnya tapi seberapa prestasi akademiknya. Wah gawat ya?

            Komeng sudah mulai senyum-senyum ketika kami mulai masuk ke daerah kelok BSP. Anton semakin terkulai di bangkunya, entah karena perutnya sudah tidak mau kompromi atau karena mulai terancam dengan senyum-senyum Komeng. Nah kelok BSP ini dulu merupakan kawasan penghasil aspal. Bukan penghasil sebenarnya, tahun 80-an akhir itu semua ada proyek perbaikan jalan. Nah untuk seluruh kawasan Pesisir selatan, aspalnya dimasak di sini. Setiap sore kawasan berisik dan berdebu ini menjadi tontonan orang. Dulu saya pernah diajak Abak juga naik sepeda dan sesekali kakak tertuaku memboncengku ke sini melihat mobil-mobil berat keluar masuk perusahaan dan mendengarkan orang-orang ngomong dengan bahasa asing. Tentu saja bahasa Jawa kalau tidak bahasa Batak. Hehehe… seiring dengan kelarnya proyek pembangunan jalan utama, perusahaan ini pun ditinggalkan. Hari ini masih bersisa bekas aspal mengering di sejumlah kawasan dan rumput pun bahkan enggan untuk tumbuh. Kerikil di mana-mana dan tanah ini nyaris tak bisa dijadikan apa pun. Hanya ada satu surau kecil milik pengikut Nasabandiah yang anggota pengajiannya adalah orang tua yang sudah pikun. Saya tak tahu hari-hari belakangan masanya terus meningkat atau bagaimana.
            Sejak naik pertama Anton sudah duduk di bangku paling depan. Dan Komeng setia di belakang sopir dan saya ada di antara mereka. Kami sampai di kelok BSP yang dulu merupakan pusat kawasan daerah Pasie. Di sini ada lapangan bola yang dipakai untuk shalat idul fitri bagi seluruh masyarakat Pasie dan Koto. Dulu sekali di sini adalah pabrik aspal paling besar ketika jalan-jalan di kampung kami mulai di aspal. Di sini tinggal sekelompok masyarakat yang sebagian anak-anaknya adalah teman sekolah saya. Ada Imul yang tinggal di dekat lapangan, ada Sihen teman baik saya sampai sekarang, ada davit, ada Rina, ada Susi, dan beberapa nama lainnya. Tak jauh dari sanalah nanti akan ada seolah saya. SD Inpres no 64 Pasir Koto Teratak, begitu tulisannya. Sekolah itu terletak sekitar 300 meter dari tepi jalan, terpencil di kaki bukit. Jalan satu-satunya hanya ada di samping rumah Ayek Mili.
            Sekolah ini masih hinggap di kepala saya detail-detailnya. Kita mesti berjalan beberapa meter ke dalam. Ada kolam-kolam kecil yang kami gali sendiri. Sekolah kami persis berada di kaki bukit dengan cat merah putih dan di tengah-tengahnya terpampang tiang bendera. Sebatang pohon petai cina yang kini mungkin sudah mati, beberapa pohon asam dan rumah dinas guru yang tak kalah meranggasnya. Lain waktulah saya cerita bagian ini.
            Tiba-tiba Komeng menjerit dengan kencang ketika mobil baru melewati kawasan sekolah saya. “Bang Angga, pelan bang. pelan….”
            Saya dan Angga kaget luar biasa. Serta merta Angga memelankan mobilnya. Sementara Anton semakin menempel kaku di bangku depan. Ia lebih pucat dari biasanya. Perjalanan sepanjang kawasan Pesisir Selatan Sumatera Barat baru saja dimulai(BERSAMBUNG)
           

Tidak ada komentar: