18 Okt 2023

Tetangga Kami Sebuah Cerita

 

Pada dasarnya kami nyaman bertetangga dengan siapa saja. Tetapi ada hal-hal yang membuat kami tak bisa menerima kehadiran tetangga kami yang satu ini.

Sejak mereka tinggal di sini kami sudah merasa akan ada yang tak beres, terjadi pada hidup kami setelah ini. Ini tahun-tahun yang panjang jika kami harus menyesal. Setiap itu kami hanya bisa mengutuk kakek kami yang mau-maunya menggadaikan tanah pada tetangga kami yang licik itu.

Ia telah memecah-mecah keluarga besar ini menjadi tempat yang berjauhan. Semula, rawa-rawa tempat tetangga kami yang jahat itu tinggal, digadai oleh kakek kami lantaran nenek mendapat penyakit aneh dan harus segera diobati. Mereka meyakini kami tak akan menggunakan rawa-rawa itu lantaran kami masih memiliki tanah yang lain. Karena tanah kami yang luas, ayah-ibu dan saudara-saudara mereka tidak ada yang protes ketika itu. Jadilah kami menumpuk rumah di bagian kiri, yang lain di bagian kanan dengan perantara rawa-rawa tergadai itu. Saat itu tanah kami masih sangat luas untuk dibikin rumah oleh keluarga kami yang besar ini.

Yang kami sesali tentu saja posisi tanah yang ditempati. Setelah rawa-rawa itu ditimbuni, ia membikin rumah yang luas dan ramai, nyaris menghabiskan tanah yang digadaikan kakek kami tersebut. Bahkan air rembesan dari atap rumahnya jatuh di halaman samping rumah kami.  Kami tak bisa memperingatkan lagi lantaran rumah itu dibangun begitu cepat tanpa pembicaraan apa pun dengan kami.

Sejak itu pula secara kekeluargaan antara kami yang ada di sebelah Barat dan di sebelah Timur jadi berjarak.

Ini bahasa kami saja. Orang tua kami bisa saja menyeberang jalan untuk meminjam cabe-garam pada bibi-bibi kami yang lain. Kami masih bisa bermain dengan sepupu-sepupu kami yang banyak. Tetapi jelas kami sudah tidak bisa saling berteriak dari rumah masing-masing untuk meminta sesuatu atau memanggil yang lain. Kami harus melewati jalan dulu untuk bisa sampai di rumah yang dituju. Ini cukup merepotkan juga. Rawa-rawa itu semula merupakan tempat kami, para sepupu dan anak-anak tetangga lainnya, main petak umpet dan perang-perangan. Sebab rawa-rawa yang ditumbuhi pohonan rendah itu tempat sembunyi kami di musim-musim kering, tampat menangkap ikan ketika air mengering.

Semula tetangga kami itu masih bersikap sebagaimana orang baru di kampung kami. Lantaran kakek kami tak bisa membayar uang yang dipinjamnya itu, akhirnya tanah itu ditempati oleh tetangga kami yang berumah besar itu. Nenek kami mampus juga akhirnya oleh penyakit aneh yang membuatnya tak mengenal kami, anak-cucunya.

Lantaran tetangga kami menghabiskan seluruh lahan yang dimilikinya, jelas ia menjadi kesulitan untuk melakukan hal-hal sederhana. Menjemur pakaian misalnya, dia akhirnya memakai sedikit tempat di lahan kami yang berada di belakang rumahnya. Demikian juga untuk saluran air dari kamar mandi dan pipa pembuangan. Semula untuk hal-hal demikian dia meminta izin kepada satu-dua orangtua kami. Bagi kami itu juga tidak ada masalah selama tanah tersebut masih kosong. Untuk urusan saling pengertian semacam itu kami jelas masih memilikinya.

Kami tak pernah tahu dengan persis apa pekerjaan tetangga kami itu. Yang jelas dia pastilah orang kaya. Setiap pagi kami akan menerima suara berisik dari bagasi rumahnya. Dua mobil pribadi menderu dari sana, juga mesin motor yang dipanaskan. Setiap hari selalu ada tamu yang berkunjung ke rumah itu sampai kami tidak bisa menghitung sebenarnya ada berapa keluarga yang menghuni rumah besar di sebelah rumah kami itu. Yang jelas, keramaian tak pernah lepas dari rumah itu nyaris dua puluh empat jam. Sehari semalam. Suara tangisan, orang bertengkar, suara musik yang diputar keras, piring pecah, bau-bauan yang berasal dari dapur dan berisik lainnya.

Salah seorang dari kami, yang tinggal paling dekat dengan tetangga kami bertengkar dengan salah satu penghuni rumah itu. Lantaran pagi-pagi mereka mencuci mobil di halaman rumahnya dan mereka tak memiliki saluran air. Busa sabun dan genangan selokan telah merambat di samping rumah saudara kami itu. Akibatnya dua anak kecil saudara kami terkapar di rumah sakit lantaran demam berdarah.

Tetangga kami itu jelas mengelak ketika dituduh telah membuat kolam air kotor di samping rumah saudara kami yang terdekat darinya itu. Bagi mereka, saudara kami itulah yang kotor dan jorok, kenapa air yang masuk ke halamannya tidak dialirkan ke got di pinggir jalan.

Lalu tetangga kami itu mulai memagar sekeliling rumahnya setinggi atap. Tapi tetap saja ujung atap rumahnya jatuh ke samping rumah kami yang jika hujan membuat bunga-bunga di teras layu dan patah. Sejak itu pula kami tak tahu banyak aktivitas di rumah itu kecuali suara berisik yang kian lama kian ramai.

Awal mula pertengkaran sengit itu adalah soal tanah. Sebagaimana yang kami sebut di atas tadi, kami merelakan sebagian tanah kami ditempati untuk menjemur pakaian dan kandang ayam mereka. Kami membiarkan ketika dia mengklaim pohon mangga yang berbuah lebat itu—yang terletak di sisi barat rumahnya, dianggap tumbuh di tanah mereka. Kami tentu harus menelan ludah melihat buah ranum itu pada akhirnya jatuh ke tangan tetangga kami itu. Lalu giliran pohon ceri dan jambu air yang masih berada di samping timur rumah itu dianggap berada di lahan mereka. Tanah dia yang mana coba, jika sejak awal, seluruh tanah yang menjadi miliknya telah dihabiskan untuk lahan rumah yang lebih tepat sebagai rumah penampungan.

Jadi begini ilustrasi rumah tetangga kami itu, untuk memperjelas cerita kami ini. Tanah kami menghadap ke arah Selatan dan berbatasan dengan jalan raya. Jika dihitung dari rumah tetangga kami, ke arah barat terdapat tiga rumah keluarga kami, ke timur ada lima rumah. Semua tanah yang terdapat di pinggir jalan memang telah ditempati. Jika ditotal semua ada sembilan rumah yang besarnya agak lumayan. Selebihnya berderet-deret di belakang rumah utama.

Rumah tetangga kami itu ukurannya adalah dua kali rumah kami jika digabungkan. Demikian pula panjangnya. Besar sekali bukan? Di sebelah Timur ia membangun rumah persis di batas tanahnya yang sempit itu. Di arah barat sedikit di sisakan untuk sedikit jalan menuju dapur dan tempat menjemur pakaian mereka—tentu di tanah kami. Kebetulan sekitar empat lima meter barulah terdapat rumah lagi, rumah saudara kami yang lain. Di bagian depan, terasnya nyaris berhadapan dengan jalan. Di utara, bagian belakang rumahnya seharusnya tanahnya habis pada bagian dapur rumah tersebut, tetapi karena dipakai untuk lahan yang kami sebut tadi ia menambah lahannya dengan semena-mena.

Pertengkaran tentu tak terelakkan ketika salah seorang sepupu kami menikah dan berniat membikin rumah di bagian belakang rumah tetangga kami yang masih termasuk lahan kami itu. Tempat pembuangan tetangga kami, berupa kolom besar yang kotor dan bau berhadapan tepat di depan rumah sepupu kami. Sepupu kami mencoba protes, tetangga kami menyalahkan mereka, kenapa harus membikin rumah dekat dapurnya dan harus menghadap ke lubang pembuangan mereka pula.

Mendengar itu tentu keluarga besar kami jadi berang. Apa urusannya mengatur kami akan membuat rumah di mana dan menghadap ke mana. Bukankah ini tanah kami dan kami berhak melakukan itu semua. Bukankah dia juga bersikap sesukanya dan kami telah berbaik hati memberikan sedikit tanah kepadanya.

Tetangga kami mencari pembelaan. Ia menyebarkan ke seluruh kampung, bahwa kami, keluarga besar yang menjadi tetangga rumahnya itu sebagai keluarga besar yang jahat, yang bersekutu ingin menghancurkan hidup mereka. Kami, kata tetangga kami itu, adalah keluarga pelit dan kejam.

Kepala desa kami akhirnya turun tangan. Ia membela tetangga kami itu. “Dia orang jauh,” katanya. “Mereka juga terdiri dari beberapa keluarga yang menempati tempat itu. Dibanding dia, kalian lebih beruntung, punya tanah yang luas dan bebas bikin rumah di sana.”

Kami menyerah. Tetangga kami ini memang pandai mencari muka. Ia loyal dan suka membantu kegiatan apa pun. Setiap ada kegiatan di kampung, mereka semua akan turun tangan. Jika ada kegiatan dan perlu sumbangan dana, merekalah penyumbang terbesar di kampung kami. Bahkan di hari-hari besar, mereka tercatat sebagai penyumbang tetap, baik dalam bentuk uang, maupun binatang ternak.

Kepada kami, tingkahnya makin berlebih-lebihan. Dia juga telah meretakkan hubungan kami saudara-bersaudara. Ia baik pada keluarga yang punya pandangan positif padanya sementara kepada kami yang berada persis di sekitar rumahnya dia bersikap tak mau tahu. Pada saudara kami yang rumahnya berada di titik terjauh rumahnya ia memburuk-burukkan kami, mengungkit-ungkit hal-hal yang tidak dilakukan saudara-saudara kami. Mereka tukang fitnah paling hebat di kampung itu. Anehnya, semua orang di kampung mulai tak berdaya terhadap orang baru itu. Mereka kaya, punya segalanya dan kehilangan rasa segan pada kami yang hanya petani dan manusia kampung yang lugu.

Kami habis akal menghadapi mereka. Sebagian dari kami yang dewasa, mulai mencari tempat lain untuk ditinggali. Sementara sedikit demi sedikit tanah kami dimakan mereka. Tidak hanya pohon mangga, pohon ceri dan jambu air di barat rumah, pohon rambutan tua di sudut dapurnya itu pun mulai diklaim sebagai miliknya dan mereka mulai melarang anak-anak memanjatnya jika musim buah.

Sudah berkali-kali kami perang mulut, tetapi tetangga kami adalah orang yang tangguh. Dia pintar mengarang-ngarang cerita kalau kami, tetangganya, berlaku tak adil pada mereka. Kami terlalu pelit dan bersikap diskriminatif pada mereka, katanya. Dan orang-orang mempercayai dia sedemikian rupa. Atau memang tak memiliki keberanian membantah orang kaya dan berkuasa itu. Tetangga-tetangga kami mulai menasehati kami, termasuk pak lurah tadi dan ustad di masjid kami. Pada kami si ustad mengatakan, “Dosa soal tanah sangat besar. Jika ada yang berbuat curang dalam artian mencoba menambah-nambah lahan, maka nerakalah tempat mereka.”

Kami bersikeras tetangga kamilah yang seharusnya menempati tempat terkutuk itu. Tetapi tetangga kami punya pandangan yang lain pula. Seharusnya tanah yang dibelinya dari kakek kami itu meliputi tanah yang berada di barat rumahnya. Tetapi lantaran sebagian tanah itu dibangun rumah oleh saudara kami lebih dulu mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Lagi pula, sejak semula, mereka tak terlalu peduli soal tanah. Mereka hanya mau membantu kakek kami yang kesulitan uang untuk merawat nenek kami. Mereka dengan cara diplomatis mengatakan pada banyak orang, “bukankah selama ini di kampung kita ini, nyaris tak pernah bertengkar soal tanah sepadan?”

Kami menolak hal itu. Kami minta bukti.

“Bukti? Harusnya kami yang minta bukti soal klaim tanah kalian,” balas tetangga kami dengan sengit. “Urusan tanah ini adalah urusan kami dengan kakek kalian. Apakah kita akan membawa perkara ini ke pengadilan?”

Pengadilan? Oh jangan. Mereka orang-orang hebat semua. Tetangga kami itu pastilah paham hukum dan dan soal-soal semacam itu.

“Jika hanya soal batas tanah kami tak perlu ke pengadilan segala. Kami tahu batas-batasnya.”

“Omong kosong. Kakek kalian tidak sekali menggadai pada kami. Karena kasihan saja kami membantunya. Kami punya bukti soal itu.”

Kami tak percaya kalau kakek kami benar-benar telah melakukan hal itu.

“Harusnya kalian tanya padanya sebelum si tua itu mampus,teriak tetangga kami sengit.

“Tapi kami tahu batas-batas itu. Sesuai dengan pesan kakek kami. Pohon ceri, mangga, jambu dan rambutan tidak termasuk dalam tanah kalian.”

“Kata siapa? Aku punya bukti. Kalian bicara saja pada pengacara kami.”

Pengacara? Apa pula ini. Tetangga kami ini pastilah orang cerdas sekaligus licik. Mereka tahu cara meladeni kami yang dungu ini. Pertengkaran itu hanya semakin menguatkan kekuasaan mereka atas klaim-klaim berikutnya soal tanah kami. Semua orang di kampung tak satu pun berani membela kami.

Kami tak akan bisa melawannya secara hukum, kini. Kami harus punya siasat lain agar bisa hidup dengan tenang. Resikonya adalah kami atau tetangga kami yang terusir dari tanah yang makin sempit dan padat ini.

Anak-anak kami punya cara yang lain pula untuk balas dendam atas buah yang tak boleh mereka cicipi itu.

Tidak ada komentar: