15 Okt 2023

Sebelum Mawan Menikah, Sebuah Cerita

Sumber gambar: https://www.facebook.com/photo/?fbid=10227732334872567&set=a.4818053687931

“Kenapa kau mau menikah denganku?” Pertanyaan itu muncul dari Selvi saat mereka video call di hari-hari yang mendekati masa pernikahan mereka.

“Aku sudah pernah bilang,” Jawab Mawan setengah gamang. Ia tak ingin salah dan membuat Selvi tiba-tiba mematikan HP. “Aku merasa sedang berjudi. Kurasa, kau adalah kemenangan yang paling layak kupertaruhkan.”

Ia mengutip kalimat itu dengan sembarangan dari salah satu film India. Ia tidak tahu tepatnya kalimat film itu bagaimana, tapi demikianlah kira-kira. Tak salah, persis itulah yang ia pikirkan saat itu. Soal kemenangan.

Lalu jeda yang panjang. Di layar HP-nya yang retak, Mawan melihat Selvi tampak bungah. “Bertemu denganmu, semangat hidupku tumbuh lagi. Energiku bertambah. Gagasan-gagasan di kepala jadi tidak tertanggungkan. Kurasa, setelah berkeluarga akan sepenuhnya menghidupi keluargaku dengan menulis.”

Itu membahagiakan mereka berdua. Di waktu-waktu yang makin dekat ini mereka berdua sangat tegang. Banyak hal-hal yang harus dikerjakan. Acara yang semula rencananya kecil saja, berubah di tangan keluarga.

Begitulah, mawan akan menikah. Itu berita gembira sekaligus menegangnya. Ia tak menyangka bisa secepat itu. Mereka pacaran, jika memang boleh dibilang begitu, tidak sampai tiga bulan. Pacaran yang dewasa kata Selvi. Ia meminta Mawan menembaknya.

“Buat apa? Kayak remaja saja,” elak Mawan.

“Jadi kamu tidak mau?” Tanya Selvi setengah sewot.

“Jadi pacarmu aku mau. Kalau nembak aku ogah.”

“Oke, bagaimana kalua aku yang meminta. Maukah Mas Mawan jadi pacarku?”

Mawan tergelak, tapi sekaligus bahagia. Ia tidak lagi dapat menghitung berapa lama ia tak memiliki pasangan. Segenit-genitnya dia, hanya mampu jatuh cinta tanpa pernah memiliki siapa pun.

Setelah resmi pacaran, mereka menghabiskan banyak waktu di layar smartphone masing-masing. Pagi, siang, sore dan tentu yang paling lama malam-malam. Sampai suatu petang, di bulan ketiga, Selvi Selvi memulai obrolan serius, setelah dua hari ia ngambek.

“Bapakku sudah tua, tinggal aku satu-satunya anak yang belum menikah. Kita juga bukan lagi di usia yang harus berpacaran lama untuk saling mengenal. Kurasa aku sudah mengenalmu meski kita dekat baru empat bulan belakangan.”

“Aku juga demikian. Lalu bagaimana?” Tanya Mawan agak gamang.

“Bagaimana kalau kita menikah?”

“Kamu yakin?”

“Sudah kupertimbangkan, Mas. Aku sudah bicara ke keluarga. Aku sudah sholat malam..”

Diam sejenak. Mawan menarik napas panjang, “tentu aku mau.”

“Kamu yakin?” Giliran Selvi yang bertanya.

“Seperti Amarkant Varma dalam film Dil Se, kamu bagiku adalah candu. Aku berhak punya dan menjalani hidup, sekalipun terus dihantui penasaran. Penasaran memilikimu lebih baik dari pada penasaran tak memilikimu. Denganmu, jangankan berkorban layaknya Amarkant untuk Meghna, menjadi Sisiphus pun aku mau. Asal batunya itu kamu…”

***

 

Berita pernikahan Mawan tersebar setelah ia bercerita pada Eko Rojer, bos penerbit Sudut Prosa. Selain untuk mengabarkan berita itu, ia jelas punya tujuan lain. Ia sudah dua kali menjadi editor di sana, dan Sudut Prosa adalah rumahnya yang lain juga, tempat ia mencari kopi dan rokok.

"Aku butuh pegangan, Bos."

Tapi keramaian selanjutnya adalah dari Prida, kawan perempuan Mawan yang lain. Mereka sama-sama berada dalam satu komunitas Jika Menulis Adalah Rumah. Prida ketemu dengan Eko Rojer dalam diskusi buku dan Eko berujar sebelum pulang: "Sudah dapat kabar dari si Mawan?"

"Kabar apa, Mas?" Tanya Prida kaget. Terang dia membayangkan hal-hal buruk soal sobatnya itu. Mawan orang yang rese, genit pula.

"Kau tanya saja sama dia. Kurasa kau bisa membantunya juga."

Tidak butuh waktu lama, Prida langsung mengontak lewat WA, dan ia agak menyesalinya juga.

"Kau baik-baik saja, Bung?" Ia memulai percakapan basa-basi. Takut HP Mawan sudah tak aktif lagi.

Hanya beberapa detik berselang, masuk pesan dari Mawan: "Bisa kutelepon?"

Prida makin panik dan cemas. Ia belum sempat membuka medsos jadi belum tahu perkembangan apa pun soal temannya itu. Dia belum buka twitter yang segala info cukup update di sana. Jika dikira-kira kejahatan apa yang dilakukan Mawan, pasti soal gituan. Itu yang terpikirkan oleh Prida. Ia tahu Mawan suka menggoda siapa pun. Menghubungi sembarang nomor malam-malam, asal perempuan.

HP Prida bergetar. Ia tak langsung mengangkat. Ia menarik napas lebih dari tiga kali, lalu menyambungkan dan langsung menyemburkan kata-kata.

"Kau dalam masalah apa?'

Terdengar tawa Mawan di seberang sana. "Kau tahulah, pasti uang."

"Asu, bukan itu maksudku..."

Diam.

"Tadi aku ketemu Bang Eko Rojer.."

"Astaga soal itu." Mawan kembali tertawa. "Aku mau menikah."

"Taik, jangan bercanda."

"Aku serius. Aku mau menikah, Prida. Aku tanya ke Eko kira-kira siapa lagi ya teman yang bisa nalangin.."

Begitulah. Frida senang tidak terjadi hal buruk pada temannya dan pernikahan Mawan tentulah kabar gembira. Ia tak mau Mawan membusuk sebagai lajang genit tapi tetap tak punya pasangan.

“Dengan siapa?”

“Ada lah, teman FB. Lingkaran kita-kita juga.”

“Astaga. Sudah pernah bertemu?”

“Belum. Dia kerja di Jepang.”

Prida menutup mulut karena kaget dan ingin tertawa. Tapi kali ini dengan rasa bahagia.

***

“Aku mau untuk musik di undangan pernikahan online kita aku yang menentukan,” Kata Mawan tiga minggu sebelum pernikahan.

“Iya mas, Mau lagu India atau Jepang?”

“Kali ini Rhoma Irama. Lagu Yang dari film Melodi Cinta. Selain liriknya oke dan reff-nya yang kita banget, aku merasa situasinya sangat menggambarkan kita. Kurasa Rhoma juga peramal.”

“Kenapa tidak lagu Pertemuan saja?” Tanya Selvi.

“Kalau boleh dua-duanya sih tidak apa-apa.”

Mereka tertawa. Ah…

***

Dalam menulis, Mawan semula mengidolakan Mahfud Ikhwan. Saat itu ia belum baca semua karya penulis itu, tapi tidak salah kan mengagumi? Banyak orang menyebut Pram adalah penulis kesukaannya meski mereka baru baca Bumi Manusia. Ia mengganggap Si Mahfudlah orang yang pantas dia teladani tersebab beberapa soal. Pertama, kok ya namanya Mawan jadi akronim si penulis. Kedua, baginya Mahfud adalah from zero to hero. Ia menyimak bagaimana Mahfud Ikhwan berkaca-kaca ketika menceritakan nasib buku pertamanya serta keputusan yang diambil dalam hidupnya saat buku itu terbit. Bagi Mawan, jungkir balik itu membuat dirinya dan sang idola menjadi satu nasib. Mereka sama-sama jomblo pula. Lalu kok bisa-bisanya ternyata Mahfud adalah penggemar dangdut dan film India. Kenapa ada yang mirip begini di dunia?

Yang membedakan mereka hanya selera soal bola. Jika Mahfud penggemar bola dan menulis dalam beberapa kumpulan esai dan satu novel, ia bahkan tidak berminat membeli buku Setelah Argentina Juara, buku terbaru Mahfud tentang Piala Dunia. Temannya bilang, itu buku yang dramatis, tapi Mawan memang tidak tertarik.

Belakangan setelah Mawan membaca Kambing & Hujan, ia merasa mulai sebal dengan sang penulis. Ia merasa Mahfud telah mencuri ide ceritanya. Entah kenapa ia terlambat membaca buku ini setelah seorang kawan memberikan untuknya sebagai hadiah.

“Kasihan, di diskusi bukunya yang cetak ulang itu hanya ada 3 penonton. Aku dan dua teman Mahfud. Jadi aku beli buku ini,” begitu katanya sambal memperlihatkan tandatangan penulis.

Buku itu pula yang membuat ia mengenal Selvi lebih dekat di FB. Tadinya mereka sekedar saling follow saja dengan alasan sejumlah pertemanan mereka di FB itu-itu juga. Tapi mereka nyaris tidak pernah saling berbagi komentar. Hanya sesekali jika di status teman mereka sering saling memberi tanda suka. Entah siapa pula yang mula-mula, mereka mulai saling berbagi like satu sama lain.

Sampai pada Mawan membaca bagian-bagian awal Kambing & Hujan ia merasa Mahfud sudah mencuri idenya. Bukan ide ceritanya, tapi Mahfud menuliskan ulang kisahnya yang dulu. Mif di novel itu pastilah dirinya. Fauzia itu siapa lagi kalau bukan penyanyi dangdut yang membuatnya hatinya berdarah cukup lama. Oleh Mahfud cerita itu diganti belaka jadi kisah bahagia dengan bumbu-bumbu organisasi agama.

Beberapa bagian dari cerita itu pernah ditulis Mawan. Apakah Mahfud membacanya? Sangat mungkin. Lingkaran pertemanan sesama penulis ini tidak luas-luas amat. Meski Mawan bukanlah penulis penting. Ia baru menerbitkan 1 buku puisi dan satu cerita panjang yang ia sebut novel di sebuah web cerita yang dimuat bersambung. Barangkali Mahfud mencomotnya dari sana. Kisah cintanya dengan penyanyi dangdut itu di posting mingguan. Tidak jauh beda dengan cerita si Mif dan Fauziah itu, mungkin cara berceritanya saja yang agak beda. Atau ada teman yang pernah bercerita soal drama percintaan Mawan ke Mahfud Ikhwan?

Itu bisa saja terjadi. Mereka sama-sama tinggal di Jogja, sama-sama suka nongkong dan selalu punya bahan ghibah. Meski begitu Mawan memang tidak pernah bicara dengan Mahfud. Dulu, ia ingin menjaga rasa kagumnya, tapi sekarang sudah berubah jadi rasa marah. Meski ia tak akan bisa melakukan apa-apa.

“Katanya penulis hebat, kok malah plagiat.” Itu satu-satunya yang Mawan berani tulis di status FB. Dan di tengah kemarahan itu, siapa yang menduga, cinta timbul dari sana.

“Siapa mas?” Tiba-tiba Selvi, yang kemudian jadi calon istrinya ini berkomentar.

“Tak perlulah ditulis Namanya di sini.” Balas Mawan.

Lalu muncul DM dari Selvi. “Mas boleh aku tahu siapa penulis itu?”

Dan itulah perkenalan mereka. Setelah puas saling berbagi cerita mereka berbagi no HP dan saling chat via WA. Dari chat pindah ke Video Call. Kemarahan dan tuduhan pada seorang penulis membuat Mawan bersiap jadi pengantin. Dan begitulah, mereka akan menikah. Selvi akan pulang ke Indonesia seminggu sebelum pernikahan mereka dan Mawan sudah menyiapkan sebuah kontrakan sederhana di Yogya.

Satu-satunya yang tak bisa Mawan habis pikir, ternyata Selvi penggemar Mahfud Ikhwan. Dan lebih gawatnya lagi, Selvi membagikan gombalan-gombalan Mahfud ke Selvi lewat DM. Imbanglah, jika bertaruh, seperti katanya dulu, ia sudah menang dari Mahfud. Meski Mawan bukan penulis terkenal, tapi ia mendapatkan hati seseorang yang menggemari musuhnya. Dan yang lebih penting mereka sama-sama menyukai Film India dan Rhoma Irama. Benar adanya, di dunia ini memang selalu disediakan pasangan. Hanya caranya saja yang berbeda.

Sekarang Mawan mulai berpikir hidup dengan menulis. Ia masih muda, masih mungkin setelah menikah ia akan menjadi lebih produktif dalam menulis. Joko Pinurbo saja buku puisi pertamanya terbit saat ia berusia 37 tahun. Dia masih 34 tahun.

***

Cerita ini kemudian kukirim ke Mawan, hitung-hitung sebagai kado buat pernikahannya.

"Asu, kau cerita apa itu?" Mawan menelponku malam-malam. "Sudahlah, ceritanya tidak bermutu. Mau mengolok-olok aku kan? Itu gagal total. Ceritamu buruk. Tidak ada premisnya.”

Cerita yang kata Mawan tak ada premis itu kukirim ke Mahfud Ikhwan. Tak butuh lama, ia membalas dengan antusias.

“Koto, ini tentang teman kita itu? Kok aku suka, ya?”

Selera Mahfud Ikhwan memang rendahan.

“Tapi katanya ceritaku jelek dan tak ada premisnya.”

“Wah, ini sih hebat. Makin pintar Tokoh Kita itu ya. Tahu premis segala. Bukan premis itu tak penting,” balas Mahfud cepat, “yang terpenting adalah apa yang ingin diceritakan.”

“Soal pernikahan?” Tanyaku.

Mahfud hanya mengirimkan emot wajah bulat kuning tertawa dan menjulurkan lidah.



Kado Pernikahan Mahfud Ikhwan dan Selvi Agnesia 1 Oktober 2023

Tidak ada komentar: