27 Apr 2024

Jokpin: Pergilah dengan santai saat aku sedang sangat mencintaimu

 


Jokpin: Pergilah dengan santai saat aku sedang sangat mencintaimu



Tubuh,

pergilah dengan damai

kalau kau tak tenteram lagi

tinggal di aku. Pergilah dengan santai

saat aku sedang sangat mencintaimu.

(Tubuh Pinjaman, Jokpin, 1999)

“Saya pulang dari rumah sakit hanya membawa tulang yang dibalut kulit,” cerita Joko Pinurbo yang biasa dipanggil Jokpin. Ia mengangkat selimutnya dan memperlihatkan kaki hingga pahanya yang kurus kerontang. “Tapi, lihat,” katanya lagi, “sekarang kulit baru sedang tumbuh, kehidupan baru sedang tumbuh.”


Percakapan itu menjadi pembuka percakapannya ketika kami, aku dan Latief S. Nugraha mengunjunginya di hari Paskah. Itu kunjungan kedua kami. Sebelumnya kami datang ke Panti Rapih ketika ia dirawat dan kami tidak bisa masuk menemuinya.

Dari pembicaraan kami siang di bulan puasa itu kami menangkap optimisme besar dari seorang Jokpin. “Saya sedang belajar untuk memulai segala sesuatu. Mulai dari menggenggam tangan, mengangkat tangan hingga Latihan berdiri.”

Kami ditemani Mbak Nur istri beliau yang sabar dan selalu terlihat riang dan bersemangat. Ia berbaring di ruang tengah keluarga, tidak di kamar. Ada lemari tempat obat dan kebutuhan sang penyair di taruh di hadapannya, di samping televisi yang menayangkan acara olahraga. Ia bernafas dibantu oksigen yang tak pernah lepas dari hidungnya.

“Ruang semacam ini membuatku tidak merasa sakit.” Saya kira, beginilah seharusnya orang sakit diperlakukan; ditempatkan di ruang yang setiap anggota keluarga melewatinya, sehingga ia tak merasa sendirian dan terpojok di kamar dengan jendela setengah terbuka.

Jokpin telah lama sakit. Tahun lalu ia menjadi pembawa acara Angkringan Sastra di FKY. Kondisinya sudah tidak baik. Ia gampang sesak napas. Di hari-hari itu pula kami mulai memanggilnya dengan “Pakde Jokpin”. Saya membayangkan untuk beberapa waktu ke depan Angkringan Sastra akan sangat akrab dengan Pakde Jokpin ini.

Di acara puisi malam itu, dengan sesak napasnya, ia tampak antusias sekali membacai nama para penyair, mengapresiasi karya mereka, dengan gayanya yang khas ia selalu mengagumi penyair mana pun dan ia mengenal betul karakter karya dan kebiasaan penyairnya. Ia mengikuti sejauh yang ia bisa, menghapal dan mengingat karya sejumlah orang. Dan sebagian dari mereka adalah orang-orang muda, yang sedang belajar tumbuh dan menjadi penyair sesungguhnya. Ia adalah seorang yang sangat peduli dengan itu.

Malam itu, ia memanggil dua penyair secara bersdama, memberikan komentar terhadap karya kami, mengomentari hal-hal postif seputar dunia kami, dan setelahnya ia mundur ke belakang panggung, mengatur napas sambal terus mengganyang Djarum Super dan kopi hitam.  Di akhir acara, kami berfoto bersama sebagai bagian dari kewajiban acara sekaligus kenangan yang tak akan bisa kami ulang. “Justru dengan begini aku merasa tidak sakit,” katanya.

Kami bertemu lagi dalam kondisi setengah sehat setengah sakit adalah ketika Jokpin bersama Ni Made Purnama Sari dan Ramayda Akmal memfinalkan para pemenang lomba puisi FSY 2023. Di ruangan Balai Bahasa Yogya yang ber AC itu ia meminta jendela dibuka suapa ia tetap bisa merokok. “Tidak banyak, tapi untuk benar-benar tidak merokok saya tidak bisa,” katanya malam itu.

Itu adalah bulan Oktober 2023, bulan yang membuat Jokpin biasanya sangat sibuk. Tapi tahun itu, dengan kondisi kesehatannya yang menurun, ia membatalkan banyak acara. Ia merasa perlu beristirahat. Dan sejak itu kami mendengar ia masuk rumah sakit, di rawat di rumah, masuk rumah sakit lagi, dan begitu seterusnya.

Kami mengunjunginya ke rumah sakit ketika kondisinya sangat tidak stabil. Mbak Nur, istri beliau bercerita kalau tidak banyak pilihan saat itu. Ia ditawari untuk penggantian pernafasan lewat leher. Justri di saat keputusan akhir, Jokpin merasa lebih pulih sehingga penggantian pernapasan itu tak lagi diperlukan.

Sejumlah kawan saling bertukar kabar terkait beliau. Sejumlah foto di medsos yang memperlihatkan ia terbaring disebar ke group-group sastra. Semua orang medoakannya, semua orang berharap ia pulih.

Minggu, 21 April kami berkunjung lagi bersama Tia Setiadi, Umi Kulsum, S. Arimba dan keluarga kami. Tidak satu pun dari kami berpikir itu sebagai pertemuan terakhir. Kondisinya memang menurun, Jokpin batuk dengan lirih, dan itu sangat menyedihkan mendengarnya. Ia susah bicara karena batuknya dan ia kesulitan membuang dahak. Tapi semangatnya menyala. Untuk pertama kalinya saya berfoto dengan ia yang sakit. Ia tertawa dan berkali-kali mengacungkan tangan sebagai bentuk optimisme. Ia menganal kami dengan baik, tidak ada yang terlewat. Ia berusaha untuk ikut bicara meski kesulitan.

Ia sering merindukan teman-teman, katanya. Ia ingin mengontak satu-persatu secara personal, katanya lagi. “Saya bisa berhari-hari menulis pesan,” katanya.

Masih ingin merokok dan ngopi mas?

“Sebetulnya bisa,” katanya dan kami semua tertawa. “Tapi saya memilih tidak dulu.”

Bagaimana dengan menulis?

“Sehat dulu, baru produktif lagi.” Berkali-kali ia mengatakan itu. Semacam mantra untuk kami yang bersamanya siang itu.

Ia masih kurus, dan saya teringat puisi Tubuh Pinjaman yang merupakan salah satu puisi yang saya suka dari kumpulan puisi awalnya. 
Masa-masa itu saya mengoleksi Celana, Di Bawah Kibaran Sarung, Pacar kecilku, telepon Genggam, Kekasihku, Pacar Senja, kepada Cium, hingga Kabar Sukacinta.  Kami merasa beuntung mengenai beliau dan berkali-kali kami meminta bantuannya untuk diskusi dan ngobrol-ngobrol di Kedai JBS. Ia orang yang sulit menolak permintaan.  Dalam kondisi sakit pun, jika sudah ada janji, ia akan mengusahakan untuk datang.  Ia orang yang murah pujian. Ia menghapal puisi sejumlah penyair di luar kepala. Ia dengan spontan akan memuji diksi para penulis di kelas puisinya. Cara itu tentu membuat bangga dan membesarkan semangat para calon penyair.

Ada banyak perjumpaan dengan beliau. Setiap perbincangan adalah optimisme. Untuk hal-hal yang bahkan dia sudah tahu pun, akan didengarkan dengan seksama. Ia orang yang jauh dari obrolan dan pergosipan. Ia selalu punya logika untuk membenarkan seseorang atau peristiwa yang sedang dibicarakan di hadapannya. Ia selalu punya pandangan positif pada siapa dan apa pun, meski tak segan ia mengkritik dan memberi catatan untuk hal-hal tertentu.

Suatu waktu yang cukup jauh, kami bertemu di acara sastra di luar pulau. Ia memanggilku untuk duduk di dekatnya. "Duduk di sini, jangan dengan teman-teman yang bisa kau temui tiap hari. Di sini, bertemu orang baru, akan mendapatkan perspektif baru." Kupikir itu cara yang baik agar bisa memiliki banyak perspektif.


Dengan orang-orang baru ia tak segan berbagi pengalaman. Pembicaraannya bisa menyesuaikan topik apa pun. Saya kita kepergian Jokpin menjadi kehilangan banyak orang.

Dua hari belakangan, beberapa kawan mengontak dan bertanya kabar Jokpin dan ingin menjenguk. Dari mereka pula kami tahu beliau sudah masuk rumah sakit lagi. Pagi ini, ia akhirnya pergi disertai doa-doa. Ia sejak kecil terkena asma, belakangan penyakit beliau bertambah parah ditambah penyakit paru-parunya. 

 Kini ia pergi ke surga, berdiam dengan damai bersama Bapa di Sana dengan tubuh barunya. Ia pergi setelah Paskah. Ia tak akan merasa sesak lagi, tidak batuk lagi, sebetulnya, kalau mau, ia bisa merokok lagi dan minum kopi lagi dengan lebih damai, lebih bahagia.

Selamat jalan Philipus Joko Pinurbo. Abadi namamu. Pergilah dengan santai saat aku sedang sangat mencintaimu.

27 Mei 2024

1 komentar:

Anonim mengatakan...

sedih...