17 Feb 2018

Kisah Penulis Muda (2)


3. Masnya penulis juga ya?
Sehabis acara diskusi buku, Tamu Kita, sastrawan dari luar kota itu, diajak berkumpul sama teman-teman mudanya. Mereka pindah obrolan ke warung kopi.
            Sastrawan kita yang dari Jakarta ini sangat antusias bercerita, bukan soal sastra, tentu saja. Tema-tema lain jauh lebih asoy, mulai dari kopi, daging, hingga cara menggaet perempuan. Para cerpenis dan penyair muda kita yang lain sibuk mendengarkan, mengomentari dan memperdebatkan. 
            Lalu muncul seorang anak muda, menghampiri kawan-kawannya yang ada di sana. Si anak muda itu tidak tahu kalau Tamu Kita habis diskusi bukunya.  Dia juga gak kenal Tamu Kita ini siapa. Dia kebetulan mampir karena ada kawannya yang menyuruh datang ke sini. Biasalah sesama penulis muda saling menjenguk, saling berbagi bualan.

Bersalam-salamanlah mereka. Tamu Kita dan Anak Muda ini tentu bersalaman pula dan saling menyebutkan nama. Kebetulan, duduk mereka berdekatan.
“Mardian Koto,” Anak Muda Kita lalu memperkenalkan diri.
            “Dia penyair loh mas,” seloroh salah satu kawan yang ada di sana, menunjuk anak muda yang baru datang ini untuk membuka obrolan.
            Si Tamu dari Jakarta sambil berbasa-basi menanyakan aktivitas kawan kita ini. Mendapat kehormatan menjelaskan hal-hal yang terkait dengan dirinya, berceritalah dia soal kegiatannya baru-baru ini seputar sastra dan kekaryaan. Tak lama, mereka semua kembali terlibat obrolan asyik. Kali ini seputar sastra. Mulai dari olok-olok terhadap penyair A, atau cerpenis D, blok-blokan di dunia sastra, hingga mana sastrawan yang layak dikubur sebelum mati.
            Anak Muda ini kagum juga dengan Tamu Kita dari Jakarta.
            Ketika ada jeda, Anak Muda ini berbisik pada Tamu Kita. “Mas, Mas Yusi ya?” Tamu Kita mengangguk.
“Mas Yusi penulis juga?”

4. Nirwan
Penyair Muda Kita datang terlambat dalam sebuah diskusi kecil di sebuah komunitas kecil. “Maaf terlambat,” katanya. “Tadi ada pengajian setelah isya..”
            Lalu diskusi berlanjut. Tamu kita datang dari Jakarta. Ia berbicara banyak soal kebudayaan khususnya sastra juga dunia literasi.
            “Nirwan kan?” Penyair Muda Kita berbisik pada teman di sebelahnya.
            Sang teman mengangguk acuh-tak acuh. Ia tampak suntuk mendengar Nirwan bicara dan sesekali sibuk mencatat.
Penyair Muda Kita agak gelisah, karena obrolan seru ini akan selesai sebentar lagi. Jam 10 malam Nirwan mesti kembali ke Jakarta.
Selesai acara, ngobrol sebentar, Nirwan mulai beres-beres, minta diantar langsung ke stasiun.
Saat Nirwan pakai sepatu, Penyair Muda kita mendapat celah dan mendekat.
“Gimana mas menurut sampeyan puisi-puisi saya?”
Nirwan tertegun sejenak. Mengernyitkan alis. Heran dan penasaran.
“Lah, saya kan sering kirim ke email sampeyan...”
Kembali Nirwan tertegun. “Cukup banyak email yang dikirim ke saya.”
“Anu mas, mas juga sempat mengomentari puisi saya lewat email. Yang mas bilang saya mesti banyak-banyak membaca itu. ”
Nirwan makin tertegun.
“Saya Mardian Koto mas, yang suka kirim-kirim puisi ke sampean tapi belum pernah dimuat-muat itu.”
Nirwan nyaris menjadi patung. Tegang, bingung, heran, takjub.
Melihat Nirwan masih belum bisa mengingat, Penyair Muda Kita kembali menyambar, “Email sampean masih yang kate minggu et tempo dot ko itu kan?”
Sejenak sunyi. Lalu cerahlah wajah Nirwan. Penyair Kita yang jadi tegang.
“Oh, kalau itu Nirwan Dewanto, mas, redakur sastra Tempo. Duluuu... Nah saya, Nirwan Ahmad Arsuka...”

Tidak ada komentar: