Ia
tak tahu sebentar lagi dia akan mati. Begitu pun teman-teman dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Tak
ada yang menduga
secepat itu ia akan pergi. Adakah maut begitu ajaib sehingga tak meninggalkan
sebiji tanda? Malam sebelumnya
mereka masih sempat bercakap-cakap banyak hal. Bahkan ingatannya akan hutang
masih begitu kental.
Tak
ada yang menyadari kalau maut tengah mengintai dia. Sekiranya ada yang bisa
membaca isyarat dan tanda barangkali satu-dua dari temannya akan mengadakan
pesta perpisahan untuk kelak sebagai kenang-kenangan bagi mereka. Setidaknya
sisa waktunya tentu akan dihabiskan untuk sekedar bercakap-cakap dengan Tuhan
yang sudah lama ia lupakan. Tapi yakinlah, di sisi hatinya yang paling dalam
masih menyimpan semacam kepercayaan itu.
Tentu
ada pengecualian dari kegiatannya. Tak ada yang sungguh-sungguh bisa mengulang
peristiwa persis sama, bukan?
***
Ia
tak sadar kematian tengah mengintainya. Tapi siapa yang bisa tahu kapan ia datang. Tidak juga dia,
juga kawan-kawannya.
Seperti
biasa dia melewati waktunya dengan kegiatan yang hampir sama. Beberapa hari ini
ia memang sedikit lelah. Setelah perjalanan ke luar kota dan datang ke beberapa
acara lalu mengurung diri dengan buku-buku tentu tak hanya menguras tenaga.
Tapi juga otaknya. Maka, beberapa hari ini ia menghabiskan lebih banyak
waktunya di dalam kamar.
Dan malam itu, malam di mana dia bercakap
banyak hal dengan kawan-kawan yang berkunjung dengan keceriaan yang tak
berlebihan. Ia menceritakan perjalanannya ke luar kota, malam-malamnya di
alun-alun kota, tentang peluncuran buku yang dihadirinya. Dia begitu fasih
mengingat banyak hal, dari perempuan yang sempat ia kenali, rasa bakwan, sampai
aroma kopi yang sempat diminum. Setelah ceritanya selesai, mereka mulai
mendebatkan sesuatu yang tak masuk akal. Mulai dari perempuan sampai Tuhan. Rokok
mulai tinggal puntung, perdebatan berganti pada siapa yang akan mau
mengeluarkan uang serta siapa yang akan pergi belanja ke warung.
Percakapan itu kembali mengalir
sampai jauh tengah malam. Tentang puisi yang baru selesai mereka tulis, utang
yang bertumpuk, nama, alamat e-mail dan nomor kontak redaktur sastra koran
minggu. Satu-dua orang mulai terlihat mengantuk, yang lain merutuki koran
minggu yang tak kunjung memuat karyanya, yang lain terlihat acuh. Seorang kawan
mengeluhkan penulis yang akhir-akhir ini terlihat membosankan karena hampir
melulu setiap minggu namanya terbaca. Yang lain menghirup kopi, yang lain
mengacak-acak tumpukan koran tanpa berniat membaca.
Waktu bergerak cepat ketika kau
sedang menikmati sesuatu yang terasa indah. Dia sadar, begitu saja teori
relativitasnya Einstein dia teriakkan. Teman sebelah kamarnya memukul dinding,
sebagai peringatan bahwa ini sudah malam. Dia membalasnya dengan tertawa
keras-keras. Kemudian mereka bicara tentang buku, tentang penerbit, tentang
pendistribusian, penulis yang sering menulis buku, buku yang baru mereka baca.
Mereka kembali mempercakapkan koran minggu. Tentang cerpen, tentang sajak,
tentang penulisnya, tentang mereka yang di black list, tentang
opini mereka yang diganti nama dan dikirim ke koran lain, tentang resensi buku
yang selalu ditolak, tentang…
Tak ada yang berbicara tentang maut
apalagi kematiannya.
Setelahnya mereka pulang. Tinggallah
ia sendirian memberesi bungkus kacang, kertas yang bertebaran, abu dan puntung
rokok. Asbak sudah dari tadi penuh. Mereka meninggalkan dia dengan kegairahan
yang hampir sama. "Sukses, bung!" teriaknya kepada mereka.
"Sukses!" Jawab mereka kepadanya. Tak ada yang menangkap keanehan
pada raut muka dan gaya bicaranya. Semua tampak biasa saja.
Seandainya
malam itu dia tahu akan segera mati tentu akan lain ceritanya.
Tak
ada yang benar-benar tahu kapan ia akan mati. Tak ada kepastuan tentang itu.
Dia mengakhiri malam itu dengan
mencoba memicingkan mata. Sudah lama rasanya ia tak tidur di waktu yang tepat.
Sebelumnya ia sempat ke kamar mandi, memastikan pintu terkunci dengan rapi. Setelahnya
ia mematikan lampu. Kegelapan menyerangnya begitu saja.
Dia akan mati, sebentar lagi.
***
Cerita ini tidak akan pernah
selesai, malam telah berlalu dan saya dihajar rasa kantuk. Tidak selalu yang
direncanakan berjalan dengan baik. Tentang bagaimana dia mati, kenapa harus
mati, tak lagi menarik untuk dikaji. Saya ingin tidur.
1 komentar:
Lanjutin dong, Miiin :3
Posting Komentar