Sepupu saya itu bernama Anto
Bahkan saya tidak tahu nama panjangnya, tidak tahu tanggal
dan tahun lahirnya. Kami dipertemukan beberapa saat yang panjang dan intim,
lalu pertemuan-pertemuan singkat yang ganjil. Selebihnya adalah ruang kosong di
antara kami, sebagai sepupu, yang intim, tetapi betapa jauhnya jarak itu.
Saya tak bisa menghapus dia dalam ingatan. Berkali-kali saya
ingin menjadikannya tokoh dalam cerita saya terkait kenakalannya yang tidak
masuk akal ditengah kenaifan dan ketololan masa kanak saya; meletakkan busi
motor yang dibakar sampai merah, menyuruh saya melompat ke tempukan jerami yang
dibakar, meludahi tangannya dan mengusapkan di rambut saya. Dia pula sekaligus
yang mengenalkan hal modern kepada saya lewat sebotol aqua. Dunia modern yang
tidak saya percaya pada mulanya, namun saya hormati dirinya dalam ingatan.
Bagaimana mungki air hambar itu dikemas dan dibeli orang? Bagaimana ingatan
yang memalukan itu terus ada dalam pikiran saya?
Dia nakal luar biasa, begitu yang saya ingat tentang dia.
Anto anak yang bandel, begitu seluruh keluarga besar kami mengatakannya, meski
saya tidak tahu kenakalan macam apa lagi yang ia lakukan termasuk kepada saya
ketika itu. Yang saya ingat adalah kata-kata amak, ibu saya, ketika itu,
"Dia anak yatim."
Anak yatim, saya juga ingat Izal, sahabat saya di waktu
kecil yang kehilangan Ibu dan bibinya dalam jarak 3 hari lantaran muntaber. Dia
juga nakal, dan saya jauh lebih ingat kenakalan teman SD-SMA saya ini ketimbang
kenakalan macam apa yang diperbuat Anto, sepupu saya yang kehilangan ibunya
ketika ia masih kecil. Bahkan saya tidak tahu, di usia berapa umur anto ketika
ibunya meninggal dunia.
Dia dirawat kakek-neneknya di Simpanjang, kampung memanjang
di tengah persawahan, belakang Pasar Surantih ibu kota kecamatan saya. Ingatan
saya yang samar dan jauh, pernah datang dan tidur di rumah ini, dan titik
pertama saya bertemu Anto pertama kali. "Ada abangmu di sana, anak
uwanmu." Sayup dan samar aku masih bisa mendengar kata-kata amak sebelum
membonceng saya naik sepeda dari Bukit Taratak melewati Lansano dan akhirnya
sampai di Simpanjang. Sepanjang jalan, tentu saja saya tertidur dan kaki saya
yang diikat dengan kain itu menjadi tebal dan mati rasa.
Anto, mencurikan saya nasi lamak yang dibikinkan ibu-ibu di
dapur, Anto pula yang membawa saya ke belakang rumah neneknya, sebuah rimbunan
pohon sagu tempat orang-orang buang hajat. "Ada musang terjepit,"
katanya. Jauh kemudian, ini juga menjadi istilah kami dalam keluarga,
"Musang terjepit" hanyalah istilah, hanya tipuan. Tidak ada musang
terjepit, kecuali kau hanya masuk perangkap, menemani orang buang hajat, buang
air besar. Di pertemuan pertama, Anto memberi saya nasi lamak, sekaligus
berhasil menipu saya.
Malam itu saya mendengar rabab pesisir dari dekat, di rumah
tersebut, rumah nenek Anto yang kata amak masih kerabat dengan kami, rumah yang
sampai hari ini, ketika saya lewat di Simpanjang yang tak pernah berubah, saya
tak pernah hapal di rumah mana dulu saya pernah bermalam dan bertemu Anto
pertama kalinya.
***
Di antara saudara jauh-dekat, Anto adalah sepupu yang nyaris
tak banyak saya tahu.
Dia adalah anak lelaki dari kakak laki-laki amak
satu-satunya. Anto anak tunggal dari uwan (mamak) saya. Ibu saya bersaudara
tiga orang, Uwan Riki, yang meninggal sehari setelah kematian Soeharto, amak,
dan adik lelaki amak yang merantau sejak remaja dan tak ada kabar hingga hari
ini. Zainal namanya, keluarga besar kami kehilangan sekaligus tidak kehilangan.
Dalam keluarga kami tak pernah berpikir beliau telah meninggal, tapi juga tak
pernah punya bayangan adik bungsu amak itu akan pulang ke kampung ini sejak
kepergiannya di awal tahun 80-an.
Samar pula kuingat, Uwan menikah dengan keluarga Induak
bakonya. Nenek/kakek saya, salah seorang dari mereka, berasal dari Simpanjang,
saya mengira-ngira mungkin kakek saya. Uwan, kakak amak, menikah dengan salah
satu keponakan beliau. Kisah cinta yang menyedihkan, penh tragedi, permainan
guna-guna, kemiskinan, dan tekanan yang luar biasa. Saya menemukan ini dari
cerita-cerita ringan di keluarga, dari penuturan teman-sepupu uwan, dari
surat-surat Uwan yang suatu waktu kutemukan. (Saya menyesal, kemana surat-surat
itu kini, surat yang kubaca dalam ketidakpahaman logika orang dewasa kala itu).
Dan artinya pernikahan uwan dengan bakonya tidaklah bisa diselamatkan. Saya lupa,
apakah mereka bercerai dulu baru kemudian mintuo (istri mamak) saya itu
meninggal, atau ia meninggal ketika masih suami-istri. kelak, saya harus
mengetahui hal-hal yang tersembunyi ini. Saya berjanji.
Yang pasti, uwan hidup di rantau jauh, dan ia punya satu
anak lelaki, anak yatim yang sudah kehilangan ibu di waktu balita. persisnya
entah di usia berapa. Anto yang susia dengan kakak perempuan saya. Itu yang
saya ingat.
***
Ingatan kedua saya tentang Anto, ia tinggal bersama kami
sekeluarga, dengan seluruh pakaiannya. Saya tidak tahu di usia berapa saya dan
dia tepatnya, yang pasti kakak perempuan saya mungkin baru kelas 1-2 SMP, saya
sekitar kelas 4-5 SD.
Entah bagaimana, Anto memilih tinggal bersama Eteknya, amak
saya. Kata amak, Neneknya, yang masih punya ikatan keluarga jauh dengan amak,
sudah capek dengan kenakalannya. Jelas, Anto sudah tidak sekolah.
Entah berapa lama ia tinggal bersama kami dengan kenakalanan
yang absurdnya terhadap saya. Dia selalu cengengesan dengan suaranya yang sudah
masuk di usia puber. Lalu ia merantau ke Dumai entah berapa minggu atau bulan,
lalu uwan saya menikah lagi, kali ini di Taluak, Ujung Batu. Anto masih datang
ke rumah kami sesekali. Dia sudah remaja, jadi rasanya ia tak lagi butuh rumah.
Lalu saya mulai kehilangan memori tentang Anto sejak di sini.
Beberapa tahun sekali kami masih bertemu, tapi sudah tak
akrab. Ia masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepalanya dengan rambut
setengah gondrong yang berantakan. Sekali waktu saya bertemu dia di muara
dengan panu di sekujur lehernya, lain waktu dia berdandan dengan rapi, tapi tak
menghilangkan kesan kumuh dan urakan di wajahnya.
dan rasanya, sesekali waktu dia pernah memberi saya uang,
dan sesekali dia pernah meminta dibelikan rokok oleh saya.
***
Anto menikah, itu juga entah di tahun berapa dan di saat
saya dalam kondisi dan usia berapa. Dia saudara saya yang sesekali jauh,
sesekali dekat tanpa perlu tahu akan banyak hal. Kami terbiasa dengan yang
sepenggal. kami terbiasa dengan yang datang dan yang hilang. Anto adalah satu
dari kisah samar dan buram dalam keluarga besar kami.
Saya menjumpai Anto dalam potret-potret tak terlalu
direncanakan dalam keluarga. Dia selalu hadir dalam acara baik-buruk di
keluarga. Dia menikah di Batang Kapas, memeliki satu anak perempuan yang hitam
manis. Sepanjang tahun-tahun yang hilang itu, yang sebenarnya tak juga hilang,
saya bertemu Anto selintas atau bersua sambil saling mengangkat tangan belaka.
Terakhir, ketika saya pulang 3 tahun lalu amak bercerita.
"Anto tidak mau singgah di rumah. Dia mungkin malu dan sengaja
menghindar." Katanya Anto meminjam sekarung-dua padi dan karena belum
dikembalikan sesuai janji, dia jadi tak berani singgah di rumah. Tapi bisa jadi
bukan karena itu. Anto adalah orang yang datang dan hilang sesukanya.
Anto adalah peristiwa kehilangan dan semata kehilangan.
***
Dan cerita buruk ini aku dengar dari amak sore ini, minggu
29 September 2013. Pada kalian ingin kukusahkan dengan singkat, seperti inilah
seharusnya tulisan saya dari tadi:
Awal bulan september ini Anto ikut adik iparnya ke Papua.
Adik iparnya yang sudah berkeluarga itu bekerja di Papua di toko eletronik.
Anto diajak serta. Seminggu pertama Anto bekerja, minggu kedua dia sakit dan
dirawat. Sekitar 15 hari setelah ia di papua, Anto meninggal di sana. Amak
bercerita, ini adalah hari ke tujuh Anto berpulang.
Lama saya terdiam, lama saya bermenung, di tanah jauh dari
kampung itu kini Anto berbukur, setelah lebih dulu Ibunya pergi dan disusul
oleh ayahnya, kini Anto telah menyusul, dari tanah yang jauh. Tanah yang
rasanya sangat sulit diziarahi.
Kurasa banyak yang saya tak tahu dari Anto, kakak sepupuku
yang tertawa sambil mengusap rambut itu. Di antara ketidaktahuan dan sepenuhnya
kehilangan, saya menulis ini. Saya sepenuhnya kehilangan, Saya sepenuhnya
menyesali tahun-tahun kami yang hilang sebagai dua saudara.
Aku ingin menulis Anto, suatu saat nanti tidak dengan
ketidaktahuan seperti sekarang. Saya ingin dia hidup, kelak, dalam satu-dua
cerita saya. cerita yang satu-dua masih tersimpan dalam dokumen saya barang
satu-dua paragraf. Sudah lama saya ingin menulis kenakalan Anto sekaligus salah
satu orang yang mengenalkan dunia modern kepada saya lewat sebotol aqua. Namun
ternyata, ia ingin ditulis dalam obituari yang samar ini. Obituari yang
sebentar lagi tertimbun seperti makamnya yang tak terjelang.
Anto, udaku, kali ini aku merasa sungguh merindukanmu,
mencintaimu dengan ingatan yang samar ini. Tuhan tahu di mana orang sekuat dan
setegar dirimu kini ditempatkan. Saya percaya, tempat itu adalah tempat
terbaik, tempat di mana kau mungkin akan bertemu ayah-ibumu. tempat yang semoga
Allah berkenan, jauh dari petaka-petaka dunia; guna-guna, gunjing dan romantika
nasib.
Yang sedikit ini, cukuplah bagiku untuk mengenang sepupu
yang hebat, Anto namanya. Sepupu yang kalau pun kini dia masih ada, saya tak
tahu apakah ia bisa membaca tulisan saya atau sama sekali tak mampu mengeja
satu huruf latin pun.
Hidupmu demikian pahit, dan ziarah untukmu pun demikian
sulit.
Senin dinihari, 30 September 2013
2 komentar:
Keren meeeeeeeeeeeen....
Sadiah ambo mambaconyo. Semoga Anto ditempatkan ditempat terbaik disisi-NYA, aamiin.
Posting Komentar