Catatan Singkat Tentang Pembacaan Singkat
Dengan kedua belah tangannya, Midas mengubah
apa saja menjadi sebongkah emas. Setiap yang disentuh, menjelma emas. Ini
keajaiban sekaligus malapetaka bagi dirinya. Bagaimana ia bisa merasa bahagia
jika setiap yang disentuh menjadi bongkahan harga berharga? Jika saja boleh
berkehendak Midas tentu memilih apa-apa saja yang boleh menjadi emas, apa-apa
saja yang tetap menjadi dirinya sendiri. Itulah takdir, ia punya kemampuan
merubah apa saja menjadi emas, meskipun tak semua emas itu ia sukai.
Midas mungkin ingin berhenti, tapi ia tak berdaya.
Ia menerima kutukan, satu sisi ia bias menciptakan kekayaan, di sisi lain,
Midas kehilangan dirinya sendiri.
***
Nanang Suryadi merayakan usianya yang keempat puluh tahun
dengan kumpulan puisi”Penyair Midas” dengan jumlah
puisi yang tidak sedikit jumlahnya. Di usia yang masih terhitung muda, sekaligus
fase aman –usia yang
melampaui fase-fase gamang para penulis seusia saya—Nanang mampu membuktikan
bahasa yang liar itu masih tetap junak di tangannya. Di
mata saya, Nanang adalah penyair produktif, akan terus produktif, dan secara tidak langsung mengejek penulis-penulis kacangan
macam saya.,
baik secara substansi keberkaryaan maupun
kuantitas karyanya.
Saya kira, di luar
teori dan praktek-praktek kesasteraan secara akademik, Nanang adalah penyair
yang sudah selesai dengan soal-soal dasar—yang seringkali membunuh penyair diawal
kemunculannya– tentang teknis puisi. Artinya, hal-hal utama soal memadatkan
imaji, pengaturan bahasa, logika kata, dan seluruh unsur esensi dari puisi
cukup menjadi perhatiannya. Sekali lagi, dalam hal ini Nanang seperti mengejek
saya dan sejumlah penulis yang lahir belakangan, yang masih kerepotan mengatur
imajinasi, sok tidak peduli dengan tata bahasa, yang sebenarnya memang tidak
dikuasai, bersitungkin dan sok sibuk ingin tampak berbeda justru diawal masa
kepenyairannya. Kurang ajar, Nanang menelanjangi saya, dan seharusnya sejumlah
penulis lainnya.
Dalam menulis
puisi, Nanang tidak sedang menunggu mood, mencari tema yang enak, serta merenung
berkepanjangan. Seorang Nanang tentu sudah lepas dari jebakan godaan
kata-kata, menulis bait-bait klise, sok asyik, dan segala unsur-unsur yang sok
ideologis ala penyair pemula. Nanang menulis puisi dengan beragam tema, dengan
beragam rupa, serta bermacam upaya penciptaan. Dalam berpuisi, Nanang yang
menciptakan momen, bukan dihadiahi keberuntungan. Hal-hal yang tampak biasa, di
mata penyair Nanang, menjadi kalimat-kalimat indah yang bisa dia tafsir lewat puisi.
Upayanya layaknya seorang fotografer menangkap momen biasa, menjadi penting
pada waktunya. Nanang terus berdialog dengan puisi, menjadikan pembaca sebagai
rekan bicara, sesekali hal-hal yang eksistensialis dia gugah, mengajak
pembacanya berpikir lagi, dan lagi.
Nanang seorang
yang terbiasa dengan puisi, memecah satu tema menjadi beragam puisi, karena ia
tahu bagaimana cara bermain-main dengan kata dan irama sampai tercipta sebuah
puisi. Dalam kerja kreatif, Nanang adalah orang yang mengendus lewat intuisi. Nanang
menulis dan sepenuhnya menulis puisi di antara keseluruhan kerja kreatif dia yang
lain. Nanang tampak tak pernah kerepotan. Ia seperti memiliki tangan lain yang
bekerja untuk puisi, menyediakan satu ruang
di kesibukan kepalanya untuk menghimpun kata, menyusun tema,
merangkupnya dalam beragam gaya dan tema.
Seperti Midas,
Nanang memiliki ‘berkah’, sekaligus malapetaka untuk dirinya. Ia seperti tak
diberi kesempatan sedikit pun untuk berehat, memilih tempat, suasana, momen,
dan tema untuk puisinya. Ia tidak bias menolak kutukan itu. Nanang tidak
memilih, tetapi dipilih. Ia mesti menjalani kutukan itu: menulis, menulis dan
terus menulis, mengubah apa saja menjadi puisi.
***
Tulisan ini tidak meniatkan diri sebagai
sebuah kajian, melainkan hanya pembacaan sambil lalu belaka. Untuk membongkar
bentuk dan isinya biarlah menjadi tugas kritikus dan mereka yang mumpuni di
bidang itu. Tugas saya sebagai kawan yang sama-sama menyenangi dunia sastra,
adalah berenang di dasar itu semua, sebab sebagai orang yang tak bias berenang
saya tidak berani maju ke lubuk yang dalam. Yang menjadi perhatian saya secara
umum sekaligus bentuk “keiri-hatian’ adalah soal “berkah” yang dimilik Nanang,
seorang yang bekerja di luar sastra, masih tetap tekun dalam berpuisi. Orang-orang
sejenis ini bagi saya adalah “musuh” yang mesti ditiru.
Dari sekian banyak puisi Nanang dalam
kumpulan Penyair Midas ini, sejauh pembacaan singkat saya terhadap puisi-puisi
ini, saya melihat ada tiga kecenderungan yang cukup kental dalam kumpulan puisi
ini. Kecenderungan pertama adalah, puisi yang ditujukan/dipersembahkan kepada
seseorang atau beberapa orang sekaligus. Saya menyebut Nanang sebagai Midas
dengan kekuatan yang berbeda. Nanang mengubah banyak hal menjadi bait yang enak
dibaca. “Kerakusan” kreatifnya mampu mengubah, misalnya sebuah obrolan biasa,
baik-langsung maupun tak langsung, menjadi sebuah puisi. Bahkan, obrolan via mensen-mensenan di twitter pun tak
berhenti menjadi dokumentasi di sampah internet, melainkan obrolan yang bisa ia
sulap menjadi emas kata. Lihatlah Nanang yang cekatan dalam puisi yang ia
tujukan kepada orang lain tersebut. Puisi persembahan ini bisa berwujud
persembahan murni kepada seseorang, ada juga puisi yang seperti merespon sebuah
momen bersama beberapa rekan, maupun puisi kepada orang berdasarkan ingatan dan
kenangan.
Kecenderungan kedua dalam kumpulan ini adalah
puisi tentang puisi. Nanang tidak hanya mencipta dengan mencari-cari tema yang
ganjil, diksi yang muskil, tetapi memotret apa yang ada di hadapan lalu
menyulapnya jadi puisi. Hal itu terlihat dalam puisi-puisinya yang berisi
soal-soal tentang puisi. Dalam jenis puisi ini bias ditangkap kegelisahan
Nanang sebagai seorang penyair yang tetap tidak merasa berada di “posisi aman”.
Ia gelisah, ia meraba-raba, mencari-cari kemungkinan lain dan tafsiran terhadap
teks dan puisi.
Kecenderungan ketiga soal tempat. Dalam
kumpulan puisi ini, kecenderungan ini tampak tak terhidarkan. Dalam kumpulan
yang cukup tebal ini, Nanang mendokumentasikan semua perjalanannya dalam bait
sajak. Kutukan tak berhenti ketika ia mesti melakukan sebuah tualang lain,
justeru perjalanan, tempat baru membuat tangan dan pikirannya tak pernah bisa
istirah. Tak hanya bait-bait tentang beberapa kota di Eropa, beragam tempat di negerinya
sendiri tak luput dari permainan tangan ajaibnya dan mengubah sepenuhnya
menjadi puisi.
Di luar tiga kecenderungan tersebut, Nanang
juga menulis persoalan sosial, eksistensialis, dan teologis. Pembagian kecil
yang saya bikin bukanlah standar yang utuh, hanya pemantik bahwa Nanang sebagai
seorang penyair, masih mencari-cari bentuk untuk bahasa ungkapnya, untuk
menjadi fokus pertatiannya. Sejumlah sajak ini memperlihatkan kegelisahan dan
kegamangan Nanang sekaligus bentuk ketidakpercayaan dirinya terhadap satu
bentuk dan bahasa ungkap dalam puisi-puisinya.
Nanang adalah Midas yang masih belum puas
dengan kreasinya. Dia belum berhenti sekaligus merasa belum menemukan titik
aman.
***
Sebagai seorang yang produktif dan menulis
puisi untuk momen dan cara yang beragam, saya tidak tahu apakah Nanang adalah penyair yang peduli dengan
semua efek-efek serta resiko kepenyairannya. Dia memang penyair yang sudah
selesai dengan problem-problem dasar puisi dan kepenyiran, namun ia masuk ke
babak lain dalam dunia puisi, soal kedalaman. Bisa jadi Nanang tidak peduli
dengan respon kritikus terhadap karya dan prosesnya, namun Nanang tetaplah
penyair yang gelisah dengan keberlanjutan puisi-puisinya. Benar memang,
bersibuk-sibuk dengan kritik bukan hal yang dia perhitungkan, namun nasib-nasib
anak rohani tetaplah menjadi buah kegelisahannya. Inilah beban Midas itu. Satu
sisi, ia hanya sibuk mencipta dan sepenuhnya mencipta, namun di sisi lain dia
memiliki keraguan atas hasil karya kreatifnya.
Ini adalah kutukan yang ditanggung Nanang
sampai nanti. Ia tidak akan pernah bisa berhenti menulis puisi. Kerja kreatif
ini bisa jadi tidak berhenti ketika ia membuang pikirannya ke konteks yang
lain. Puisi bagi Nanang adalah kebiasaan. Sadar atau tidak, kedua tangannya
telah menggubah peristiwa menjadi sebongkah emas kata. Bagi saya, kutukan yang ditanggung
Nanang nikmat juga.
Resiko penyair yang terlalu produktif tidaklah
sedikit, Nanang Suryadi sedang berada di titik ini. Meski ia melepaskan semua
yang ditulis kepada pembaca, menyerahkan sepenuhnya pembacaan tersebut kepada publik,
tetapi beban dan tanggung jawab pastilah ada. Bisa jadi inilah kegamangan
“Penyair Midas” ketika semua hal yang disentuh berubah emas.
Dia bukanlah
Midas dalam dongeng Donal Bebek, serigala yang berambisi menyantap sahabat
dekat sang anak, melainkan Midas yang yang mengubah apa-apa menjadi sehimpun
sajak, lalu “membaginya” kepada publik. Midas yang serupa Robin Hood,
mempersembahkan emasnya, baik yang dia inginkan maupun yang tidak dia inginkan
kepada orang banyak. Toh di tengah masyarakat yang cukup apatis dengan puisi
selalu saja ada orang yang mau meluangkan waktu untuk menikmati keindahan
puncak bahasa ini. Meski resikonya adalah tenggelam dalam hingar-bingar pasar
kecil kesusasteraan. Nanang telah mencipta dan mesti mulai menyeleksi juga mana
yang emas murni, mana yang setengah emas.
Sunggun berat menjadi Nanang di tengah
hibuknya jagatraya ini. Sebab tidak semua hal menjadi emas, tidak semua emas
adalah murni, tapi dia punya tangan yang terus bergerak tanpa melepaskan kerja
kreatif lain laiknya manusia normal. Nanang adalah Midas yang terbiasa dengan
kutukan kata, yang masih nyaman dengan kutukan ini. Tidak, tidak melulu dengan
tangan, dalam puisi, Nanang pun sepenuhnya menggunakan seluruh indranya.
***
Nanang telah dikutuk untuk selalu menulis
puisi. Kutukan yang indah di zaman ini. Dan Nanang menanggung itu semua sampai
kini. Hasil dari tangan kreatif Nanang ini adalah sentuhan Nanang terhadap
beragam soal, beragam hiruk-pikuk zaman, centang-perenang kebudayaan, rusaknya
tatanan moral, kacaunya kehidupan sosial. Ia menangkap semua dan memberikan
Sentuhan Midas pada puisi-puisinya. Inilah Sentuhan
Nanang…. Ciyus, miapa?
Yogyakarta, 03/07/2013
Indrian Koto, penyuka sastra dan berdagang
buku sastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar