Kemarin itu saya diajak nonton
oleh seseorang yang tahu bahwa saya adalah penggemar Titanic. Itu film tahun
1998, setahun setelah ditayangkan di bioskop-bioskop besar Indonesia, saya
menontonnya di bioskop kelas kacang di kota
saya. Tak cukup sekali, Kate Wislet memaksa saya masuk Mulia Teater (sepertinya
bioskop itu kini sudah tak ada lagi) setidaknya 2-3 kali seminggu. Jam dua
siang, selasa atau rabu, dengan menipu diri sendiri, praktek di BLPT sudah
telat, saya akan meluncur ke Pasar Raya yang bau tahi kuda. Tak ada yang
menggoda saya selain Titanic. Selamat tinggal Gairah 100% yang diputar di
studio dua, selamat tinggal dua film sekaligus: Di Balik Cinta Sang Istri, Gairah
Malam I, Gairah Malam II, selamat tinggal Sally Marcelina, selamat berpisah
Malvin Sheinna. Kate Winslet, sekali lagi demikian menggoda saya.
Entah apa yang membuat saya suka
menonton film itu berkali-kali, bahkan mungkin puluhan kali sepanjang tiga
bulan lebih diputar di Mulia Teater. Nanti, ketika Padang Teater ikut memutar, saya juga pindah
ke studio jorok, kotor dan ancur-ancuran itu. Sepanjang itu pula saya tak
menemukan bagian mana yang membuat saya benar-benar suka dari film itu selain musiknya yang memawa saya terbang setinggi-tingginya.
Setelah nasib mengantarkan saya
kembali ke kampung halaman, gagal menjadi siswa baik-baik di kota, saya kembali menemukan Titanic di
sebuah rental VCD. Saat itu VCD adalah hiburan satu-satunya setelah parabola
tak lagi menayangkan siaran Indonesia, sehingga
tak ada yang bisa melihat Layar Emas yang bersambung setelah Dunia dalam
Berita. Hanya VCD-lah penyelamat kami, dan di saat itulah, si tengik bokep
menyerang kami malam-malam buta. Tapi sudahlah, bukan itu poin cerita kita kali
ini.
Nasib mendamparkan saya pada sebuah
rental VCD tua. Aha, ini dia, Titanic dalam tiga kepingan VCD. Sejak itu, saya
tak pernah datang ke rental itu, saya tak sudi jika harus didenda atau film
kesayangan saya dimintai kembali. Saya menonton film itu dalam segala kondisi.
Ketika makan, ketika suntuk, ketika ingin menonton, ketika saya ada di rumah
dan televisi sedang menganggur. Apes, adegan yang membikin saya penasaran tetap
saja tak ada dalam kepingan ini. Padahal bagaimana sih Rose ketika tidur di ranjang
dan Jack dengan gemetar memindahkan tubuh telanjangnya ke atas kanvas. Dan musik yang
terputus-putus, mengingatkan saya pada bioskop, kembali kepada Liza
Chaniago, Reynaldi, Ibra
Azhari (loh, kok cowok?), Inneke
Koesherawati deh.
Anjing, kaset rental itu sdah tak
bisa diputar sama sekali. Mampus, saya tak bisa lagi menikmati adegan awal
ketika gambar hitam-putih pertama kali muncul di layar dan musik paling
melankolik berkumandang. Tetapi Tuhan Maha Baik, suatu kali, di rental seorang
kawan saya menemukan Titanic merana di hamparan koleksi film yang tak pernah
disewa orang.
Ahai, Titanic, tunggu saja kawan, kau akan berpindah ke laci rumahku sebentar
lagi.
Waktu selalu memberikan
kesempatan untuk tindakan-tindakan tidak bagus. Entah sial entah tidak, film
itu ditranslet dalam bahasa Melayu. Kalian tahulah, di Malaysia tidak ada
potong-memotong film oleh lembaga sensor yang tangannya gatal. Jadi, tarraaa…
saya bisa menikmati Titanic bulat-bulat, melihat Rose telanjang bulat. Saya
satu-satunya yang punya koleksi itu. rasanya seperti seorang koboy dengan
banyak pistol. Kaset itu saya tenteng ke mana-mana, diputar dari satu rumah
teman ke rumah teman lain, sehingga tentu saja bagian lukis-melukis, adegan
penting itu harus ditekan FF, agar film bergerak maju, atau harus diulang dari
awal karena kaset sudah lengket.
Bertahun kemudian, di Yogyakarta
suatu kali saya menemukan lagi film Titanic. Itu sekitar tahun 2006. kaset yang
masih baru, jernih dan oke. Tapi tak sampai setahun itu film sudah kembali tak
bisa ditonton. Beruntungnya saya mendapatkan soundtrack film tersebut. Kali
ini, setelah film rusak, sountrack hilang, saya tak merasa kehilangan sama sekali. Entahlah.
Dan sore itu, seseorang yang tahu
bahwa saya pernah menonton Titanic barangkali sudah ratusan kali itu, mengajak
saya menontonnya. 3D pula. Saya sudah membaca resensinya di Kompas. “Anda
tinggal duduk manis dan kembalilah pada kenangan.” Begitulah kira-kira narasinya. Apa salahnya
saya duduk manis barang tiga jam untuk menikmati kembali sajian manis bagaimana
seorang Leonardo diCaprio begitu beruntungnya bisa cipokan dengan Kate Winslet.
Jadi saya iyakan ajakan Seseorang yang Tak Boleh Disebutkan Namanya itu. Lagi pula ini gratis...
Jam 8 malam kami sampai di bioskop. Saya
bukanlah penonton bioskop. Sesekali saja. Saya suka yang gratis. Adanya kalau kebetulan Muhidin M Dahlan sedang dapat ilham mengajak saya menonton. Dan saya ditraktir dua kali, sodara-sodara. Dua kali yang
buruk, untuk film yang merepotkan. Tapi sudahlah. Untuk apa saya menulis di
sini soal ketidaksenangan saya pada bioskop, ketidaksukaan atas film-film yang
diputar. Apa saya harus koleksi tiket macam Si Beben adik sepupu saya itu? Huh, dia selalu pamer sehabis nonton film eksen yang Tuhan saja tahu saya tak suka, bikin panas hati saja. Ngapain ke bioskop untuk film kacangan di bioskop. Toh, film yang sebulan kemudian bisa diambil di warnet. Tapi bukan
berarti saya tak menonton bioskop lo. Ah, repot amat soal ini. kita sedang
ngomongin Titanic 3D, bukan bioskop, Dodol!
Saya tak membayangkan apa pun menjelang film ini diputar. Saya masih ingat alur keseluruhan film ini. Lalu mengapa saya duduk di sini? Sepertinya penulis resensi itu
benar. Saya tinggal duduk manis (sialnya tempat duduk kami terpisah pula. Apa
daya) di antara para ababil dan tak satu pun kenangan berkelebat. Sumpah, saya tak punya kenangan
istimewa dengan film ini. tak ada. Tapi saya seolah-olah merasa ada sesuatu di
antara kami. Itu saja.
Jadi buat
apa saya ceritakan cerita film yang jika kalian remaja ditahun 90-an pasti tahu
soal betapa hebohnya karya James Cameron itu. saya tak mau pusing-pusing
menceritakan alur cerita itu. Tak ada yang berubah. Sumpah. Jack masih tampak muda dan Rose,
lihatlah Rose, masih dengan ekspresi takut tapi mau yang sama ketika bibirnya
dicium di sebuah sore, barangkali ketika azan magrib berkumandang. Dia masih
Rose yang 12 tahun lalu saya kenal pertama kali. Cantik, anggun, tinggi-padat
dengan bibir yang oke.
Ini
benar-benar sekedar menikmati kenangan belaka. Menurut saya bahkan teknologi 3D pun tak terlalu banyak membantu karena adegan-adegan dramatis terletak di
penghujung pilem ketika penonton mulai repot dengan alur cerita yang cukup
lamban dan tokoh-tokoh yang tak berpengaruh banyak dicerita. Tiga jam duduk manis bagi
seorang yang kena ambeien pastilah merepotkan, tetapi orang itu tentu bukan saya dan saya tidak
capek dan tidak ambeien. Saya sudah menghapal detail-detail film ini,
semua-muanya. Beberapa
terjemahan yang saya tonton dulu kini agak sedikit berbeda teksnya. Tetapi
sekali lagi, Jack masih muda, Rose masih tampak
demikian bergairah. Dan yang pasti, asu, sialan, Cameron brengsek kau, musiknya itu lo, apiiiikkk tenan....... Tiap kali mendengar musiknya saya langsung galau. Galau. Galau!!
Tapi
begitulah, saya tak menyesal menonton film ini. saya puas. Tetapi saya juga
tidak berniat
menontonnya lagi, menggebu seperti ketika saya demikian muda dan unyu dulu.
Aduh, saya masih saja tetap suka dan terpesona. Kali ini saya tak bernafsu apa-apa pada Kate Winslet kecuali musik pembuka yang membuat saya tiba di awan. Lalu apa
yang membuat saya dulu sedemikian suka dengan Titanic? Sampai tulisan ini saya
tulis, saya sepenuhnya tidak tahu kecuali musik pembukanya itu.
Tetapi jika anda berniat mengajak saya menontonnya kembali, apa daya, saya tetap tak kuasa menolaknya. Apalagi sekedar tinggal duduk manis dan gratis.
Tetapi jika anda berniat mengajak saya menontonnya kembali, apa daya, saya tetap tak kuasa menolaknya. Apalagi sekedar tinggal duduk manis dan gratis.
Mayday 2012
10 komentar:
dalam National Geographic edisi April, Titanic diulas habis, termasuk penjelajahan Cameron itu. Banyak data baru di sana. Saya usul Koto membaca, baik beli atau pinjam kalau dapat itu majalah, keren sekali...
M. Faizi
Oh, iya, Koto. Yang di atas ini adalah blog saya juga, http://titosdupolo.blogspot.com, blog yang paling dianjurkan oleh Google kalau yang kamu cari adalah "Colt T-120", colt yang sering kamu naiki zaman kecil dulu untuk berakhir pekan :)
hehehe.....
sayang sekali saya kurang suka nonton pilem, karena itu saya kurang paham dengan tulisan Anda :-((
hehehe.. sudah nongkrong di sini toh. hahaha.. Oke, saya cari majalahnya setelah ada yag pesan buku dan transfer duit. hehhe..
Yang di atas itu sering saya main ke situ. Berkunjung tapi tak berkomentar hehe
pesan esai tentang musik, dong...
saya gemar musik...
nanti saya ajak Anda ke angkringan :)
dan gitaris. hehehhe... ah pasti sudah punya banyaklah gus. Buku sastra sih adanya di sini.
Lagian angkringan udah sepi, adanya warung kopi. hehe
seorang kuli pelabuhan bisa nulis sekeren ini, ckckck...hebaat :-)
ahmad subhan: jangan gombal deh. kangen deh sama sampean, pengen main dan ngumpul, tentu ada erwin kalau bisa
ratusan kali? astaga, kurasa kamu pemecah rekor. aku jg sering nonton film yg sama berulang2 atau membaca 1 novel berulang2 spt norwegian wood. aku sudah membacanya berulang kali dan tak pernah bosan. kurasa tak perlu pusing mencari penyebab knp bisa betah mengulang2nya, biarkan sj begitu asal badan bisa menerimanya (tdk terpaksa) kenapa tidak, yes kan?
Artika Maya: Yes beudz qaqa... Kalau begitu saya harus siapkan satu buku dari Haruki Murakami buat qaqa nih. hehehe...
Posting Komentar