Saya kira saya
akan kapok nonton pilem-pilem horor Indonesia yang terus diproduksi tahun-tahun
terakhir. Entah kenapa, godaan untuk tahu dan berharap yang ini akan berbeda
dengan yang sebelumnya memperkuat keinginan saya. Hal lain adalah, saya
mencintai produksi dalam negeri dan berharap ia memberikan sesuatu yang baik
untuk saya.
Berikut beberapa
pilem yang saya tonton belakangan ini. Pilem-pilem yang saya dapatkan di warnet
ini, memang banyak bertema horor. Dan saya lihat belakangan K2K memproduksi
makin banyak pilem horor dengan pemain yang terbatas, dan naskah yang seolah
hanya punya garis besarnya saja. Artinya, posisi naskah sangat renggang dan
goyang, serupa improvisasi di komedi OVJ. Beberapa pemain bisa saja dihilangkan
atau ditambahkan sedemikian rupa. Beberapa naskah, seperti yang saya tulis
diresensi sebelumnya, diambil, minimal inspirasi ceritanya dari pilem-pilem
yang dianggap bagus menurut selera mereka. Seting cerita diganti menjadi
Indonesia dengan persoalan yang harapannya sangat lokal, tapi sangat tidak
Indonesia.
Saya heran,
kenapa pula saya bikin-bikin pengantar semacam ini. Baiknya kita lihat saja
pilem-pilem berikut ini:
Lost In Papua
(2011)
Saya bersemangat menonton pilem ini,
meski kata Lost rasanya sudah sangat tidak enak. Tersesat di Papua? Bayangan
penonton tentu saja akan diantarkan pada Papua yang primitif, semua hanya
hutan, Papua yang sangat jauuhhh dari bumi Endonesia, seperti orang asing di
negara sendiri, yang tiket pesawatnya lebih mahal dari pada keluar negeri. Wah,
belum-belum saya sudah ngomel duluan nih. Tapi ayo jujur, bukankah demikian
logika berpikir kita selama ini?
Dan pemain utama kita juga berpikir tak beda-beda amat dari anda.
Dia merinding begitu tahu akan ditugaskan di Papua. Namun, sebagaimana layaknya
gaya realis dalam pilem kita, tokoh utama kita ini akhirnya berangkat dan, astaga,
ia benar-benar menemukan semacam kenyataan yang ia cemaskan.
Pikiran saya ketika sampai di bagian
ini, pilem akan berbicara soal kebangsaan dan nasionalisme. Di bagian awal, kita
disajikan tentang hal-hal seram mengenai suatu daerah, kemudian kita diberikan
kesadaran baru bahwa apa yang kita pikirkan tidaklah benar. Minimal akan
terjelaskan, oh Papua tidak demikian lo. Itu hanya ketidaktahuan kita saja
selama ini, Sayangnya, harapan saya salah. Di pilem ini, kita disuguhi tentang
suku kanibal yang ada di Papua. Astaga! Sensasi apa yang hendak dikabarkan di
abad modern ini?
Kenapa masih juga kita berbicara
soal remeh semacam ini sementaraada banyak persoalan besar di tanah air yang
perlu kita selesaikan bersama-sama. Apa tidak ada hal lain yang bisa kita tulis
soal Papua, daerah Timur Indonesia tercinta itu? Soal pembalakan hutan,
eksploitasi lahan, semangat nasionalisme, kemiskinan, rasa asing dan
semacamnya.
Pilemnya sudah baik ketika kita disuguhi kota di Merauke, jalannya
yang penuh lumpur dan rusak parah. Ia menampilkan realitas sekaligus sebuah
kritik. Meski pun gambar-gambar di potong, adegan di berbagai lokasi,
setidaknya kita tahu, itu loh kota Merauke. Tapi soal suku pemakan manusia?
Suku perempuan yang meneruskan keturunan dengan memperkosa laki-laki dan
setelah mereka hamil, si laki-laki dibunuh dan diambil jantungnya? Atau tentang
kepala suku yang doyan perempuan alias lesbian? Aih, aih.. Malu dong, yang jadi
sponsor yang notabene lembaga-lembaga cerdas semacam RRI, kepolisian dan
pemerintah daerah segala tapi fokus cerita berkutat soal-soal imajinatif
semacam ini.
Mau apa lagi. Cerita sudah
dibentang, tafsir sudah terbaca. Cerita yang intinya adalah, seorang perempuan
datang ke Papua karena tugas, malah ingin masuk ke hutan untuk mencari pacarnya
yang hilang di pedalaman hutan Papua. Kesannya, dramatis, penuh petualangan,
sebuah perjalanan yang cukup menantang. Bertemu dengan suku-suku asli, bertemu
dengan hutan Papua dan masyarakatnya.
Semua menjadi nonsense karena cerita
digarap dengan versi Jakarta: instan, serba mungkin, logika tidak penting, dan
hal-hal yang absurd lainnya. Belum lagi bumbu-bumbu Jakarta yang dimasukkan dan
konflik aneh. Fauzi Baadillah mau-maunya menjadi tokoh yang perannya amat tak
jelas dan tidak logis dalam cerita macam ini. Yang saya kecewakan lagi,
legendaris MOP si “epenka” ikut-ikutan tampil, sepukul dua pukul dalam cerita
ini, posisinya demikian tak jelas dalam jalinan cerita. Sisanya, tak ada yang
sebenarnya bisa kita tangkap dari kisah ini, selain keganjilan-keganjilan
cerita da keanehan. Kesannya, Papua tempat yang aneh, seram, berbahaya, macam
pedalam Afrika (Afrika dalam logika berpikir sederhana kita lo ya).
Tokoh kita ini bisa saja tersesat di
Kalimantan, bisa saja tersesat di Merapi, atau tersesat di pedalaman kota besar
yang jauh lebih kanibal ketimbang dia payah-payah ke Papua untuk menghasilkan
sesuatu yang menjadi sangat tidak Papua. Keragaman budaya, persoalan-persoalan
lokal, akan sangat keren disajikan ketimbang suku perempuan yang pemerkosa.
Seakan tidak ada hal lain yang bisa kita bicarakan tentang Papua.
Bayangkan, tokoh kita sudah jauh ke hutan
bertemu dengan suku Korowae dan disambut dengan baik oleh suku tersebut, tiba-tiba
kedatangan tokoh angkuh dari Jakarta yang mencintai si pemain utama kita tadi.
Bagaimana mereka ke sana? Berapa waktu yang dibutuhkan? Emamg Papua sebesar
Bekasi? Dan ini dihadirkan untuk satu tujuan: bagaimana caranya biar
tokoh-tokoh kita bertemu dengan suku perempuan yang pemerkosa dan kanibal itu. Atau,
atau, soal kepala suku lesbian, yang shutingnya bisa saja diambil di Bogor. Dalam
hutan, semua menjadi tak jelas.
Kecuali tokoh utama di Lost In
Papua mereka mati semua. Tidak banyak yang bisa diungkap. Bahkan narasi
penutup pun tak membantu sama sekali, karena digarap dengan gaya yang sok
puitis dan sok dramatis. Ini sejenis pilem thriller biasa, yang hanya mengambil
Papua sebagai judul, mungkin seperti Hantu Goyang Karawang, Hantu puncak Datang
Bulan yang kemudian diganti Dendam Setan Mupeng, atau Dedemit Gunung Kidul,
yang hanya mencuri dan menempelkan nama daerah untuk menarik penonton dan ingin
menawarkan eksotisme mitos setempat. Selebihnya dia menjadi horor biasa dan
murahan.
Marilah kita bicara Papua seperti
membaca persoalan di daerah lainnya. Mungkin tak harus terlalu ketat dan serius
macam garapan Garin Nugroho atau Nia. Memunculkan Papua ke ranah hiburan kita,
seperti mendekatkan kita pada yang seolah berjarak. Mari kita cari yang positif
dari itu semua. Bukan semata menjadikan itu lelucon dan bahan olok-olokan,
macam acara sahur yang dibikin TransTV itu, yang menghadirkan tokoh dari Timur:
Hitam dan keriting, lalu diolok-olok. Rasis betul kita. Cukuplah sudah kjta memparodikan
Jawa yang katrok, Sunda yang lugu, Minang yang matre, Batak yang Galak.
Janganlah meledek gaya bicara Ambon yang eksotik untuk dibikin bahan tertawaan
dan menampilkan hal buruk lainnya jika semata-mata hanya dieksploitasi belaka.
Kita bukan negara yang dihidupkan dengan semangat rasisme, yang meledek sesama
kita untuk kepentingan hiburan semata.
Jadi, Lost In Papua, saya
kira sebagai pembuka okelah. Semoga akan ada pilem-pilem sejenis yang lebih
serius yang tidak sekedar mengabarkan kaum primitif. Saya khawatir jika
kemudian mereka menggarap suku Dayak, Kubu, dan Mentawai dengan perspektif ini.
Satu sisi, mereka menampilkan sesuatu yang jarang dinikmati, di sisi lain,
mereka tidak sungguh-sungguh menyajikannya kepada kita.
“Bapak kepala suku dia bilang, semoga tidak kapok.”
Hantu Puncak
datang Bulan atawa Dendam Setan Mupeng (2010)
Jika dulu pilem hantu kita dimulai
dengan pembunuhan, balas dendam atas kematiannya dan diselesaikan oleh ulama.
Kini, mengikuti gaya horor dari barat, cerita tak pernah selesai: horor terus
berlanjut. Dan tidak terlalu jelas siapa korbannya. Hantu Indonesia selalu suka
membunuh…
Lalu Hantu Puncak Datang Bulan? Aku
harus tulis dari mana, Tuan, jika tidak ada satu pun yang bisa kita jadikan
patokan standar? Dia seperti kebanyakan pilem horor lainnya atau komedi-komedi
yang menampilkan keseksian dan cerita tak lagi penting. Semua bisa ditempelkan.
Kita seperti berhadapan dengan pilem Indonesia tahun 90-an yang asal jadi. Yang
penting ada adegan seksnya, ada tawaran berahi dan ada ranjang dan
perempuan mandi. Cerita, berputar dalam sebuah rumah.
Rumah ini yang menjadi fokus cerita,
dan memang seluruh kisah berputar di sini saja. Pasti sangat hemat biaya
produksi begini ya. Kabarnya ada adegan mandi telanjang betulan yang tentu saja
tetap dihabisin oleh Lembaga Sensor Film. Tapi itu nilai jula. Andi Soraya
tampil bugil, sebuah promo yang bagus. Kadang saya berpikir, kalau kita tak
punya lembaga sensor dan pakai gunting-gunting pilem macam di Malaysia sana,
kita kayaknya sudah sangat banyak menghasilkan pilem yang menampilkan perempuan
telanjang, yang memperlihatkan buah dada, dan melulu adegan ranjang macam di
Thailand. Entahlah, mungkin kita masih beruntung, sehingga produser dan rumah
produksi tidak bisa memajang artis-artis muda dan baru dan memaksanya main di
3-5 scane dan hampir di seluruh adegan mereka hanya disuruh menanggalkan
busana. Cerita di luar produksi, tentu soal lain.
Nah balik lagi ke rumah tempat Hantu
Puncak Datang Bulan (apa hubungannya dengan cerita sih?). Rumah yang dibeli
oleh saudagar Arab ini diniatkan sebagai kos-kosan yang sampai akhir cerita
hanya diisi oleh empat anak kos saja. Dua cowok, dua cewek. Ngapain aja mereka
kos di sana dan apa pekerjaan mereka? Jangan tanya. Itu bukan hanya dosa pilem
ini sendiri. Ceritanya, rumah ini dulu pernah dihuni oleh pasangan, entah suami
istri entah selingkuhan, yang suatu malam keduanya mati sebelum bercinta. Si
perempuan jauh dari tangga, setelah mengetahui si lelakinya mengintip suara air
di kamar mandi. Maksudnya tentu mengintip orang mandi. Si lelaki juga mati
karena kesetrum begitu saja.
Dan hari ini, 10 tahun kemudian
empat anak muda ini tinggal di rumah ini, bersama si banci yang mengurusi
rumah, dan si Arab yang tak pernah ke mana-mana. Si hantu betah di sini. Entah
karena alasan apa. Mereka hantu yang lucu dan menggemaskan. Si pocong cowok
masih suka mengintip orang. Lalu seperti yang bisa Anda duga, tokoh-tokoh kita
bersirobok dengan sang hantu, lalu mereka minta didatangkan orang pintar, dan
tak ada yang mampu mengusir mereka. Itukan bisa kita temukan dalam banyak
pilem-pilem hantu 3-4 tahun belakangan ini kan?
Di bagian penutup, untuk melogiskan
cerita, entah bagaimana mulanya, ayah si perempuan yang jadi hantu ini datang.
Dia seorang kyai. Ternyata pasangan yang mati itu dikubur di sekitar rumah itu.
Kenapa ya? Entahlah. Biar kesannya, kalau matinya belum diurus, arwahnya kan
terus gentayangan. Maka diuruslah. Kuburan digali dan tentu hantunya pergi.
Selesai? Enggak dong. Kan diawal
saya sudah bilang, trend sekarang kan teror terus berlanjut. Seperti kecemasan
barat terhadap timur saja. Si anak kos ngambeg dan hengkang. Si bos Arab begitu
saja ditabrak mobil dan mati di depan rumah yang sudah dijualnya. Salahnya apa?
Entah! Yang jelas, rumah berpindah ke orang baru, hantu baru tentu mulai
bergentayangan di rumah ini.
Sebagai penutup, bos rumah baru yang
terus tertawa tanpa alasan ini mesti dibunuh juga, untuk menampilkan efek
dramatis kisah dan ancaman berikutnya. Artinya tak ada yang boleh menempati
rumah bagus ini. Ada Hantu Puncak Datang Bulan, ada Dendam Setan Mupeng. Ih…
Cerita selesai. Muncul daftar pemain
yang tak sampai 15 orang ini. Semoga kru bisa mendapat honor yang lebih besar.
Dan semoga produser kaya. Amin!
Dedemit Gunung
Kidul (2011)
Jangan berharap anda akan menemukan
tempat-tempat eksotik di Gunung Kidul, Yogyakarta. Tak ada bedanya dengan pilem
sebelumnya dengan produksi K2K juga.
Kali ini mereka memakai pemain Bule.
Sepertinya artis Bokep lagi tuh. Jadi tanpa ada penjelasan apa pun si tokoh
bernama Vicky ngomongnya pake Inggris, padahal bapak dan saudara perempuannya
bahasa Indonesia.
Teknik pilem ini agak aneh. Banyak
potongan adegan yang diulang-ulang. Gaya pergantian antar adegan pun pakai
seperti flash. Membingungkan, apalagi alur rada kacau dan melompat-lompat dan
kurang jelas. Tujuannya jelas, ingin menyajikan ke penonton dugaan-dugaan yang
di bagian akhir semua terkuak. Meski demikian pemecahan kasus pun menjadi unik
dan lucu.
Lagi-lagi sebuah pilem yang tidak
serius. Alur yang aneh, memakai nama tempat tanpa berfungsi sama sekali,
seperti kata Gunung Kidul. Dedemit Gunung Kidul? Aduh. Posisi pemain dan cerita
pun sangat remeh dan disajikan dengan gaya norak. Sudah, tak ada yang bisa kita
dapatkan dari teknik dan jalan cerita macam begini.
Kekagetan di bagian akhir, tentang
siapa yang jahat pun tidak cukup memberikan pertolongan. Beberapa adegan
dipotong dengan semena-mena. Bahkan penutup pun menjadi seperti belum selesai.
Seperti dikejar deadline.
Seharusnya bagaimana menonton pilem
Indonesia ya, apalagi dengan tema horor yang seragam macam begini. Kita hanya
diantarkan pada ruang, alur dan pemain yang berbeda, tetapi secara garis besar
cerita tetap begitu-begitu juga. Namun di sini keseksian ditelusupkan dengan
cara (yang sebenarnya tak) cantik. Toko utama adalah fotografer yang memotret
dong. Nah, sesi pemotretan ini menjadi abgian promo model-model yang entah
dibayar berapa untuk berbikini ria dan sedikit fragmen, tanpa beha. Cari di
youtube deh potongannya.
Setan
Facebook
Saya rasa beberapa komentar saya
tentang film Indonesia tetap relevan ketika membicarakan film Setan Facebook.
Di mana kerancuan dan logika menjadi sangat tidak diperhitungkan. Namun, dari
beberapa film sejenis yang terbit tahun 2010, saya rasa Setan Facebook
merupakan salah satu yang cukup berhasil meneror penontonnya, meskipun alur dan
jalan cerita dibikin sekadarnya saja.
Demikian status saya.
2 komentar:
oke, oke, menyimak dikit-dikit mas bro...
terima kasih sudah menyimak pak guru
Posting Komentar