1
Ungkapan klasik
tentang “terimalah honor sebelum keringatmu mengering,” (emang ada filosofi
macam begitu?) rasanya jauh dari dunia tulis-menulis, apalagi sastra, kacangan
pula macam saya. Buku-buku sastra kalau pun diterbitkan belum tentu akan
membuat si penulis memiliki anggaran untuk merancang liburan dari hasil
penjualan. Beberapa penulis, memilih mempromosikan sendiri bukunya. Untuk yang
ini pun nasibnya berbeda-beda. Nama dan siapa, menjadi demikian berharga.
Penulis yang dianggap belum punya nama, meskipun karyanya bagus, tak bagus pula
promosi, alamat lebih banyak memeras keringat, dibanding mereka yang sudah
dikenal, pintar pula strategi dan pemasaran, selamatlah ia, nasibnya tak
seburuk penulis kacangan kelas kampung dan namanya tak dikenal. Bah, kenapa
karya kemudian menjadi pembicaraan paling akhir dalam dunia publikasi?
Mungkin itulah
untungnya bagi sebagian besar penulis yang mempublikasikan karyanya lewat
media. Setidak-tidaknya dalam soal publikasi dan nama. Siapa yang tidak gemetar
ketika sebuah komentar begini terdengar: “Siapa sih penulis ini? Karyanya
dimuat di mana?” Publikasi di media, salah satu dampaknya, dari berjuta alasan,
adalah menjadi jalan untuk mengatakan kepada publik: “Hoi, orang banyak, ini
loh saya… Ini loh karya saya.”
Di negeri ini
isi memang selalu menjadi nomor sekian setelah banyak faktor di belakangnya.
Tentu tak perlu kita bercakapkan dulu soal itu. Bahwa yang paling ujung dari
publikasi karya adalah perkara honor. Honor, royalti sodara-sodaraku yang
tercinta. Mungkin ada yang menganggap honor tidak penting dengan berbagai
kemungkinan: bisa jadi dia sudah demikian mapan dan merasa risih dengan duit,
penulis yang masih memperjuangkan publikasi dan namanya, menganggap duit dari
koran haram, penulis santun yang selalu ingin beramal, dan lain sebagainya. Ini
tentu tak akan kita perbincangkan lebih panjang di sini.
Tahun-tahun
belakangan kita dibuat tergetar karena haru, bangga dan rasa cemas melihat
nama-nama penulis (sekali lagi penulis, bukan karya) yang pertumbuhannya luar
biasa. Setidak-tidaknya kita bisa lihat di status minggunya Bamby Cahyadi yang
kemudian menjadi rujukan bagi sebagian kawan-kawan. Perbincangan hangat, lucu,
keren, norak dan unyu bercampur jadi satu. Kita bisa melihat demikian
banyak, demikian besar antusias para penulis, baik yang sudah senior hingga
yang baru coba-coba mengirim karya. Kita seperti bisa membaca, demikian besar
minat orang terhadap karya sastra, jauh lebih besar dari partai politik, dan
tentu lebih bersih.
Di luar
kegembiraan di hari minggu itu, terselip rasa pilu bagi sebagian penulis. Honor
dari tulisan yang dimuat berminggu bahkan berbulan lalu tak juga sampai ke
tangan mereka. Gerangan apa pula ini? Sastra tentu tak sekedar dimuat di koran,
ucapan selamat, dan sekedar angkat gelas. Itu pembicaraan berat, membuat rumit
penulis. Itu tugas calon akademikus sastra macam Eko Triono.
2.
Pernahkah kita
bertanya, apa sih maunya koran memuat karya sastra setiap hari minggu? Sungguh,
saya tak tahu. Untuk menaikkan oplah rasanya tidak. Tak semua penulis karya
sastra di koran membeli koran setiap minggunya, mungkin membeli jika
sewaktu-waktu tulisannya dimuat. Apalagi mereka yang tak mengirimkan karya ke
koran. Beberapa nama Besar (dengan b besar) mungkin akan cukup membantu
penjualan barang 10-20 eksemplar karena ada pembaca yang tertarik dengan nama
penulisnya—membuat pelanggan eceran koran minggu kebingungan mengetahui koran
yang dicari habis di loper langganannya. Rasanya pemuatan karya bukanlah
keuntungan besar bagi media. Tapi entahlah, saya belum pernah bekerja di media.
Jawaban
ringannya mungkin sebagaimana sering kita dengar, bahwa hari minggu adalah
waktu bersantai, saat berkumpul keluarga, jadi pembaca harus dimanjakan. Berita
penting hanya ada di halaman utama, sisanya rangkuman macam-macam peristiwa.
Mulai dari trend, mode, tempat wisata, teka-teki silang, halaman anak,
konsultasi, hingga cerpen dan puisi. Aih, aih, aih.
Tidak, tidak bukan
soal sastra dianggap pelengkap saja yang saya maksudkan (Hem… berat memang ya,
jika sastra selain menjadi ruang hiburan, ia ikut pula menanggung beban
“kontekstual”). Karena lebih sebagai
rangkuman pula, makanya ada koran minggu yang bahkan sudah terbit sejak hari
jum’at. Saya pernah melihat Suara pembaruan terbit macam begitu. Rugilah dia
kalau ada peristiwa besar dan menarik di sabtu malam. Media macam Jurnal
Nasional bahkan hari minggunya terbit dengan konsep tabloid (yang Jurnas Minggu
belakangan saya tidak tahu).
Yang repotnya,
kadang bersantai-santai ini jatuh juga pada soal pembayaran honor penulis. Nah
ini yang sebenarnya ingin saya tulis. Sayangnya, pengantar sudah cukup panjang,
saya akan membahasnya lagi berpanjang-panjang. Plis, jangan bosan ya?
Setiap penulis
cerpen dan puisi (maaf, saya tidak tahu nasib mereka menulis artikel, laporan
perjalanan, esai, resensi dan semacamnya, semoga saja nasib kita berbeda. Amin!
Atau jangan-jangan teman-teman ini juga mau curhat) pasti pernah mengalami honor
yang tak dibayar hingga tulisan ini saya tulis. Entah dimuat bulan lalu,
berbulan, atau bertahun lalu.
Perlakuan media
terhadap penulis berbeda-beda. Di media yang sama pun perlakukan terhadap
penulis, terkait honor, kadangkala berbeda pula. Ada koran yang lancar dan
gampang pembayarannya, kecuali penulisnya berniat menyumbangkan honornya, atau
sengaja/lupa tidak melampirkan no rekening. Ada koran tertentu bagi sebagian
orang pelit honor, bagi yang lain malah sangat gampang mengurusnya. Namun ada pula
koran yang benar-benar tak beres dengan pembayaran dan 99% menyetujuinya. Menyebut
Republika mungkin banyak jari yang mengacung jika ditanya: “Siapa yang belum
dibayar honornya?” Tapi saya belum pernah dimuat di Republika, jadi tidak tahu kebenarannya.
3.
Saya ingin
bercerita pengaman saja, semoga tidak membuat media tertentu tersinggung,
menutup halaman sastranya macam Media Indonesia dan mengatakan saya merusak
nama baik mereka. Ah tulisan macam ini, apa yang diharapkan darinya, Pak?
Pengalaman dan
motivasi kita pastilah berbeda-beda ketika mengirimkan karya ke media. Ini
lagi-lagi Pe-ernya Eko Triono. Saya mengirimkan tulisan ke koran/majalah dengan
pertimbangan masih memungkinkan saya melacak, setidaknya tahu info pemuatannya,
meskipun pada akhirnya saya tetap tak punya arsip. Di awal-awal menulis di
media saya pernah punya pengalaman buruk. Judul cerpen saya dipotong, bahkan
isinya dimutilasi jadi semacam ringkasan, dan honor saya tak dibayar. Saya
bela-belain datang ke kantornya, karena kebetulan ada teman yang berniat
meminta honor juga. Hari sabtu yang menyedihkan ketika itu, saya selalu
mengingatnya dengan baik. Kami mencemaskan bensin buat pulang, karena si teman
berpikir akan mendapat honor. Apa daya, “hari sabtu, koran kami tidak melakukan
pengeluaran apa pun.” Setengah menangis kami keluar dari gedung megah itu,
berdoa agar bensin kami tak habis di jalan dan ban motor tidak bocor. Ketika
itu Tuhan masih gampang memberikan keringanan bagi mereka yang teraniaya (Tidak
macam sekarang, waktu di mana semua orang merasa teraniaya). Ketika itu saya
sempat menanyakan honor tulisan awal saya yang dimuat di media mereka, setahun
lampau itu. “Kamu di black list, karena selain di Solo Pos (ups, saya
menyebut medianya juga), cerpen itu juga dimuat di majalah wanita.”
Dimuat di
majalah lain? Di black list karena pemuatan ganda setelah cerpen saya diacak-acak?
Majalah wanita mana yang dimaksudkan? Kenapa tidak boleh mengirim karya yang
dimuat di media lokal tertentu ke media lokal lainnya, apalagi di zaman itu tak
semua koran punya situs dan selalu update sastra, dengan pertimbangan
sastra diapresiasi lebih luas? Apa-apa pasti penulis yang disalahkan. Soal
pemuatan ganda, penulislah yang ditunjuk hidungnya sebagai biang kerok. Media
tak pernah mau introspeksi, bahwa keterbatasan mereka mengamati media saingan
juga berlaku, atau soal mereka menumpuk naskah berbulan-bulan lamanya tanpa
kabar. Pokoknya penulis, kenapa tidak sabar, kenapa ngirim ke beberapa koran,
kenapa begini, kenapa begitu. Macam lagi anak-anak banget deh. Aduh, aduh, kita
gak usah ngomong ini dulu ya?
4.
Saya langsung ke
poin saja deh. Pengalaman belakangan ini membuat saya jengkel jika mengingatnya
adalah ketika puisi saya dimuat di Seputar Indonesia Agustus lalu. Sebulan saya
tunggu, tak ada kabar. Di televisi milik jaringan mereka saya lihat mereka
menambah jaringan radio, portal berita online dan televisi jaringan serta
keterlibatan mereka ke dunia politik (apa hubungannya denganku coba). Kaya
sekali mereka, pikirku. Berapa sih ya honor karya sastra? Saya kembali meradang
mengingat honor saya tak diberikan. Kekesalan saya yang lain, berkait dengan
pertanyaan saya beberapa paragraf di atas, yakni: “untuk apa sih sebenarnya
media memiliki halaman sastra (dan kenapa pula sekarang berkumpul di hari
Minggu?” Nah, karena saya tak punya jawaban, saya kemudian berpikir, Sindo pun
seperti tak punya jawaban. Buktinya, tidak selalu sepanjang minggu ada halaman
sastra. Sewaktu-waktu puisi bisa hilang, tak jarang paket puisi dan cerpen raib
diganti halaman iklan.
Apa sih komitmen
media mengenai sastra? Lagi-lagi saya bertanya, kali ini dalam hati. Benar,
sepertinya mereka memang tak punya tanggung jawab sebenarnya. Sekedar
ikut-ikutan, biar sama dengan media lain, atau kebetulan ada wartawannya yang
penulis jadi perlu juga nih bikin halaman sastra (tentu setelah sang wartawan
mati-matian mengungkapkannya di sidang redaksi). Ah, pasti tidak sesederhana
itu, tapi PR aja deh ya.
Melihat cara
media yang dengan “seenak mereka” memperlakukan sastra, kita dibuat jengah
juga. Mentang-mentang mereka tak punya kewajiban, lalu bisa dengan enteng
berujar, “sudah enak lu gue kasih ruang publikasi.” Ih, sehina itukah sastra,
jika pun iya, maksud saya, “jika elo emang media yang sudi menghibahkan
halamannya untuk publikasi karya sastra yang sama sekali gak ada hubungannya
dengan orientasi media elo, bayar honor gue juga dong.”
“Ini bukan
semata-mata perkara uang,” hati kecil saya berbisik. “Ini masalah Hak!” Pasti
banyak orang sependapat dengan saya. Kenapa sih hak kita sebagai warga negara terus-terusan
dirampas di negeri ini? Terlalu keras kita nanti dituduh mencemarkan nama baik,
terlalu ngotot kita dikira rakus. Tak enak memang menjadi rakyat, tapi menjadi
wakil rakyat lebih berbahaya.
Suatu malam, di
sela-sela status norak saya di FB saya menulis surat ke redaksi Sindo (Nah,
kembali ke Sindo nih) yang intinya menanyakan honor saya. Besoknya saya lupa
dengan surat tersebut, tapi mereka tidak. Saya kirim email tengah malam, di
pangkal hari rabu, saya di telepon ketika adzan magrib berkumandang hari rabu
itu juga. Intinya mereka membaca e-mail saya dan bilang setelah dicek, tidak
ada nomor rekening saya.
“Tapi tak ada
nomor rekening, jadi kami tak bisa mengirimkan. Kalau tak ada nomor rekening,
kami tak akan mengirimkan sampai kapan pun.”
Sejenak saya membayangkan
honor saya yang sudah disiapkan itu berlumut, uang koinnya mulai berkarat, jika
terbuat dari coklat, honor saya pasti sudah meleleh dan dirubung lalat, ulat
dan belatung. Mengingat itu segera saya sebutkan nomor rekening dan diulang
oleh mereka. Wah besok saya bisa ngenet semalam suntuk nih, ucap saya dalam
hati.
Sebelumnya Sindo
dalam sebulan sudah dikirim, meskipun kadang mesti ditelepon. Tapi sekarang
agak ribet. Saya katakan itu pada mereka. “Ini bukan tulisan pertama saya di
Sindo, tapi pengalaman pertama yang tak dikirim setelah beberapa bulan. Tapi
teman saya yang lain juga belum dikirim lo, Mas.”
Dia lalu bertanya
nama teman saya, saya sebutkan, dia bertanya bulan pemuatan, saya kira-kira
saja, mereka menemukan dan bilang memang belum dikirim honor teman saya itu. Mereka
minta nomor kontak. Kabarnya, teman saya langsung mereka di tengah magrib itu
juga. Sekali lagi saya membayangkan bisa semalam suntuk di warnet. Saya
tersenyum lebih bahagia lagi membayangkan teman saya akan dengan girang SMS,
“Dasyat bung, honor saya sudah dikirim.”
Berhari, dan
seminggu pun lewat. Saya yang penuduh ini beranggapan, “karena mereka disentil
saja maka langsung klarifikasi.” Nama baik. Karena seminggu lewat dan belum
dikirim juga nonor yang kami percakapkan itu, saya bikin email kedua,
menyatakan protes saya dengan bahasa yang sesantun-santunnya versi saya. Kepada
Bung Budi Hutasuhut dan Muhammad Ali Fakih, rekan senasib, saya lampirkan surat
itu.
Hingga hari ini
tak ada lagi telepon, tak ada uang yang masuk. “Kita sudah berbuat Nak Nyo.
Kita sudah melawan sebisa-bisa kita,” kata Nyi Ontosoro pada saya. Eh, itu kan
Minke, bukan saya. Dampaknya mungkin kira-kira begini: “Awas ya, gak bakal gue
muat lagi elo. Berisik sih” Mungkin begitu bunyi geramnya. Dan inilah yang
banyak ditakutkan oleh banyak kawan-kawan yang tidak menerima honor, mungkin.
Dengan rendah hati sebagian orang mengalihkan kesedihannya dengan hiburan, “Ah,
yang penting dimuat saja sudah cukup. Perkara duit itu sensitif.” Nah, ini juga
perkara bagi saya. Gak bisa dong, untuk media yang komersial, dan jelas-jelas
pula ada bayarannya, saya pun harus dibayar. Saya tidak ingin melakukan kerja
amal begitu saja. Gak mungkin juga saya mau mengirimkan karya untuk sekedar
hiburan (syukur-syukur ada pembacanya) ke media yang secara orientasi dan
pembacanya sudah berbeda dengan saya. Kecuali saya mengirimkan ke media
alternatif, dan saya juga bisa tulus. Saya juga mengirim tulisan ke media di
daerah—itu pun dengan beberapa pertimbangan yang sudah saya sebutkan tadi dan
diulang lagi. Setidaknya: Saya tahu dimuat dan kapan waktunya.
5.
Soal honor kasusnya
lebih sering sangat sederhana. Dia tidak berhubungan langsung dengan kebijakan,
redaktur atau apa pun. Perkaranya ada di bagian keuangan. Ya, gak? Bahwa memang
ada koran yang pembayaran tiap tanggal berapa setiap bulan, ada yang memang
dalam satu minggu anggaran pembayaran turun. Soal kedua mungkin kebijakan
pengiriman honor. Bagian keuangan entah mengabaikan, atau karena memang terlalu
banyak kerjaannya (mungkin aja toh, ada wartawan yang minjam duit, ngambil
honor mingguan, atau bayar kredit apa gitu) sehingga tak ada waktu untuk
mentransfer uang.
Persoalan lain
dan menjadi keluhan bagian keuangan tentu saja beragam Bank yang hendak dituju.
Maka jika sodara-sodara menelepon media tertentu, mereka minta, kirim dong
rekening bank yang ini aja. Kalau gak ada, pinjam teman deh, gitu. Tapi
bukankah juga sekarang perkara transfer lebih gampang dan untuk beberapa bank
bisa lewat satu bank saja. soal biaya toh dipotong dari honor kita juga, tak
apa kan? Seperti pajak, kita kan demikian taat membayarnya. Astaga, kita
ternyata pembayar pajak yang rajin sodara-sodara, lalu mengapa sastra demikian
tak terperhitungkan di negeri ini. Mau sastra dihargai macam FFI? Gak deh,
pliss…
Nah, balik lagi
soal bagian keuangan. Kadang ada bank yang bagian keuangan yang mungkin kerja
sendirian. Ya ngurus karyawan, ngurus wartawan, ngurus pengeluaran lain-lain
sehingga gak ada waktu lagi untuk untuk ke Bank atau ATM. Kasian sekali mereka
ya. Maka, kadang-kadang kawan kita ‘memegang’ redakturnya. Nah redakturlah yang
kadang datang ke bagian keuangan, meminta honor si ini, dimuat tanggal segini,
lalu menunggu dan mentransferkannya untuk kita. Sungguh mulia. Sayangnya yang
baik-baik tak selalu tersedia banyak di negeri ini. Kitanya juga suka gak enak
toh?
Persoalan lain
dalam kirim-mengirim honor adalah, bagian keuangan tidak tahu nomor rekening
penulis. Dia tahu ada honor yang belum dikirim, tapi mau dikirim ke mana? Ada
memang penulis yang lupa melampirkan no rekening, tapi rata-rata mereka
melampirkannya bersama biodata. Persoalannya adalah mungkin redaktur lupa
memberikan nomor rekening ke sekretarisnya, kalau punya, atau lupa memberikan
ke bagian keuangan.
Yang agak seram
adalah cerita kawan saya. Dia wartawan di suatu media nasional, milik partai
pula. Suatu ketika honor tak datang-datang, jadi mesti ditelepon dulu. Honornya
juga berkurang jumlahnya. Nah inilah istimewanya kita. Seiring naiknya harga
dan gaji pegawai, tapi honor sastra di media cenderung monoton juga banyak yang
turun. Logika terbalik nih. Misalnya Pikiran Rakyat honor cerpen yang 400 ribu
dan dipotong pajak tiba-tiba turun jadi 200 ribu sekarang ini. Misal yang lain
nih, saya pernah liat wesel dari Suara pembaruan untuk honor puisi akhir tahun
90-an 150 ribu, sekarang juga gak beda-beda amat kan? Duh, Silet, pil, dan
rokok saja naiknya ratusan persen, kok honor tulisan gak ya? Perbandingan honor di setiap media juga berbeda lo. Silahkan cek!
Eh, eh, eh,
sampai di mana tadi? Oh ya, soal honor di koran tempat teman saya bekerja itu..
Nah, usut punya usut, teman saya cerita bahwa bagian keuangannya akhirnya
dicopot dnegan tak hormat, karena ternyata dia memakai duit perusahaan untuk
bikin usaha diluar. Jadi honor penulis ‘dipinjam’ dulu. Dan tragisnya, yang
mengurus keuangan ini punya kebijakan sendiri, memotong sendiri honor penulis
yang seuprit persen jika dibandingkan gaji wakil kita yang menyokong media
tersebut. Dia mengkorupsi honor. Bayangkan jika ternyata honor sodara di sebuah
koran bukan 200.000 tapi dua juta. Hayoo.. lagian para penulis kan terlalu baik
hati, selalu terima dan alhamdulillah aja….
Media memang perlu
ketegasan dalam pembayaran honor. Pengetatan itu tidak rumit, tinggal
melimpahkan tugas ke bagian keuangan (pasti kesian kali si ibuk itu). misalnya,
tanggal segini tugasnya ke bank untuk transfer sebulan ini, dan demikian pula
bulan depannya. Keren ya. Kita merindukan media macam kompas yang bayar honor
dalam minggu itu juga. Seandainya, seandainya, lancar saja dulu aja pembayaran
honor, betapa menyenangkan menjadi penulis di ngeri ini.
Biasanya yang
agak bermasalah adalah ketika pertama kali tulisan dimuat di media. Kealpaan redaktur
memeberikan nomor rekening penulis, atau penulis yang terburu-buru membuat
bagian keuangan juga tak bisa apa-apa. Namun seharusnya, penulis yangs udah
menulis beberapa kali dengan sendirinya sudah tercantum di arsip keuangan
lengkap dengan nomor kontak, sehingga gampang jika hendak mengirimkan jika
sewaktu-waktu tulisan dimuat lagi. Asal tidak berganti-ganti nomor rekening.
Sepertinya,
bercita-cita jadi penulis (apa lagi puisi) di koran minggu adalah sebuah
kesenangan semu. Seperti atlet yang berjaya di lapangan, tapi teronggok pasi di
akhir-akhir masa hidupnya. Tapi atlet pun sudah berbeda nasibnya, negara mulai
memperhatikan mereka. Tapi koran dan sastra di hari minggu punya siapa? Apa ada
kontrak media dengan pemerintah, tidak kan? Atau, hmm… jangan-jangan
kita memerlukan reward untuk karya-karya yang dimuat di media tertentu
dari pemerintah. Meski ada yang menolak, tapi mungkin akan banyak yang setuju
soal ini. Artinya karya sastra yang dimuat di media tertentu akan mendapat
honor dari pemerintah, sebagaimana yang dilakukan penerbit atas buku-buku
mereka yang diresensi para penulis. Tapi negara kan bukan penerbit. Rasanya,
membicarakan karya di koran minggu, lalu penulis dibayar sama pemerintah,
seperti memegang tai saja: bau; memalukan; jijik; najis; tabu; dan kayak gak
ada kerjaan aja; serta ngapain elo?
Duh, sastra di
koran minggu, sastra di hari minggu, apa sih maumu?
6.
Setiap penulis punya kerumitan yang berbeda di koran yang berbeda.
Mungkin diperlukan siasat. Nah, sebagai penutup ini mungkin semacam pengalaman
yang tiap teman-teman pasti punya tips sendiri-sendiri. Untuk koran Lampung
Post, biasayanya saya meminta tolong sama Arman AZ (Saya sering tidak enak sama
almuqaram ini, karena harus repot gara-gara saya), untuk Riau Pos, kadang jika
kondisi sudah benar-benar terjepit saya minta tolong bang Harry Kori’un, sekali
lagi memang tak enak, karean pastilah doi punya kesibukan lain. Dan kadang saya
tak tahu apakah benar ada, atau berapa tulisan saya di Riau Pos yang belum
dikirim. Jika ke Haluan ada jeng Yetti A. KA dengan sangat luar biasa
memperjuangkan honor saya. Hihihi… Padang Ekspress sewaktu-waktu saya pulang,
honornya diambil, dan kadang-kadang diambilkan teman-teman. Suara Merdeka ada kantor
cabangnya di Yogya, Pikiran rakyat saya biasanya telepon kantor cabang di
Yogya. Untuk KR, Minggu Pagi, dan Merapi saya ambil langsung ke redaksi. Bagi
teman-teman yang punya tulisan di 3 media terakhir ini, bisa diambilkan ke
redaksi macam yang dilakukan bang Arman AZ dengan Lampung Post, tetapi mesti
menggunakan surat kuasa, pakai materai dan tanda tangan serta fotokopi KTP.
Cara-cara macam
ini mungkin menjadi salah satu jalan, meski saya tidak mengharapkan ini terus-terusan
berlangsung apalagi Anda nanti menghubungi mereka pula. Itu langgananku tau..
hahaha… Yang lain mungkin punya pengalaman berbeda-beda. Silahkan dibagi ke
yang lain pengalamannya.
Yogyakarta,
11 Desember 2011
10 komentar:
Ah, nama saya tidak disebut; tidak diwarnamerahkan :-(( tapi tak mengapa karena kita memang baru saja kenal.
Oh, ya.. pengalaman honor kita dan hampir semua penulis banyak seragamnya, ya.. memang, masalah honor itu sangat ajaib. Ada bahkan yang tidak sekadar meminjam duit honor penulis untuk bikin usaha di luar, tapi ada yang dengan tegas 9atau tega) memarahi penulis yang menagih honor untuk 5 X pemuatan resensi bukunya karena si penulis sudah dianggap tahu bahwa di koran tersebut memang tidak ada honornya.. (ini contoh kalimat panjang yang tidak boleh ditiru untuk mendapatkan honor)
Namun, yang lebih mengherankan adalah tulisan yang panjang ini, yang lengkap ini, yang berisi pertanyaan-pertanyaan retoris ini...Sungguh, saya heran sama si kuli ini karena dia menulis untuk media yang tidak memberi honor dengan semangat yang berapi-api... Pak Blogger... hehehe....
Saluuuuuuuuut..... Indrian Koto memagn top
M. Faizi: Seharusnya saya merahkan, benar, sumpah. Saya sedang berpikir demikian. Tapi harus saya pasang di mana. begitulah nyatanya.
Saya berharap tulisan ini tidak dianggap memojokkan, karena jujur saja, saya takut jika dituduh demikian, saya dipenjara (namun saya juga berpikir, ngapain juga tulisan macam ini akan dianggap demikian perlu), jangan sampai deh, ampun, saya suka keringatan dan gugup kalau ditanya, kalau tak percaya tunggu saja postingan saya minggu depan (sebuah contoh kalimat panjang mendeskripsikan ketakutan yang ssungguhnya).
Nah, saya sengaja menulis ini agar ada bagi-bagi pengalaman, bagi2 info bagaimana seharusnya berhubungan dengan media tertentu (soal honor maksudnya), pasti setiap orang punya pengalaman,s emakin sering ia, semakin lama dia, semakin membuat pengalamannya bertambah banyak.
Dan tulisan inisemacam perwakilan suara teman-teman. Nah ini bukan sekedar perkara uang lo, tapi hak. Juga, untuk apa sih sebenarnya media punya ruang sastra?
Jawaban berikutnya, kalau boleh Ki Faizi menambahkan, bisa poin per poin. Tiap nomor punya substansi berbeda, meskipun sangat kacau.
Temanku punya arsip keren nih.
http://www.facebook.com/notes/m-faizi-von-guluk-guluk/honor/10150264715766439?ref=notif¬if_t=note_tag
Iya, ya... benar sekali yang kamu tulis begini "Pernahkah kita bertanya, apa sih maunya koran memuat karya sastra setiap hari minggu? Sungguh, saya tak tahu. Untuk menaikkan oplah rasanya tidak. Tak semua penulis karya sastra di koran membeli koran setiap minggunya, mungkin membeli jika sewaktu-waktu tulisannya dimuat. Apalagi mereka..."
Saya jadi terheran-heran sendiri dan berpikir, "kok,. iya..ya...?" Wah, honor memang menakjubkan... mari bikin honor. Saya jadi rindu untuk bikin honor. Sekarang, ah.. Terima kasih, Indrian Koto Keren....
bikin honor untuk saya saja. hahahhaa..
Tapi saya memang tak punya jawaban soal itu Ki.
Saya DULU masih bisa ikhlas kalau ada honor yang tidak dibayarkan. Sekarang, saya tidak pernah dapat honor lagi. Pasalnya, tidak pernah menulis. :D
Ismanto: kau terlalu penyabar sih. Dan persoalanmu yang terakhir itu anak muda jelas sangat berbahaya. Dan parahnya: itu menular
bagaimana dengan ini:
bukumlaku.wordpress.com/2011/12/25/membumikan-gagasan-buku-mlaku/
hehehe....
keren juga anonim
Posting Komentar