Aku selalu mengatakan dan setengah memaksa kawan-lawan untuk percaya
kalimat sakti yang kukarang-karang ini: “kosmu adalah kepribadianmu.” Hem,
maksudku bukan soal kerapian dan bagaimana menata isinya. Justru itu paling
bisa dipakai untuk melihat kepribadian. Misal, kalau kamar kosmu bentuknya
seperti kamar kosku, dengan sekejap mata bisa dipastikan kau adalah orang pemalas.
Bantal yang bau, sarungnya gak pernah dicuci, debu dan sampah di mana-mana,
pakaian menumpuk dan jadi sarang nyamuk, gelas kopi bertebaran sudah cukup
dijadikan alasan untuk memberikan dakwaan kepadamu: Pemalas.
Sebenarnya ke teman-teman aku gak
pernah mengatakan yang itu. Aku tidak mau mereka menilaiku pemalas, meskipun
seluruh teman-temanku yang bisa dihitung dengan jari tangan dan kaki itu sudah
sangat tahu bahwa aku ini orangnya pemalas. Tapi aku kan ceritanya orang yang
egois, jadi tak akan membicarakan hubungan kepribadian dengan dalemnya kamar. Gengsi
dong mengakuinya.
Nah kepada teman-teman ini, aku mengatakan,
“kebiasaanmu berpindah-pindah kos menentukan karaktermu.” Sederhana saja
logikanya, kalau kamu suka pindah-pindah kos, berarti kamu orang yang enggak
setia dan pembosan. Itu uuga berhubungan dengan pasangan. Tentu saja Irwan Bajang (karena permintaannya dengan mengiba-hiba saya link deh. Gratis bung, gak usah disogok), temanku yang mengurus percetakan buku itu yang jadi mangkel
mendengarnya. Bagaimana tidak, dalam setahun saja dia bisa pindah kos tiga
kali. Belum sempat aku main ke kosnya yang satu, eh dia sudah pindah pula ke
kos yang lain. Ditambah lagi dengan kenyataan dia orang yang sangat setia
dengan pacarnya, si Yayas. Dari dulu, setau saya ituuu aja pacarnya. Jadi analisaku
sebenarnya sudah jelas-jelas salah.
Sayangnya, ya itu tadi, aku sudah
ditakdirkan jadi orang yang egois sehingga terus-terusan memaksa teman-teman
mempercayai bahwa kebiasaanmu kos menentukan kepribadian seseorang. Kiting,
temanku yang keriting itu mesem-mesem saja ketika saya mengatakan itu padanya.
Ceritanya, itu adalah pertahanan terakhir saya untuk memaksanya tetap tinggal kos
di tempat yang lama, berhadapan pintu kamar denganku. Posisi yang betul-betul
menguntungkan buatku dan apes buat bocah itu. Aku dengan sesuka hati masuk ke
kamarnya, mengambil air minumnya, mencuri receh yang dikumpulkan, mencomot roti
untuk bekal dia (dulu) sebelum kerja. Kepergiannya jelaslah sebuah kiamat kecil
untukku, tapi berkah tak terhingga baginya. Apa boleh buat, kalimat filosofisku
sudah tak bermakna untuk menahan dia.
Kiting tetap pergi dan berpesan,
“jangan percaya kalau kebiasaan pindah-pindah kos itu bagian dari karakter.”
“Situ kan suka pindah-pindah kos, seperti situ sama cewek.” Kataku.
“Enggak To, kan kita sudah sejak
2006 sudah bareng-bareng. Jadi, saya setia,” kata Kiting memelas. “Sangking
setianya saya, sampai seusia ini saya enggak mau pacaran.”
“Tapi situ suka memainkan perasaan
perempuan. Situ deketin, habis itu situ tinggalin.”
Dia diam, pintu dikunci dan
tinggallah saya sendiri, Sampai kini.
Syukur alhamdulillah, setelah hampir
setengah tahun dia pindah badannya tampak semakin sehat dan agak segar. Bahkan
punya pacar pula. Dan syukurnya lagi, aku masih tetap hidup hingga kini dan
tetap tinggal di kos yang itu juga.
Selama di Yogya, menurut keyakinan
pribadiku sendiri nih, aku adalah orang yang jarang sekali pindah-pindah. Awalnya
aku tinggal hampir dua tahun di Sewon. Karena kampus jauh aku numpang pula di
kos Ucup dan Mahwi di Nologaten beberapa bulan lamanya. Pada akhirnya aku kos
bareng mereka. pilihan itu sungguh sebuah keterpaksaan, karena sudah tak berani
masuk ke kamar mandi kalau ibu dan bapak kosnya kebetulan lagi di dapur. Untuk
menjaga-jaga tak diusir, aku titip pesan sama Ucup, kalau nanti aku punya uang,
aku akan kos di sana.
Benarlah adanya, aku kos di sana. Kamarnya
besar tetapi pengap. Aku tak sendirian, untuk urusan kos enam bulan itu,
sengaja kugandeng Da Hen, kakak sepupuku untuk melunasi lebih dari separoh uang
kos. Kami tinggal di sana. Berbagi kasur tipisnya, berbagi rak buku dan berbagi
isi dompetnya.
Aku pindah setelah gempa. Kebetulan
pula teman-teman ingin punya kontrakan. Aku menggandeng Ucup, takut dia
terpengaruh Mahwi yang akhirnya menikah (sialnya Ucup pun sudah punya anak
sekarang), dan kawan-kawan lainnya untuk mengontrak rumah enam kamar di sekitar
kali Gajah Wong. Begitu melihat tempat ini aku jatuh cinta. Biasalah, aku suka
begitu. Padahal kamar mandinya jelek, kakusnya seperti sarang penunggu Jogja.
Awalnya kami cuma bertiga, Aku, Ucup dan Ridwan. Lama sekali kamar yang enam
biji itu baru terisi semua. Itu problem juga bagi kami. Problem terbesar adalah
mengangsur uang kontakan yang enam juta itu, tentu saja. Nyaris saja kami
diusir. Pak kos mana yang sudi menyewakan kembali kontrakan yang tak
dibayar-bayar.
Kebetulan, bulan-bulan terakhir
Kiting ini tinggal bersama kami, jadilah dia yang mencari tempat kos baru.
Teman-teman lain sama paniknya dengan kami, di mana akan tinggal setelah ini.
Kiting menemukan tempat di Sapen, tempat si Daeng bertahun-tahun tinggal di
sana. Awalnya aku dan Kiting sekamar berdua di kamar sempit itu. Rumah itu
hanya ada lima kamar saja. Beruntung ketika teman di depan kami pindah, aku
menggantikan posisinya hingga kini. Kamar yang hingga Kiting pergi baru
kusadari adalah sebuah kamar yang gelap, pengap dan lembab.
Sebenarnya, kalau dipikir-pikir
bukan soal kepribadian itu yang membuatku memaksakan diri tetap tinggal di
sini. Selain urusan teknis, hal itu juga dikarenakan aku orangnya malas. Malas
pindah-pindah, malas beres-beres, malas bertemu tempat baru. Ditambah lagi, kos
di sini lumayan murah dan kita lebih merdeka.
Tapi aku tetap memaksa kalian untuk percaya, “kebiasaan pindah kos,
mencerminkan kepribadian seseorang” agar keberadaan saya di sini menjadi lebih
filosofis dan terkesan gagah. Tapi soal isi kamar dan kepribadian, jangan
diambil dulu ya? Mungkin suatu saat aku belajar mengakuinya.
17 September 2011
6 komentar:
hahaha.. si bajang emang tukang pindah kos. itu betul bung..tidak salah. dia selalu cari suasana. gitu katanya
Renggo: doi betul2 sialan. Baru di kontrakan terakhir inilah akhirnyadia bisa tahan lebih lama. Bukan cari suasana, tapi memperhatikan jendela tetangga mungkin tuh..
nama saya pertama dipakai, kok nggak dipasangkan link ke blog baru saya? http://irwanbajang.com yang keren itu? wah, sia2 donk dirimu belajar memasang link di posting. tapi ya sudahlah, nggak apa2, banyak tuduhan memang terarah padaku, tapi biasa tuduhan ini asersif dan susah dibuktikan, (meminjam istilah yang sering dipakai Dea)
Oh ya, Btw kapan kita syawalan di kosmu yang unyu itu bung?
Irwan: astaga lupa bung buat ngelink situ. Soalnya link di sini bayartnya 500 ribu perlink. untuk situ, mumpung promo dan blog situ juga baru promo ane kasih gratis deh. kabarin teman2 ya, untuk ngiklan link di sini. hahahha
Sebelum syawalan di kosku yang keren dan manis ini bagaimana kalau desain kerenku di komputermtentang jual buku sastra situ kirimkan dulu..
jd klo diperatiin km orgnya setia tapi pemalas ya.
itu according ke kalimat sakti yg kamu karang2 loh ya.
btw, tulisan ini kocak, menurutku.
Mbak Maya: itu benar. sangat benar dan tidak dikarang-karang. Ah, semoga terus setia dan tidak pemalas lagi. Semoga bisa makin kocak tapi ada isinya. Jangan lupa terus berkunjung ya?
Posting Komentar