18 Okt 2022

Perkara Minum


 

Semakin kuat suara ketukan, makin kuat sandaran Bhea Amanah menahan pintu. Di luar, Bima YP, tidak bisa menyembunyikan rasa marahnya.

“Bhea, Buka pintunya. Aku mau bicara.” Suaranya terdengar cukup keras. Ia tahu belaka, sekiranya Bhea tidur, membangunkannya adalah kesulitan yang sulit dinalar. Setelah mengetuk beberapa kali lagi, Bima menyerah. Jika sudah lebih dari 5 menit, kemungkinan anak ini memang sedang tidak tidur.

Ia selonjor di kursi reot di samping kamar Bhea yang tak punya jendela.

Di belakang pintu, Bhea menyandarkan seluruh tubuhnya ke arah pintu. Keringat menetes dari dahi dan badannya. Ia sudah tahu kalau Bima mencarinya. Ojik memberi tahu. Ini gara-gara Rendhy Bangkin sialan itu.

Kejadiannya semalam. Ketika Ojik Kembaran mentraktir mereka minum ciu. Ojik baru dapat honor puisi dari koran nasional. Ia mengajak Radhy mabuk. Teman satu kosnya itu tentu tidak punya alasan untuk tawaran menggiurkan itu. Mereka duduk di kamar Ojik, menyalakan Kitaro dengan winamp dan pintu kamar ditutup setengah.

Bima sebenarnya tidak diundang. Tapi penyair itu muncul ketika mereka menyisakan setengah botol aqua.

“Astaga, penyair ini kalau minum tidak ngajak-ngajak,” ujarnya langsung meraih gelas. Ia langsung menenggak apa yang ada di gelas plastik itu sekaligus.

“Gila,” kata Ojik. “Bukan air putih tuh.”

“Haus, aku habis dorong motor dari Gejayan ke sini.”

“Habis bensin lagi, Bang?” Tanya Ojik kembaran.

Bima tidak menjawab. Ia kembali menuangkan minuman dari botol aqua ke gelas plastik.

“Kok gak SMS?”

“Pulsa abis.” Ia menenggak lagi, lalu menengadahkan tangan. “10 rebu ada, Men? Kan habis terima honor.”

Ojik tidak bisa mengelak. Dengan tangan agak gemetar, entah karena mulai mabuk atau gugup, merogoh dompet dan menyerahkan lembaran itu ke Bima. Waktu cerita ini terjadi harga bensin masilah 4.500 satu liter.

Bima tertawa. Mencium uang yang diberikan Ojik dan mencium wajah Ojik sekaligus. Lalu ia selonjor. Lalu percakapan ringan terjadi, beberapa gossip mulai dilemparkan.

Rendhy yang tenang dan kalem itu masih diam saja. Ia agak sedikit goyang karena minum lebih banyak dari Ojik Kembaran.

Ketika sekali lagi Bima menenggak minuman dengan porsi gede, kali ini Rendhy mengingatkan. “Hati-hati, Bang. Ntar mabuk loh.”

“Ah minuman segini gak bikin aku mabuk, Men.” Ia lalu meraba-raba kantong celana, baju dan membongkar tas.

“Cari apa bang?” Tanya Ojik.

“Kunci motorku. Mau pulang, nulis puisi. Lumayan kepala terasa enak.”

“Itu kunci kamu kalungkan di leher bang.” Kata Rendhy.

“Astaga iya. Aku lupa.”

“Wah mabuk tuh.” Kata Ojik.

“Gaklah, Men. Masa segini aja mabuk. Makasih ya. Aku pulang.”

Bima berdiri, dan dia tertabrak pintu.

Semua tertawa. Bima mengusap kepalanya. Dan saat itulah Rendy mengatakan ini: “Wah benar kata Si Bhea Gronjol.”

“Bhea bilang apa, emang?” Ojik bertanya spontan tapa mengalihkan pandangan dari gelas plastik yang lagi diisinya dari tetes terakhir botol Aqua.

“Kata si Bhea, Bang Bima gak tahan minum. Dua teguk aja udah mabuk.”

Ojik tertawa keras.

Bima yang bingung mencari sandalnya di depan pintu berucap pelan. “Anak itu memang sembarangan.”

Ojik merasa ada yang tak beres. Bergegas ke depan pintu dan berteriak. “Mau kemana bang Bim?”

“Nyari si Bhea, mau ngasih pelajaran anak itu. Baru bikin buku saja lagaknya sudah segitu.”

Firasat Ojik benar belaka. Bima yang mulai terpengaruh minuman pasti akan mencari Bhea. Hubungan mereka belakangan memang agak memanas oleh satu dua hal yang Ojik tak mau tertulis di bagian ini.

Segera ia mengambil HP dan mengirimkan pesan kepada Bhea.

Rendhy sudah tertidur dan lagu Kitaro sudah dari tadi tak terdengar.

Benar belaka. Malam itu Bima mencari Bhea ke kosnya. Bhea tak ada. Anak itu lagi pesta Mie Bangka bersama Sanli Thomas Abdullah dan Saut Mangapul. Malam itu Bima mencari Bhea ke beberapa kos teman dan tetap tak menemukan Bhea di situ. Ia pulang dan langsung tertudur.

Besok siangnya ia datang lagi ke kamar Ojik. “Tolong SMS-kan ke si Bhea, kalau aku mencarinya. Anak itu sudah keterlaluan.”

“Kenapa lagi bang? Kenapa gak abang SMS saja?”

“Pulsaku habis dari kemarin. Kamu aja yang bilang. Aku kesal sama anak itu.”

“Gara-gara semalam itu?”

“Bukan Cuma itu, Men. Anak itu mulai aneh-aneh sekarang. Semalam anak-anak pada ngomongin itu.”

“Ah, pasti Abang dari tempatnya Koto. Pasti abang dipanas-panasin anak itu.”
Bima tak menjawab dan langsung pergi.

Dan malam ini, Bima kembali, duduk di depan kamar Bhea dan mulai menulis pesan singkat. “He, kamu di mana?”

Bhea yang berada di belakang pintu seketika menerima pesan. Untunglah bunyi tit-tit di HPnya tidak sampai terdengar Bima yang sedang bingung mencari korek.

Secepat mungkin Bhea membalas. “Aku di Semarang Bang. Lagi ada acara sastra.”

Asu. Terdengar makian dari teras. Lalu bunyi sesuatu dari dalam tas. Bhea makin gemetar. Ia tahu Belaka, Bima bertubuh kekar memang tempramen. Kerjaannya selain menulis puisi adalah ribut di medsos. Bhea sendiri pernah menyaksikan Bima memukul Faiz Sahreja tanpa ampun hanya gara-gara sepele.

Ia tak bisa lagi menahan ompol ketika secarik kertas disodok-sodok dari balik pintu dan pas menambrak pantatnya.

Bersamaan dengan Bhea mengangkat pantat, ia menyenggol gelas kosong yang menimbulkan bunyi yang lumayan. Bhea ngompol di tempat. Kertas meluncur dengan mudah ke dalam kamar. Sebagian basah karena ompolnya. Di keremangan kamar ia membaca tulisan: “KAU HARUS MEMPERTANGGUNGJAWABKAN KATA-KATAMU SOAL AKU GAK KUAT MINUM.”

Di luar, setelah Bima akhirnya bisa meloloskan kertas ke dalam ruangan, ia melihat genangan air kekuningan menetes dari balik pintu.

“Anak ini,” katanya dengan rasa bersalah sambil berjalan keluar. “Selalu menaruh gelas minum sembarangan.”

2021

Tidak ada komentar: