19 Agu 2022

Jogja dan Sastra yang Saling Melepaskan

Jogja dan Sastra yang Saling Melepaskan

Indrian Koto

 Seperti apa hubungan pelaku dengan lembaga pengelolah sastra Indonesia di Yogyakarta? Jika pertanyaan itu dilemparkan kepada saya, jawabannya seperti kenalan yang sekedar say hello belaka. Mungkin jika pertanyaan tersebut ditujukan pada orang lain, jawabannya bisa berbeda. Seperti pasangan, misalnya, di mana yang dua belah pihak membutuhkan yang lain, sesekali bertengkar untuk kembali membuat komitmen, dan semacam itu. Bisa saja. Namun, itulah seideal-idealnya hubungan yang saya harapkan.

Sebagai penulis yang tumbuh dan bergerak dari satu kelompok ke kelompok lain, dari satu komunitas ke komunitas lain, saya tidak pernah sepenuhnya menyalahkan Lembaga pemerintah terkait ketidakpedulian mereka. Ini pola yang berulang. Saya kira tidak jauh berbeda dengan generasi pendahulu atau setelah saya. Kami bergerak dengan cara yang menurut kami sudah seharusnya: membikin kegiatan kesasteraan, datang ke kota lain di kota yang berbeda untuk membangun jaringan, mengelolah kelompok, membikin kegiatan, menerbitkan buku dan meluncurkannya, berkumpul dengan sesama penulis di kolektif yang kami miliki. Dan sejumlah kerja kreatif lainnya. Ada banyak ruang-ruang semacam itu yang tumbuh dan gugur secara fisik tapi tidak secara idealisme.

Lalu di mana Lembaga kesasteraan, bahasa dan kebudayaan? Entahlah, rasanya itu sebuah ruang yang lain, dengan kesibukan, dan tentu capaian-capaian yang tak kalah banyaknya. Saya nyaris tidak memikirkan keterhubungan ini: penulis sastra Indonesia memiliki partner di lembaga negara.

Dalam perjalanan kreatif saya mengenal Dinas Kebudayaan dengan FKY-nya yang kemudian ‘memaksakan’ sastra untuk tetap bertahan dalam ruangnya yang padat-ramai. Ada Balai Bahasa dengan sejumlah workshop dan bengkel sastranya. Saya mengenal satu dua orang yang terlibat di sana dan sesekali ikut di acaranya. Saya juga mendengar Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta sebagai sebuah nama layaknya sejumlah lembaga-lembaga pemerintah lainnya yang beririsan dengan kebudayaan. Barangkali seperti itu pula Lembaga-lembaga tersebut memandang kami dan sejumlah kegiatan yang diinisiasi oleh banyak pelaku sastra di Yogya.

Saya kira Lembaga-lembaga negara tersebut tidak hanya diinisasi sebagai ruang bertumbuh tetapi juga pemberdayaan. Workshop penulisan, lomba penulisan dan pembacaan karya, meruapakan satu cara menjaring calon penulis yang diharapkan tumbuh besar di masa yang akan datang. Hanya saja, hari ini pola itu juga tumbuh di mana-mana. Kampus dan komunitasnya tak kalah kuat menjaring calon penulis. Lalu bagaimana menjaga tumbuh kembangnya sastra Indonesia di Yogyakarta? Tentu Lembaga-lembaga negara ini punya langkah dan strategi, bekerjasama dan melibatkan sejumlah pihak. Posisi saya di sini bukan sedang menggugat apakah sastrawan sekedar alat atau mitra dari lembaga negara tersebut?

Dalam konteks lain, saya melihat dinamika yang terjadi: sastra sebagai dimensi dan Yogyakarta sebagai Lembaga, saling meniadakan. Sastrawan sudah terbiasa tanpa perhatian. Dan kota ini dengan sejumlah fasilitas negara yang ada, nyaris tidak peduli dengan itu semua. Mereka punya kesibukan yang berbeda, yang jika dilakukan duduk bersama, kita ada di jalan yang sama. Hanya saja, selama ini kita berjalan sendiri-sendiri.

Ada memang sejumlah kegiatan yang melibatkan sastrawan dan pelaku sastra. Itu bisa ditingkatkan dan dimaksimalkan.

Sebagai ilustrasi saja: ada inisiasi yang baik dari sejumlah provinsi, lampung, Jawa, Bali hingga NTT, yang terikat dalam Mitra Praja Utama, punya acara sastra Bernama MPU. Satu-satunya menurut saya event sastra yang dibuat oleh lintas balai bahasa di sejumlah provinsi yang membawa sejumlah penulis daerah ke kota penyelenggaraan. Dan berkelanjutan. Itu acara sastra terbesar jika dikelola dengan sebenar-benarnya. Sialnya, alih-alih mengundang 10 sastrawan daerah dengan seleksi dan beragam kriteria yang bisa dilakukan, seringkali sejumlah Balai Bahasa daerah ini mengundang dirinya sendiri untuk datang ke acara tersebut. Jogja jelas bagian dari itu. Dari 10 sastrawan yang diundang setiap tahun, setengah di antara pesertanya adalah orang yang mengelolah lembaga tersebut. Puncaknya ketika acara itu dilaksanakan di Yogyakarta, sejumlah peserta luar daerah protes, kenapa tidak banyak, jika tidak bisa dikatakan tidak ada, sastrawan Jogja yang mereka kenal. Polemik itu berjalan cukup ramai di medsos dan media cetak. Dinas kebudayaan sebagai penyelenggara, alih-alih menjadikan itu catatan penyelenggaraan, justru cendreung melihatnya sebagai bentuk sinisme dan ketidaksukaan belaka. Lalu Joglitfest, atau yang baru-baru ini selesai diselenggarakan, Temu Karya Sastra, dan sejumlah acara-acara sastra lainnya yang dilakukan pemerintah, seringkali membuat kelompok-kelompok sastra yang sudah tidak akur ini makin kencang gesekannya.

 

Berharap Pada Balai Bahasa

Karena pada diskusi ini kita bisa bertemu dan berbincang dengan Dra. Dwi Pratiwi, M. Pd.,  akan sangat menarik kita menyimak paparan dan pandangan beliau tentang karya dan pelaku sastra berbahasa Indonesia di Yogyakarta. Bukan pada kapastitas saya menyampaikan jika selama ini sastra Indonesia nyaris tidak diberi tempat oleh lembaga yang sudah berdiri hanya beberapa tahun sejak negara ini diproklamasikan kemerdekaannya. Tujuannya jelas, sebagai alat negara untuk menyebarkan bahasa Indonesia ke tengah masyarakat yang masih menetukan identitas pada masa itu. Salah satunya lewat sastra (berbahasa) Indonesia. Saya tahu jika Balai Bahasa juga mengurusi sastra daerah. Tugas kitalah di sini, saat ini, bertanya soal porsi balai bahasa terkait sastra berbahasa Indonesia dan sastra berbahasa daerah tersebut.

Balai bahasa, seperti saya singgung sekilas di atas memiliki sejumlah kegiatan kesasteraan yang gagasannya sudah sangat bagus, hanya saja belum dirasakan banyak pihak. Workshop penulisan dan lomba misalnya, selain mencari calon penerus generasi sastra, tentu melibatkan sejumlah ‘ahli’. Hanya saja, posisinya belumlah sebagai rekan yang memiliki ikatan baik. Mereka diperlukan jika ada kegiatan sejenis. Selebihnya kita cukup say hello saja.

Kita punya harapan terhadap Balai Bahasa. Ada banyak peran dan sikap yang bisa diambil.  Bukan tidak pernah dilakukan, hanya masih terasa seremonial. Kami kira Balai Bahasa Bukanlah Lembaga yang sibuk dengan penelitian, dokumentasi. Kita memerlukan regenerasi, ruang kreatif di luar ada banyak, kenalilah. Pernah ada penghargaan terhadap karya sastra, yang berdampak langsung pada penulis, meski tidak pada penerbitnya, sayang itu berhenti. Kita masih menunggu gerakan-gerakan sejenis yang berdampak langsung pada pelaku kesusasteraan Indonesia di provinsi ini.

 

Soal Ruang dan Apresiasi

Apa yang sastrawan inginkan dari negara? Tidak banyak. Jika tidak bisa menumbuhkan, minimal mereka bisa mengapresiasi. Apa solusi dari itu? Beri ruang yang luas bagi pelaku kesasteraan. Ajaklah pihak ketiga bekerjasama jika memungkinkan. Maksimalkan fasilitas yang ada. Undang sejumlah pelaku sastra ke ruang yang seharusnya mereka masuki. Di luar, dunia bergerak dengan sangat cepat. Sejumlah penulis tumbuh dan berganti, media cetak sebagai dapur tambahan makin menghilang, inilah momen yang tepat untuk mengambil peran itu.
            Kita perlu regenerasi dan dokumentasi, tapi yang tak kalah penting adalah apresiasi. Sastra tidak sepenuhnya tumbuh dan lahir dari lomba dan workshop. Gagasan itui lebih ke melihat pada soal kuantitas ketimbang kualitas. Lebih ke bentuk bukan hasil. Generasi Emha, Iman Budhi Santosa, Sapardi, Rendra, Eka Kurniawan, Agus Noor, Afrizal Malna, Joko Pinurbo, hingga gerenasi saya dan eko, sebagai bagian dari pelaku sastra di Yogya justru tumbuh tidak dari ruang itu. Bukan tidak penting, tetapi bukan yang utama. Lalu dokumentasi, soal penulis menulis Riwayat hidupnya, atau ensiklopedi adalah hasil dari capaian kreator. Sekali lagi ia bukan yang utama.

Peran negara, lewat balai bahasa dan lembaga lainnya adalah menggandeng pelakunya untuk terlibat dan aktif bersama-sama dalam sejumlah kegiatan dan penyelenggaraan. Lembaga ini punya fasilitas untuk ruang, panggung dan fasilitasnya yang bisa diakses secara publik, baik menjadi panggung, ruang apresiasi, dan ruang dokumentasi. Secara bersamaan, regenerasi bisa tumbuh dengan intens. Ruang di mana semua orang bisa duduk bersama dan melakukan sejumlah gagasan dan rencana, sebagaimana gagasan dan bentuk awal Taman Budaya.

Saya kira, saya sudah terlalu nyinyir dalam tulisan singkat ini. Tor kegiatan ini sebenarnya sudah sangat menjelaskan suara muncul dari keramaian. Barangkali ia bisa hadir dalam diskusi ketimbang saya harus menuliskannya lagi.

Sederhananya, sudah terlalu lama kita saling meniadakan. Mari sama-sama belajar bahwa kita saling membutuhkan, tinggal jembatan untuk mempertemukan sejumlah gagasan. Saya berharap, diskusi terkait tema besar ini tidak selesai sampai di sini, karena terlalu sempit ruang dan waktu untuk menyampaikan hal-hal dari ‘gugatan’ yang besar ini. Sebab, kita butuh kacamata lain untuk melihat dinamika ini. Dan ini kacamata saya sebagai pelaku, tentu akan berbeda dengan sudut pandang balai bahasa atau taman budaya. Dua sudut pandang ini kita perlukan untuk bergandengan ke depan, jika memungkinkan.

Jika di jalan sempit ini kita mesti berangkulan, kenapa saling melepaskan?

Yogyakarta, 9 Agustus 2022.


(Makalah untuk diskusi “Halo, Apa Kabar Sastra (Berbahasa) Indonesia di Daerah Istimewa Yogyakarta, Taman Budaya, 11 Agustus 2022)

Tidak ada komentar: