Eswe datang sambil
mendorong motor saat Kicot sedang duduk di teras rumah kontrakannya. Sore hampir
masuk, tapi karena langit mendung suasana masih berasa pagi saja. Segelas kopi masih
mengepul dan setumpuk buku di samping Kicot dan seplastik tembakau lintingan.
Eswe mengomel sambil memarkir
motornya di halaman yang sempit. “Uasyu, bensinku entek...”
“Lah bensin habis kok
malah didorong ke sini?” sambut Kicot yang sedang duduk di pojokan teras. Ia
sudah menduga jawaban Eswe.
“Pinjam duitmu dulu,
ya. Aku gak bawa dompet.” Eswe tersenyum, Kicot mesem. “Nanti aja. Aku ndak
buru-buru kok.”
Eswe melongok ke dalam
rumah. “Tumben, kok sepi? Anak-anak lain pada kemana?”
“Roji masih di kampus,
Dea lagi tiduran di kamar, belum keluar sejak semalam. Katanya mau ikut lomba
puisi.”
“Hebat tenan si Kim
Jong Un.” Eswe duduk di depan Kicot, menyambar tembakau lintingan, sebentar
saja tembakau berceceran ke mana-mana.
“Lagi sibuk apa, Bung?”
Tanya Kicot sesaat setelah Eswe berhasil menyalakan lintingannya.
“Biasa, Bung. Ngurusi
acara orang. Sebar-sebar pamflet acara sastra.”
“Masih perlu pamflet
ya? Kok gak tag di medsos dan kirim via WA aja.”
“Lha iyo. Itu juga.
Tapi ini acara dari pemrentah, jadi
standarnya ya gini. Harus ada bukti fisik,” Eswe menyambar korek lagi, membakar
lintingannya yang padam. “Lagi baca apa, e.”
“Ini, buku baru
Puthut...”
“Wasuuh.. Puthut ini
produktif betul ya bikin buku. Buku apa yang dia terbitkan sekarang?”
“Ini kayakya
status-status di facebook. Dia mah apa aja jadi buku.”
“Ho-oh ya. Mojok ini
banyak betul menerbitkan buku Puthut, atau Puthut yang kebanyakan nulis buku
ya?”
“Gak taulah bung. Gak
ngerti aku.”
Langit sudah dar tadi
mendung. Gerimis jatuh satu-satu.
“Kalau kupikir-pikir,”
Eswe meremas tembakau lagi, “Yogya ini punya banyak sekali penulisnya ya.
Hampir tidak ada istimewa-istimewanya. Di Burjo ketemu penulis, ngopi ada
penulis, main ya ke rumah penulis, pinjam uang ya ke penulis.” Sampai di situ
ia terkekeh sambil menepuk paha Kicot. “Tapi kalau dipikir-pikir kok ya kita ndak
ada acara sastra berskala nasional alih-alih nginternasional..”
“Gayamu, Bung, pakai
alih-alih segala. Kayak prosais aja...”
“Lah aku kan juga nulis
bung. Situ ndak ikut novel DKJ? Saingannya aku loh. Berat pastinya, kamu tidak
akan kuat..”
“Tai...”
“Eh beneran loh ini.
Aku ikut novel DKJ. Eksplorasi habis-habisan aku, Bung. Aku sudah cerita belum?”
“Udah 30 kali. Dan yang
menang kan Felix siapa gitu...”
Eswe
nyengir. “Buat tahun-tahun besoook..”
Hujan turun dengan
cukup deras. Tempias menggesek lantai teras. Mereka menggeser duduk agak ke
pojok lagi.
“Wah sudah musim hujan
saja, ya?”
“Memang sudah waktunya.
Terlambat malah.”
Eswe senyum, “Kopimu
abis, Po?”
Kicot mengangsurkan
gelas kopinya. Disambut Eswe dengan satu tegukan.
“Wih kopimu mantap
bung. Kopi mana nih, robusta?”
“Itu cuma kapal api.”
“Woo asem. Tapi kok ya
enak,” Diteguk lagi kopi sebelum bicara. “Jadi ya gitu, Bung. Kok ya ndak ada
di Jogja ini acara sastra yang berskala besar.”
“FKY gimana?”
“Itu kan bagian dari rangkaian
Festival Kesenian Jogja. Tetap saja lokal dan tidak berdiri sendiri. Tahu kan
pernah ramai gara-gara mengundang penyair luar? Mau dibuat jadi acara sastra
yang lebih luas, ada panggung, seminar dan sebagainya. Tapi kan bisa
menyalahkan aturan main FKY. Ya gitu, pantianya dipecat. Duluuu..” Seteguk kopi
lagi. “Maksudku, ternyata kita memang gak punya event sastra semacam... Ya,
macam UWRF yang di Ubud gitu loh. Atau yang Makassar atau lagi yang Borobudur...”
“Kayaknya di Padang
dulu kubaca di Tempo juga ada.”
“Wes bubar. Udah endak.
Tapi kan tetap aja keren, ada festival besar di banyak kota. SDM-nya kita kan
gak kalah dari Makassar, Bali, atau Padang. Masa ndak ada Yogyakarta Writer and
Reader Festival atau sejenisnya..”
“Terlalu banyak acara
mungkin. Kan di mana-mana ada.”
“Skalanya, Men.
Skalanyaaaa...”
“Mocosik? Kampung Buku?
Patjar merah.”
Eswe diam sejenak,
mengambil korek lagi. “Yang mandiri gitu loh. Yang tidak pakai musik atau
pameran.”
“Tahun Baru di JBS?”
“Halah, acara sampah
apa itu.”
Kicot melintng tembakaunya.
Halus dan rapi.
“Kalau begitu, kenapa
gak dicoba. Kamu kan banyak kenalan seniman-seniman andal, perupa, wong titer, penyair
apalagi, baik yang murni atau musiman.”
“Gayamu, Cuk.”
“Tapi kan benar. Kan
ada danais juga. Masa menunggu orang luar bikin acara di Jogja dan pakai
danais, apalagi kalau digunakan untuk yang gak jelas. Kayak Jogja ini apa
aja..”
“Sttt.. Mulutmu itu
loh.”
“Tapi kan ceritanya
begitu. Dengar-dengar mau ada sekolah penulisan segala.”
“Wes toh. Ndak usah
kemana-mana obrolannya. Kan baru desas-desus.”
“Atau yang bakal ramai
nanti ini? Yang dari Indonesiana?”
“Heh, tau dari mana?”
“Persoalannya sih
sederhana, Bung. Apakah Jogja memang perlu semacam acara seperti yang kau
sebutkan itu atau bagaimana?”
“Piye toh. Yo perlu
lah. Kalau mau mestinya bisa. Anggaran juga ada,. Tapi jangan sampai jadi
perseteruan aja.”
“Ah, kita ini memang
apa-apa suka dipertengkarkan kok. Katanya Danais hanya bisa cair untuk
pertunjukan saja. Penelitan, seminar dan semacamnya tidak bisa terwadahi,
sampai-sampai seniman sastra mesti pintar-pintar cari celah.”
“Ndak tau aku. Nanti
deh aku tanya ke konco-konco. Tapi yang
kamu bilang tadi menarik juga untuk dibahas lain waktu bung. Sebenarnya Jogja
perlu gak sih acara sastra berskala nasional, atau internasional,. alih-alih..”
“Alah taik. Itu sudah
ditulis di awal-awal tulisan ini. Lagi pula itu kan pertanyaanmu sendiri.”
“Iya sih. Kenapa ya
tidak ada..”
“Menurutmu sendiri, gimana?”
“Jangan tanya aku. Wong
aku juga nanya kok.” Eswe melemparkan puntung rokoknya. Hujan sudah berhenti.
“Omong-omong aku jadi pinjam duitmu, yo buat makan, rokok dan bensin. Seratus
saja.”
Asem. Udah
ngomel-ngomel soal sastra ujungnya pnjam duit juga, maki Kicot dalam hati.
Bicara langsung mana berani dia. Senior, je.
Yogya, 2018-2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar