23 Mar 2019

Eswe & kicot: Festival

 
Eswe datang sambil mendorong motor saat Kicot sedang duduk di teras rumah kontrakannya. Sore hampir masuk, tapi karena langit mendung suasana masih berasa pagi saja. Segelas kopi masih mengepul dan setumpuk buku di samping Kicot dan seplastik tembakau lintingan.
Eswe mengomel sambil memarkir motornya di halaman yang sempit. “Uasyu, bensinku entek...”
“Lah bensin habis kok malah didorong ke sini?” sambut Kicot yang sedang duduk di pojokan teras. Ia sudah menduga jawaban Eswe.
“Pinjam duitmu dulu, ya. Aku gak bawa dompet.” Eswe tersenyum, Kicot mesem. “Nanti aja. Aku ndak buru-buru kok.”

Eswe melongok ke dalam rumah. “Tumben, kok sepi? Anak-anak lain pada kemana?”
“Roji masih di kampus, Dea lagi tiduran di kamar, belum keluar sejak semalam. Katanya mau ikut lomba puisi.”
“Hebat tenan si Kim Jong Un.” Eswe duduk di depan Kicot, menyambar tembakau lintingan, sebentar saja tembakau berceceran ke mana-mana.
“Lagi sibuk apa, Bung?” Tanya Kicot sesaat setelah Eswe berhasil menyalakan lintingannya.
“Biasa, Bung. Ngurusi acara orang. Sebar-sebar pamflet acara sastra.”
“Masih perlu pamflet ya? Kok gak tag di medsos dan kirim via WA aja.”
“Lha iyo. Itu juga. Tapi ini acara dari pemrentah, jadi standarnya ya gini. Harus ada bukti fisik,” Eswe menyambar korek lagi, membakar lintingannya yang padam. “Lagi baca apa, e.”
“Ini, buku baru Puthut...”
“Wasuuh.. Puthut ini produktif betul ya bikin buku. Buku apa yang dia terbitkan sekarang?”
“Ini kayakya status-status di facebook. Dia mah apa aja jadi buku.”
“Ho-oh ya. Mojok ini banyak betul menerbitkan buku Puthut, atau Puthut yang kebanyakan nulis buku ya?”
“Gak taulah bung. Gak ngerti aku.”
Langit sudah dar tadi mendung. Gerimis jatuh satu-satu.
“Kalau kupikir-pikir,” Eswe meremas tembakau lagi, “Yogya ini punya banyak sekali penulisnya ya. Hampir tidak ada istimewa-istimewanya. Di Burjo ketemu penulis, ngopi ada penulis, main ya ke rumah penulis, pinjam uang ya ke penulis.” Sampai di situ ia terkekeh sambil menepuk paha Kicot. “Tapi kalau dipikir-pikir kok ya kita ndak ada acara sastra berskala nasional alih-alih nginternasional..”
“Gayamu, Bung, pakai alih-alih segala. Kayak prosais aja...”
“Lah aku kan juga nulis bung. Situ ndak ikut novel DKJ? Saingannya aku loh. Berat pastinya, kamu tidak akan kuat..”
“Tai...”
“Eh beneran loh ini. Aku ikut novel DKJ. Eksplorasi habis-habisan aku, Bung. Aku sudah cerita belum?”
“Udah 30 kali. Dan yang menang kan Felix siapa gitu...”
Eswe nyengir. “Buat tahun-tahun besoook..”
Hujan turun dengan cukup deras. Tempias menggesek lantai teras. Mereka menggeser duduk agak ke pojok lagi.
“Wah sudah musim hujan saja, ya?”
“Memang sudah waktunya. Terlambat malah.”
Eswe senyum, “Kopimu abis, Po?”
Kicot mengangsurkan gelas kopinya. Disambut Eswe dengan satu tegukan.
“Wih kopimu mantap bung. Kopi mana nih, robusta?”
“Itu cuma kapal api.”
“Woo asem. Tapi kok ya enak,” Diteguk lagi kopi sebelum bicara. “Jadi ya gitu, Bung. Kok ya ndak ada di Jogja ini acara sastra yang berskala besar.”
“FKY gimana?”
“Itu kan bagian dari rangkaian Festival Kesenian Jogja. Tetap saja lokal dan tidak berdiri sendiri. Tahu kan pernah ramai gara-gara mengundang penyair luar? Mau dibuat jadi acara sastra yang lebih luas, ada panggung, seminar dan sebagainya. Tapi kan bisa menyalahkan aturan main FKY. Ya gitu, pantianya dipecat. Duluuu..” Seteguk kopi lagi. “Maksudku, ternyata kita memang gak punya event sastra semacam... Ya, macam UWRF yang di Ubud gitu loh. Atau yang Makassar atau lagi yang Borobudur...”
“Kayaknya di Padang dulu kubaca di Tempo juga ada.”
“Wes bubar. Udah endak. Tapi kan tetap aja keren, ada festival besar di banyak kota. SDM-nya kita kan gak kalah dari Makassar, Bali, atau Padang. Masa ndak ada Yogyakarta Writer and Reader Festival atau sejenisnya..”
“Terlalu banyak acara mungkin. Kan di mana-mana ada.”
“Skalanya, Men. Skalanyaaaa...”
“Mocosik? Kampung Buku? Patjar merah.”
Eswe diam sejenak, mengambil korek lagi. “Yang mandiri gitu loh. Yang tidak pakai musik atau pameran.”
“Tahun Baru di JBS?”
“Halah, acara sampah apa itu.”
Kicot melintng tembakaunya. Halus dan rapi.
“Kalau begitu, kenapa gak dicoba. Kamu kan banyak kenalan seniman-seniman andal, perupa, wong titer, penyair apalagi, baik yang murni atau musiman.”
“Gayamu, Cuk.”
“Tapi kan benar. Kan ada danais juga. Masa menunggu orang luar bikin acara di Jogja dan pakai danais, apalagi kalau digunakan untuk yang gak jelas. Kayak Jogja ini apa aja..”
“Sttt.. Mulutmu itu loh.”
“Tapi kan ceritanya begitu. Dengar-dengar mau ada sekolah penulisan segala.”
“Wes toh. Ndak usah kemana-mana obrolannya. Kan baru desas-desus.”
“Atau yang bakal ramai nanti ini? Yang dari Indonesiana?”
“Heh, tau dari mana?”
“Persoalannya sih sederhana, Bung. Apakah Jogja memang perlu semacam acara seperti yang kau sebutkan itu atau bagaimana?”
“Piye toh. Yo perlu lah. Kalau mau mestinya bisa. Anggaran juga ada,. Tapi jangan sampai jadi perseteruan aja.”
“Ah, kita ini memang apa-apa suka dipertengkarkan kok. Katanya Danais hanya bisa cair untuk pertunjukan saja. Penelitan, seminar dan semacamnya tidak bisa terwadahi, sampai-sampai seniman sastra mesti pintar-pintar cari celah.”
“Ndak tau aku. Nanti deh aku tanya ke konco-konco. Tapi yang kamu bilang tadi menarik juga untuk dibahas lain waktu bung. Sebenarnya Jogja perlu gak sih acara sastra berskala nasional, atau internasional,. alih-alih..”
“Alah taik. Itu sudah ditulis di awal-awal tulisan ini. Lagi pula itu kan pertanyaanmu sendiri.”
“Iya sih. Kenapa ya tidak ada..”
“Menurutmu sendiri, gimana?”
“Jangan tanya aku. Wong aku juga nanya kok.” Eswe melemparkan puntung rokoknya. Hujan sudah berhenti. “Omong-omong aku jadi pinjam duitmu, yo buat makan, rokok dan bensin. Seratus saja.”
Asem. Udah ngomel-ngomel soal sastra ujungnya pnjam duit juga, maki Kicot dalam hati. Bicara langsung mana berani dia. Senior, je.

Yogya, 2018-2019


Tidak ada komentar: