Saya ingat suatu hari, hampir 20 tahun
lalu, saya diusir ketika menonton film India di TPI di rumah tetangga karena
saya kentut diam-diam. Film sedang diputar, para remaja yang putus sekolah
sedang seru-serunya melihat aksi Govinda dengan televisi hitam-putih
menggunakan aki, lewat siaran TPI yang mengambil gelombang siar TVRI, saya
kentut diam-diam. Kentut diam-diam ini menjadi perkara karena saya tak
menyangka bahwa baunya akan membuat ruangan seketika ribut. Saya yang pertama
kali menutup hidung, namun tak bisa menyembunyikan kebenaran bahwa sayalah yang
kentut diam-diam dan membuat heboh seluruh ruang tamu tetangga itu. Saya dimarahi
dan pergi, karena benar, saya yang kentut.
Di waktu dan tempat yang berbeda, di
tahun-tahun yang tak terlalu jauh berbeda saya pernah berkelahi dengan seorang
kawan karena saya dituduh kentut, padahal saya tidak sedang kentut. Saya
membela diri. Benar, saya pernah kentut dan membuat berang remaja putri, tapi
saya tidak selalu kentut dan menimbulkan bau tak sedap. Saya merasa dituduh,
saya marah, karena benar, saya tidak sedang kentut waktu itu.
Dalam dua hal ini saya merasa sudah
jujur dan benar. Mereka saja yang tidak bisa menerima kebenaran.
Pada dasarnya, lama kemudian saya
mulai sadar, kebenaran memiliki perspektif. Ketika saya diusir ketika Govinda
sedang naik kuda untuk membalas dendam pada Tuan takur, mereka merasa itu
pilihan yang benar. Saya kentut dan menimbulkan kekacauan. Saya merasa kentut
dan mengakui bahwa itu saya juga merupakan tindakan benar. Demikian juga ketika
saya berkelahi dengan teman yang menuduh saya kentut tersebut, pastilah ia
punya alasan yang masuk akal ketika telunjuk dan mulutnya menuding saya. Saya
percaya, dan sangat percaya, kebenaran memiliki tempat sendiri-sendiri
bergantung dari sudut mana kita memandangnya.
Sukar merumuskan kebenaran, yang
bisa ditimbang adalah kadarnya. Misalnya ketika seseorang membunuh seseorang dan
pengadilan sebagai lembaga resmi satu-satunya yang berhak menilai si pelaku
salah atau tidak. Tetapi kebenaran dalam perspektif pelaku dan korban ketika
peristiwa terjadi bukanlah alasan yang tepat untuk diadukan. Bahwa ia membunuh,
ia harus dipenjara, dan karena ada hal-hal yang membenarkan, si pelaku mesti
menghabisi korban.
Dalam semua jenis kompetisi di mana
ada dua atau lebih kubu yang bertikai setiap kelompok pasti meninginkan
kemenangan untuk kelompoknya, karena mereka punya nilai kebenaran yang tidak/belum
tentu dipikirkan oleh lawannya. Ketika saya tidak suka akan tindakan seorang
kawan yang melakukan hal semberono, saya punya poin untuk menilainya dan sang
teman bisa jadi menganggap apa yang tidak saya suka bukanlah sesuatu yang
esensi. Dia punya logika sendiri tentang peristiwa yang saya tidak suka, dan
dia merasa pastilah ada yang benar dari tindakannya.
Ketika saya bertengkar dengan sang
teman perkara kentut tadi, persoalan yang akan menghubungkan kami kembali tentu
saja permintaan maaf. Bisa jadi tidak perlu diperhitungkan siapa yang salah dan
siapa yang hatrus minta maaf duluan. Dalam kasus umum misalnya, teman sayalah
yang harus minta maaf karena menuduh saya yang nyata-nyata tidak kentut.
Apalagi kalau ditambah dengan saksi-saksi yang menguatkan dan pelaku sebenarnya
juga tampil di permukaan. Tapi pada dasarnya maling punya kebenaran sendiri,
untuk tutup mulut dalam kondisi chaos, itulah pilihan yang masuk akan. Dia dibenarkan
dari perspektif kejahatan yang terselubung.
Ketika harga BBM naik, pemerintah dan
koalisinya pastilah punya kebenaran sendiri untuk melakukannya. Tapi, bagi saya
dan banyak pihak lainnya, pastilah menilai ini tindakan absurd dari pemerintah
yang mengakibatkan melambungnya harga barang. Saya ada di pihak lain, pihak
yang merasa dirugikan, sehingga perspektif kami akan sangat berseberangan. Kadang
soalnya adalah siapa yang berkuasa, dalam demokrasi hakikatnya adalah yang
menang adalah mayoritas, dan itu dibuktikan oleh sekutu para wakil kita, meski
ada anggota sekutu yang mengklaim dengan
hati nurani mengurangan subsidi BBM tidak masuk akal. Mereka benar dan oposisi
yang tidak suka gaya partai ini pastilah punya kebenaran untuk tidak menyukai
gaya partai yang ada di dalam tapi bermain di luar.
Dalam suara mayoritas para wakil
kita harga BBM memang harus naik, subsidi premium memang harus dikurangi. Wakil
rakyat kita pastilah punya pertimbangan yang masuk akal dan logis, bisa
dijelaskan dengan devenisi-devenisi yang hebat, disusun dalam makalah yang beribu-ribu
halaman. Tapi bisa saja rakyat yang mayoritas dari wakilnya ini kalah karena
pada kenyataannya sejarah seringkali berpihak pada kekuasaan. Kekuasaan seringkali
menang, mesti bukan berarti ia tak bisa tumbang. Hal yang membuat saya gamang
adalah, jika harga premium dan solar yang hari ini dinaikkan masihlah sebatas
pengrangan subsidi, dalam pemerintahan ke depan kita akan melangalami periode
yang sama lagi. Dan itu pasti. Kita akan mengalami pelonjakan harga, ongkos dan
biaya. Saya punya kebenaran yang nyaris sebagai rintihan putus asa, jika memang
negara tidak bertanggung jawab atas subsidi yang konon hanya dinikmati oleh
sekelompok orang saja itu, sekalian sajalah dihabisi, dipangkas subsidinya agar
negara merasa tak selalu terus berjasa pada rakyatnya. Ini baru perkara minyak,
yang mentahnya masih terus digali di tanah sendiri.
Sekali pun benar, pada dasarnya kita
punya rasa penyesalan. Saya yang diusir karena kentut ketika Govinda
mempertahankan harga dirinya, menyesal, kenapa saya harus kentut di tengah
ruangan, meski saya tidak pernah tahu baunya akan membuat kosentrasi penonton
muda ini buyar. Saya bisa keluar sebentar, kentut, mengipas-ngipasi pantat dan
pusing sendiri oleh bau sendiri, dan kembali menonton dengan damai tanpa ada
yang terganggu. Agtau saya yang tidak langsung terpancing emosi ketika sang
teman menuduh saya kentut. Bisa jadi saya punya kebiasaan kentut sembarangan,
atau sekali dua saja tapi sang teman sudah menandai saya, yang kentut diam-diam
dan bau itu biasanya saya. Atau istilah keren soal cara menyembunyikan
kesalahan adalah dengan marah, itu juga memperkuat alasan sang teman dalam
tudingan dengan kebenaran yang tak saya terima itu.
Pada dasarnya, semua orang di
republik ini punya sisi yang mengharukan ini, dan meengerti benar soal tempat
dan waktu untuk sebuah peristiwa yang akan berakibat buruk untuk dirinya
sendiri dan orang banyak. Seringkali kita menyebut hal ini dengan bahasa yang
cukup gagah: Etika!
Sabtu, 22 Juni 2013
4 komentar:
analogi yang menarik koto!
yeah, saya juga selalu teringat kalimat teman Kos Lukman dulu, "Kebenaran itu tidak ada, yang ada hanya perspektif." dan aku baru tahu
soal kebiasaan kentutmu itu.
mantap Mamak.....
Begitulah, pemimpin republik ini ber-etika dengan sangat kebablasan.
Posting Komentar