Afris Irwan namanya, saya diperkenalkan oleh Dwi Cipta yang datang suatu malam ke kosku. Mereka datang bertiga, tak biasanya, seperti sekawanan maling. Ketiganya tampak begitu menyeramkan dan mata saya, sarat dengan pengetahuan mengetahui seluruh dunia dan seisinya. Dwi Cipta memperkenalkan dua rekannya, yang kemudian selalu mengiringinya ke mana-mana yang saat itu adalah calon presiden yang harus diurusi oleh sekelompok paskompres. Mereka berdua inilah.
“Ini Ipang,” demikian lelaki pertama
diperkenalkan kepada saya. “Menguasai syair Timur Tengah. Menterjemahkan banyak
naskah dan mengelolah sebuah situs yang mengurusi sastra arab,
www.duniaarab.com (sekarang lagi pause).” Ia memperkenalkan seorang lelaki gempal yang layak menjadi tukang
pukul itu. Seram, saya merinding, luar biasa kemampuannya. Dwi Cipta
benar-benar dikelilingi orang luar biasa. Lelaki besar dan mirip tentara gagal
itu mengangguk pada saya. Tak banyak bicara, dia menyodorkan Marlboro. Saya mengangguk, agak cemas dan waspada.
Belakangan, jauh setelahnya saya
tahu, lelaki ini bernama Irfan Zakki Ibrahim, nama imut dan penuh barokah. Sosok lembut dan sejuk, layaknya sajak Nizar Qabbani yang dia terjemahkan dan
kebetulan saya memperolah rahmat membacanya. Belakangan pula saya tahu, lelaki
ini ternyata tak segarang waktu saya mengenalnya pertama kali. Mata merahnya tak
menyurutkan selera humornya yang berlebihan. Dia pintar melucu dan paling jago
menceritakan legendaris Madura bernama Sayuri itu. Dia punya versi lengkap
melebihi siapa pun. Sepertinya klegenda itu miliknya, diciptakan olehnya, dan terjadi hanya untuknya. Dan saya rasa cukuplah memperkenalkan lelaki tangguh yang
semoga sebentar lagi benar-benar akan menikah ini.
“Yang ini namanya Afris,” Dwi Cipta kembali
bersuara. Lelaki yang dimaksud itu adalah seorang lelaki kurus tinggi layaknya
pecandu yang sudah tobat, berambut gondrong dan memakai aksesoris di tangan,
tali pada dompet, macam anak band yang sedang top saat itu. Ah, barangkali dia sodaranya Ariel Peter Pan. Siapa tahu, bukankah Dwi Cipta selalu memiliki orang-orang dekat yang menakjubkan? Saya berpikir
jangan-jangan dia intel atau semacam mata-mata yang disusupkan Negara dan
disebar ke kampus-kampus. Dia menyunggingkan senyum kecil dan menyodorkan Djarum
Super ke hadapan saya. Marlobro dan Djarum Super, rokok yang benar-benar tak
menggugah minat saya. Mereka pastilah anak-anak brengsek, suka menggoda
perempuan, dan jagoan di diskusi-diskusi kampus, dan rajin turun ke jalan. Dua
hal terakhir mendekati benar, dua praduga pertama sepertinya tak beralasan sama
sekali. Jauh-jauh hari kemudian ini saya ralat, mereka tak lebih dari sekelompok anak baik-baik, alim dan memiliki segudang pengetahuan yang siap
diwariskan kepada saya.
Demikianlah adanya. Sejak malam itu kami
resmi berteman. Mereka merupakan sekelompok, maksud saya, dua pemuda, tepatnya bertiga yang
diharap-harapkan Soekarno mampu mengangkat gunung, dan sangat rajin dan ramah.
Ipang menyegarkan saya dengan humor-humornya yang segar, memiliki banyak
rahasia kawan-kawan, yang kalau sedikit saja dia bocorkan membuat kami tertawa
sepanjang malam. Di kosku, kos Cipto dan Erwin, burjo…
Mereka berdua rajin berkunjung ke kosku,
demi tugas-tugas yang mereka emban. Mereka tahan begadang dan ternyata memang
tak pernah tidur malam. Demikian saja, kami akrab dan intim. Saya yang paling diuntungkan dari situasi itu. Afris bertugas mengurusi
saya, mengantar sesuatu atau menjemput saya untuk pesta bakwan di suatu tempat, atau ketika kawan-kawan berkumpul di malam-malam penuh keajaiban.
Seketika dia memberikan saya banyak. Tak hanya soal traktir makan dan rokok. Ia
menghadapkan saya para sastra terjemahan, baik klasik maupun modern. Layaknya Tia Setiadi, ketika bicara sastra dunia ia terlihat berapi-api. Penuh semangat dengan
segudang referensi dan buku-buku. Saya mendapat kesempatan main ke kosnya,
luar biasa, dia nyaris tak mengenal sastrawan Indonesia. Dan itu pun diakuinya.
Dia lalu membekali saya beberapa buku wajib yang harus saya baca. "Masak
sastrawan Indonesia tak mau berguru pada sastrawan luar, " dia mengejek selera
baca saya. Buku-buku tersebut masih mendekam di kamar saya, setengah enggan
saya sentuh. Buku manis Orham Pamuk, James Joyce, Lu Shin, Ernest Hemingway
adalah teks pembuka untuk saya dari Afris.
Di luar itu ia merusak selera bermusik saya
dengan mengenyahkan hobi saya mengoleksi dangdut koplo yang itu pun diwarisi
dan diajarkan dengan sepenuh hati oleh Arek Njomplang kepada saya bertahun-tahun
lamanya. Dangdut koplo dan sugesti dari seorang kawan, saya harus
menghargainya. Itu belum cukup, lelaki tengik itu juga menitipkan seorang SPG
yang terus mempromosikan dangdut koplo terbaru kepada saya: Kiting. Dua lelaki
yang telah membuat saya begitu tergila-gila dengan dangdut koplo. Ditambah pula
Thendra Malako Sutan yang mengajari saya dangdut nakal pantura, menyodorkan
nama-nama imut macam Mela Berbie atau Lina Geboy. Tapi si Arek dan Kiting tak
habis akal, dirayunya pula kawan saya yang lain An Ismanto untuk menyukai
lagu-lagu Monata, mengenalkan Sodiq dan Alfi Damayanti. Apa daya, saya
terlena dan memang Joss…
Ah, ah, kalau sudah ngomong dangdut koplo
saya jadi suka ke mana-mana. Dan si Afris Irwan membujuk saya untuk
mendengar Radiohead. Ah tidak juga, dia sengaja membawa flashdisk berisi album Radiohead yang dengan demikian dia memberikans aya kesempatan untuk mencuriny. Luar biasa, saya tak kenal pemuda Inggris unik ini dan
sumpah mati jadi menyukainya. tak hanya musik dan sastra. Dia mengacak-acak
pikiran saya tentang film yag layak ditonton dan tak layak. Film yang tak layak
tentu saja dia menyebut, Film Indonesia penuh adegan sampah dan murahan. Dia
tak mengatakan persis seperti itu, saya hanya meminjam suara dia untuk memaki
film kita ini. habis kesal sih. Lalu dia memberi saya daftar puluhan film yang dia hapal di luar
kepala yang dibagi menjadi beberapa kelompok: Kisah Nyata, Kisah wartawan,
Adaptasi dari Novel, Hanya Ada di Amerika, Film yang Bikin Pusing dan
sebagainya. Luar biasa. Dan dialah yang merekomendasikan film Once kepada saya yang
lebih dulu diperkenalkan lagu-lagunya sebelum kemudian dia membawakan film
tersebut special untuk saya. Dan sialnya, setiap pilihan dia selalu pas di hati.
Kami kemudian memasuki masa-masa sibuk dan
penuh inovasi. Kami anak-anak muda yang sepertinya layak diberi penghargaan
atas kerja-kerja tak jelas kami. Kami bukan pemuda bengal yang bisa
diincar petrus di tahun 80-an, diawasi polisi. Kami bukan sekumpulan anak-anak pejabat yang
nongkrong dengan mobil lengkap pula dengan perempuan. Kami bukan anak-anak para koruptor yang begadang sepanjang malam dengan menenteng minuman di tangan. Aku paling takjub dengan
teman-teman baru ini. Mereka orang-orang hebat, Aim yang dewasa, Afif yang serius tanpa
kehilangan selera humor, Sunlie yang imut dan bikin sebal tapi pandai menghibur, Fayyad yang tenang dan ramah, Nuruf "Hartodjo" Hanafi yang kalem, santun dengan lontaran-lontaran yang menakjubkan, Faisal yang selalu berbahagia. dan Dwi Cipta terus memperkenalkan nama-nama baru
kepada kami: Rif’an, Ibud, Subhan, Khrisna….
Afris juga menterjemahkan banyak karya
sastra. “Untuk dibaca saja,” aku pemuda yang meninggalkan jurusan Arkeologi
ini. Dia menikmati perjalanan,
menikmati petualangan dari satu tempat ke tempat lain, menghapal semua nama
kota di Jawa Tengah. Dia bercita-cita suatu hari akan melakukan sebuah perjalanan besar. Saya takjub mendnegarnya. “Kau pun harus belajar menterjemahkan, dengan cara inilah
kau bisa belajar bahasa Inggris,” katanya lagi. Tak sekedar kata-kata, dia
mewariskan saya belasan cerpen dalam bahasa asing sebagai tugas untuk saya.
Sampai hari ini tak sekali pun amanahnya saya lakukan. Maafkan saya.
Dia kembali dengan membawa cerpennya yang
eksploratif. “Saya mengembangkan teknik narasi tokoh. Kau liat pengulangan yang
diucapkan tokohnya, “maksud saya, maksud saya” dalam banyak bagian. Kamu tahu
siapa yang menjadi bayangan saya sebagai tokoh utama? Maksud saya kau tahu?”
Dia terkekeh, sialan, itu saya, maksud saya, dia meniru gaya bahasa saya yang bicara gagap dan terlalu cepat yang bahkan
pacar saya, maksud saya, mantan pacar saya sendiri pun tak mengerti saya sedang
bicara apa.
Begitulah cerpen menurut Afris. Realis.
Bukan melulu imajinatif. Dia tekun dan sabar sudah begitu telaten pula. tak lama kemudian dia
pulang. Sebuah kepulangan yang lama. Saat itu kami tak memiliki banyak
pekerjaan dan nyaris tak ada yang kami lakukan. Afif menikah, disusul Sunlie,
tak lama Tia juga tak mau kalah. Dwi Cipta pergi, membawa beban yang hanya dia
yang tahu, Erwin sendirian, Ipang sibuk di Kali Opak, Rifan kembali ke LKIS,
Aim sibuk dengan tugas-tugas di kampus, Bung Har suntuk dengan bacaan yang tak bisa ditinggalkan dan terjemahan-terjemahan berkilau yang dihasilakan (ah, suatu waktu aku ingin sekali mengenalkan bung Nurul "Hartodjo" Hanafi ini pada sodara-sodara sekalian). Dan saya terpuruk di kamar sempit,
tanpa ada SMS “Ke Burjo dekat kosmu, ada bakwan…” Sementara Afris tetap tak
kabar.
Lalu saya dilanda galau yang maha hebat,
soal masa depan, rencana jangka pendek, rencana jangka panjang. Saya diserang
panik dan penyakit susah tidur. Saya disibukan dengan urusan-urusan personal
yang membingungkan, di saat-saat itu Afris datang. Saya stress dan
mengabaikannya. Dia agak kaget dengan sikap saya seperti perawan sedang
menstruasi itu. Mengenang Afris hari ini saya menyesali hari-hari terakhir
bersamanya itu. Kenapa saya tak bertanya mengapa demikian lama di rumah,
mengapa HP-mu tak diaktifkan, ada kawan-kawan yang menanyakan.
Kondisi kami masih saja vakum. Belum ada lagi yang
kami kerjakan. Afris mengeluh sedikit. “Saya ke Yogya untuk melakukan
kerja-kerja kecil seperti dulu,” katanya. Apa daya, suatu hari dia mengambil
keputusan unik, dia berhenti kos dan akan “menggelandang” di Yogya. Dia
menitipkan barang-barangnya di tempat teman. Sialan, coba buku-bukunya dititip
di tempat saya ketika itu. Dan setelah itu ia memulai petualangan gila yang
sudah lama dia idam-idamkan.
Lalu dia pergi. Pulang lagi ke rumah.
Kedangannya yang tak sampai sebulan itu meninggalkan sesal yang menumpuk di
dada saya. Saya tahu, menyuruhnya tetap di Yogya bukanlah kapasitas saya. Lagi pula
saya tak bisa melakukan “kerja-kerja kecil” yang dia maksudkan ketika itu. Dia
orang yang cekatan dan selalu ingin melakukan hal-hal baru. Saya menyesal tak
bisa membantu mewujudkan keinginan kecilnya itu. Dan dia hilang. Kali ini tanpa
bekas. Jika dulu kami bisa mengontrol kosnya di dekat tugu itu, sekarang dia
tak punya alamat. HP-nya kembali tak aktif. Pasti dia beralasan, rusak.
Facebooknya tetap sepi dan kosong. Ah, jangan-jangan ia memang merencanakan ini dengan matang, pergi diam-diam dan membiarkan kami, kawan-kawannya kalang kabut mencari info tentangnya.
Sampai kini ia masih tak ada di
tengah-tengah kami. Kepergiannya disusul kesibukan kawan-kawan membuat saya
berpikir, saya pun harus hijrah. Saya percaya, kepergiannya, sebagaimana
kawan-kawan yang kemudian mengambil keputusan-keputusan besar, memiliki
kontrakan, mendapat pekerjaan dan melakukan inovasi-inovasi dalam hidup, adalah
hal yang juga kini dilakoni Afris. Saya merindukan Afris ketika dia benar-benar
nyaris tak bisa ditemukan. Dia pulang, dan tak ada yang tahu di mana dia
tinggal. Dia perenung dan suntuk dengan bacaan, musik dan film. Dia orang
romantik yang merindukan masa lalunya dengan seorang gadis di kampus yang terus
dikenangnya, dan dikekalkan sebuah foto lusuh dan buram. dia penuh rencana dan
melakukan banyak terobosan dalam hidupnya.
Kadang saya berpikir, jangan-jangan Afris
itu tak ada. Ia muncul di tengah-tengah kami memberikan sebuah warna dan
petunjuk kepadaku: mengubah beberapa hal, menujukkan kelemahan-kelemahanku,
lalu pergi lagi ke tempat dan waktu yang lain untuk melakukan hal yang sama. Bagaimana pun dia pasti ada di sebuah kota di Jawa
tengah sana, sebuah kota kecil dicapai setelah melewati temanggung. Aku percaya suatu
waktu dia pasti datang. Dia pasti akan kesepian.
Dia pernah merasa kehilangan
kampungnya sendiri, masa kecil dan semua kawan bermain. “Bahkan saya nyaris tak
mengenal tetangga lagi. Orang-orang datang dan pergi di kompleks saya, layaknya
stasiun,” katanya. Saya membayangkan tempat tinggalnya dipenuhi orang-orang
sibuk, dan digantikan orang sibuk lainnya yang bahkan tak mengenal tetangga
sendiri. Aku masih berharap suatu waktu dia datang, mengangkat telepon dan pasti suaranya benar-benar ada di seberang. saya membayangkan ia bisa membaca tulisan ini
dan marah, ah saya baru sadar, ternyata saya belum pernah melihat dia marah,
dan mendatangi saya dengan rambutnya yang keriting dan panjang, jenggot yang
dianggap serupa kawanan teroris, celana biru yang sobek dilutut, kaos hitam
layaknya musisi underground, aksesoris kaum skinhead yang membuatnya selalu
aman dalam perjalanan kereta api.
Saya rasa, suatu waktu, kami, maksud saya
kami semua akan merindukan masa-masa ini: berkumpul di MCR bersama Krishna,
duduk di burjo makan bakwan, bertandang ke kos Aim, panik mencari pakaian yang
pantas untuk datang ke sebuah pernikahan. Tentu saya mengingat ketika Afif
menikah, Afris, Ipang di Cipto mesti sibuk sejak pagi mencarikan kemeja
batik dan sepatu untuk saya. Saya merindukan kawan-kawan yang berkumpul di
kontrakan Cipto dan Erwin. Dan saya merindukan Afris, seseorang yang tak lagi
ada bersama-sama kami. Seseorang yang tak bisa lagi diajak bicara ketika ingin,
seseorang yang tak membalas inbox dan pesan di facebook. Aku mengenang seorang
rekan Aliansi Pemakan Ubi, kelompok yang menjauhkan diri dari riuh-rendahnya
kehidupan, melakukan perlawanan dengan membakar dan pesta ubi bakar, sebagaimana
saya alami di masa remaja dulu Dia menyukai cerita itu, dia menyukai perlawanan sederhana itu Dan kini ia melakukannya pada kami….
Yogyakarta,
Januari 2012
7 komentar:
Agan bisa aja...
menghadirkan cerita keseharian enak dibaca. semoga Afris tidak hilang, cuma sembunyi aja...
:)
orang-orang datang dan pergi...
semoga afris menemukan sesuatu yg membuatnya tak menyesal mjd salah satu penghuni bumi.
alvi damayanti bro, bukan alfi puspita. terus ane maniak monata, bukan palapa. (sori, racun arek njomplang memang manjur. xixixixixix)
hehehe
Jusuf AN: Ah agan terlalu memuji. Semoga ia segera kembali.
Artika Maya: Aku selalu tak bisa jika ditinggalkan. Duh...
Simbah:Sudah tak ganti Bro, Aneh juga memang, kok saya nulisnya Alfi Puspita ya? Duh..
Wahyu: Huhuhuhu
Menarik...
mengalir saja...
Salam buat Afrismu..
semoga kita adalah kesepuluh pemuda yang dicari Bung Karno...
Subiaja Tak pernah repot: Kita....????? Semoga deh, amiinnnn
Posting Komentar