Jika pergi ke suatu tempat, saya selalu
berpikir akan kembali ke sana dan memiliki dan memiliki sebuah rumah. Di sebuah kota
asing, di tempat yang baru, ada pintu yang bisa dimasuki, sungguh betapa
nyamannya. Saya orang yang setia,
sungguh. Jika pun saya mengatakan ada rumah untuk pulang. emiliki banyak rumah seperti memiliki
banyak tempat untuk sembunyi. Saya tidak muluk-muluk, saya tahu harga tanah
yang selangit. Rumah yang saya maksudkan, tentu rumah yang saya kontrak dan
bisa diperbarui setiap tahun.
Impian punya tempat tinggal banyak ini
sudah sejak lama ada di kepala saya. Sejak kecil malah. Awalnya mungkin sekedar
kamar dengan segala perlengkapan yang membuat saya tak ingin ke mana-mana.
Sebuah kamar di mana saya bisa melakukan hal apa pun tanpa takut diketahui
orang lain. Lama-kelamaan saya ingin punya rumah di
atas bukit. Bukit yang sendirian di antara tumpukan pegunungan yang memanjang
di belakang kampung saya. Gunung yang saya datangi sekali saja, yang ternyata
memang demikian indah. Rumah di puncak bukit, duhai…
“Bagaimana kalau mandi atau kebutuhan habis
malam-malam? Jauh loh kalau mau turun ke bawah,” kata seorang kawan yang saya
sudah lupa namanya. Saat itu, jarak dan kebutuhan tidak penting bagi saya. Saat
ini saya memang memikirkan kata-kata itu. Kesimpulan kecil yang bisa saya
petik: realitas itu tak bisa melulu dibangun dari mimpi, meski pun mimpi bisa
menghidupkannya.
Di Yogya, saya ingin punya rumah lain
selain kos-kosan saya yang sekarang dan sebentar lagi habis masa kontraknya
itu. Meski pun punya rumah lain, tempat yang sekarang saya tempati ini tetap
akan saya tempati, begitulah keinginan. Saya ingin punya rumah di tengah sawah, di pinggir rel kereta
api, di perkampungan sepanjang Malioboro, di perbukitan sekitar Wonosari, di
dekat stasiun, di perkampungan pinggir sungai, di… banyak sekali.
Jika saya bosan di kos, saya akan pergi ke
rumah yang lain, di mana tak seorang pun bisa menemukan saya. Meski saya
pikir-pikir tak akan ada orang yang akan mencari-cari saya. Namanya juga
impian, jadi tolong jangan protes!
Saya juga ingin punya rumah di luar kota.
Ketika bosan di Yogya saya bisa mengisi ransel dengan kebutuhan, naik kereta
api lalu menghilang ke kota lain. Jauh.. jauh.. Saya bisa kembali sesuka saya
atau pergi ke tempat lain lagi yang hanya saya yang tahu di mana tempat itu.
Tempat baru, orang-orang baru, kebiasaan
baru, aduh, bagaimana saya bisa menyesuaikan diri dengan itu? Tapi dalam
angan-angan saya, semuanya berjalan dengan sangat sempurna. berkeliling ke
sebuah tempat dan memiliki rumah, di mana kembali tidak sekedar niat belaka.
Sebab seringkali ketika bertemu tempat baru yang terlihat bagus, saya berpikir:
“Wah, besok harus ke sini lagi nih.”
Kontrakan itu hanya hidup dalam kepala
saya, baru ada dalam pikiran saja. Sebuah tempat saya pulang, bersembunyi dan mengajak
teman-teman saya berkumpul, main kartu atau menonton pilem India sampai pagi. Tapi
benarkah saya akan bisa di sebuah tempat asing, dengan orang-orangnya yang baru
jika saya masih saja takut melakukan apa pun sendirian? Bisakah saya bertempat
tinggal di sebuah kota yang padat jika saya masih saja orang yang takut
menyeberang jalan?
Saya tak punya jawabannya. Tapi saya bangga
dengan keinginan memiliki banyak tempat pulang, tempat aku melepas sakit,
menghilang sebentar dari dunia, membuka semua yang pribadi. Namun demikianlah, ini nyaris sebuah igauan saja. Bulan-bulan ini, kos-kosan saya sudah habis. Saya ingin meneruskan, tapi hingga kini saya susah menjelaskan persoalan sederhana ini: duit. Di sisi lain saya ingin mengontrak sebuah rumah, kecil saja, tempat aku bisa menempatkan buku pribadi dan buku jualan. Sebuah rumah kecil dengan halaman yang cukup luas, misalnya, dengan dua kamar, atau tiga. Ruang tengah yang ingin saya sulap menjadi ruang kerja. Ruang kerja, huh, usaha untuk menipu diri sendiri untuk tak mau mengaku sebagai penganggur.
Rumah kontrakan, sudah lama saya menginginkan. Sepanjang malams aya berharap ini bukan lagi sekedar mimpi. Saya ingin mengontrak dengan satu-dua orang teman, melakukan kerja-kerja kecil, memiliki tetangga, menyapu halaman, merawat bunga, memelihara kucing, menerima tawaran kerja yang bisa dilakukan di rumah...
Rumah kontrakan, sudah lama saya menginginkan. Sepanjang malams aya berharap ini bukan lagi sekedar mimpi. Saya ingin mengontrak dengan satu-dua orang teman, melakukan kerja-kerja kecil, memiliki tetangga, menyapu halaman, merawat bunga, memelihara kucing, menerima tawaran kerja yang bisa dilakukan di rumah...
Saya mulai kembali diburu dongeng di buku bahasa indonesia tentang Dongeng Ikan Gabus yang ditolong seorang nenek tua. Ikan gabis yang berada di kolam kering. dan rajin berdoa. Saya membayangkan akhir dari dongeng itu, di mana Nenek Tua tersebut kejatuhan, dijatuhkan lebih tepatnya sebuah karung oleh tetangga dengan tumpukan kertas karena si Nenek tua terlalu banyak berdoa dan menganggunya. Apa terjadi? Tumpukan kertas dalam karung itu menjelma tumpukan duit.
Nenek Tua itu saja membutuhkan kekayaan di akhir hidupnya, sementara saya, sebuah rumah kontrakan saja, tidak mubngkinkah? Sayangnya, saya bukan hamba Tuhan yang baik. tapi baiklah, mulai malam ini saya mungkin akan berdoa, lebih panjang, lebih serius, lebih keras. Jika tidak dijatuhi duit sekarung, siapa tahu saya diberikan jalan.
Sementara kos saya mendekati masa akhir. Jika nanti sempat tak punya tempat tinggal bolehkah saya
mengetuk pintumu kelak, saat kemalaman dan berteduh dari hujan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar