Beberapa minggu
yang lalu saya melihat dinding seseorang yang menjadi teman di facebook. Kami
sepertinya tak saling kenal. Saya memperhatikan dindingnya yang masih bersisa
ungkapan kerinduan. Aku baru sadar pemilik ‘rumah’ itu telah meninggal. Usianya
masih muda. Aku mencari-cari ke bawah,
beberapa sapaan akrab, penuh rindu masih ada bersisa di situ. Beberapa sapaan
seorang gadis makin ke bawah kulihat semakin banyak. Tepat, November 2009 dia
meninggal dan kau tahu gadis itu pacar almarhum. Status terakhir almarhum
menyebut soal waktu pernikahan mereka dengan menyebut tanggal setahun ke depan
dan mengatakan “Mulai sekarang, waktu berjalan mundur.”
Itu dia tulis
malam hari, siangnya ia kecelakaan dan koma selama lima hari. Tulisan itu
sekaligus sebagai ‘pertanda’ kepergiannya. Saya lihat facebook sang pacar yang
tak berteman dengan saya: ia memakai pakaian pengantin, beberapa bulan lalu
baru menikah.
Saya pernah
mendengar seorang adik kelas meninggal ketika melahirkan. Aku melihat
facebooknya dan suaminya. Dunia berjalan maju demikian cepat, meninggalkan luka
hari ini yang secepat kilat dapat disembuhkan. Tapi waktu di dinding facebook
terasa diam dan beku. Ia menjadi lebih abadi dan awet. Rasanya, tiap kali
melihat dinding mereka yang sudah pergi, waktu berhenti. Semua seperti baru
saja terjadi.
Saya sering agak
menyesal ketika teringat beberapa nama-nama yang saya tahu di dunia sastra
tiba-tiba tiada. Kenapa saya tak menggunakan waktu saat kami sama-sama ada ini
dengan menyapa? Kenapa setelah ia pergi rasanya ia menjadi dekat sekali? Nama-nama
yang menjadi teman di facebook kadang kita biarkan terlantar tanpa tegur sapa.
Kita menyimpannya dan membiarkan demikian saja.
Wan Anwar,
tiba-tiba saya berpikir ah, mengapa saya tak mengenalnya lebih jauh dulu di
facebook? Saya belum sempat berteman
dengan beliau, tiba-tiba ia sudah tak ada. Lalu Kang
Asep Sambodja
sebelum tawaran pertemanan saya dikonfirmasi, saya dengar beliau meninggal.
Sakit apa? Astaga, mengapa saya tak pernah tau catatan dan kabar kawan-kawan
saya di facebook. Rasanya facebook seperti apartemen, yang kita berkumpul dalam
satu rumah tapi memiliki tetangga sendiri-sendiri. Lebih mengagetkan lagi
ketika saya tahu beberapa hari setelah beliau meninggal, kami telah berteman.
Astaga!
Beberapa waktu
yang lalu Ibu Ratna Indraswari Ibrahim. Justru di hari beliau
meninggal saya baru menyadari kalau
kami blum berteman. Saya hanya bisa mengamati dinding
facebooknya dengan lebih serius. Apa makna pertemanan di facebook itu sebenarnya?
Agak perih dan
cukup menyentak saya adalah ketika saya menemukan info penjualan buku Mbak
Nurul F. Huda, penulis dasyat dari FLP itu. Saya baru tahu kalau beliau sakit
dan sedang dirawat di rumah sakit di daerah Yogyakarta. Saya minta berteman,
berharap kondisi beliau baik-baik saja, dan suatu waktu pertemanan saya akan
dikonfirmasi. Di waktu yang hampir bersamaan, tiba-tiba saya membaca di dinding
FB beliau, bahwa beliau baru saja menghembuskan nafas terakhir. Inalillahi wa
inailai rajiun. Permintaan pertemanan
sya masi menggantung hingga kini.
Kami tak sempat
berteman di facebook, bahkan berhari-hari kemudian hingga kini pun. Mungkin saja, password FB
beliau hanya diketahui sendiri. Saya hingga kini tak tahu, perlukah password
e-mail, FB dan semacamnya kita wariskan? Di satu waktu saya senang sekaligus
kaget melihat dinding ia yang meninggal masih saja aktif menulis status. Kadang
saya demikian nayaman dan gamang meihat dinding seseorang yang telah pergi
ikut-ikutan sepi.
Dan hari ini, 25
Desember 2011 ketika saya masih online, saya membaca status seorang kawan yang
mengabarkan seorang Lan Fang meninggal. Ha, Lan fang meninggal, pikir saya.
Saya memastikan ke dindingnya, benar, sudah ada banyak komentar dan ucapan
belasungkawa. Seperti biasa, saya mencari status terakhirnya yang semoga saja
bisa menjadi penanda. Saya tak menemukan dan merasa pusing. Betapa asingnya
saya dengan beranda ini. Kami berkawan, tapi nyaris tak pernah menjenguk barang
sebentar.
Saya masih
merasa tak percaya dengan kepergian macam ini. Meski internet mengabarkan lebih
cepat dari sms yang kemudian masuk. Sebentar, saya merasa akrab dengan seorang
Lan Fang, merasa tak percaya bahwa ia telah tiada. Rasanya begitu tak mungkin,
meski perkara maut tak ada yang bisa menafsirkan.
Setelah itu
facebook akan kembali ke bentuk semula, saling tertawa, menawarkan kesedihan,
kemarahan, kegembiraan dan status-status gila lainnya. Bagaimana jika tiba
waktunya saya? Adakah seseorang yang akan berkunjung dan menengok semacam
kuburan maya ini?
Di hari
keberangkatan seseorang, yang namanya mungkin kita kenal, rasanya kita menjadi
demikian karib dengannya, dan memiliki secuil dua cuil kenangan kecil, baik
langsung atau tidak. Makin hari, barangkali ia makin sepi, makin lenyap dan
ikut tiada. Barangkali juga tidak!
Setelah kematian
seseorang, masihkah dinding FB itu sempat ditengok olehnya?
Yogyakarta,
25 Desember 2011
4 komentar:
dengan ibu ratna indra swari kami pernah beberapa kali saling balas membalas inbox via fb. meskipun saya merasa yakin akun tsb dipegang oleh putri beliau, atau rekan beliau.
paling tidak, kesan yg saya tangkap beliau ramah.
kemungkinan fb dianggap semacam koran pribadi pemilik akun. banyak org yg hanya sekadar ingin tahu bgm kehidupan org yg bersangkutan, ada yg sekadar ingin list temannya bertambah, ada yg memang benar2 ingin berteman dan menyapa, dsb.
btw, kalau nanti tiba saat saya, saya sih lebih ingin akun fb itu spt semacam kuburan maya. tak perlu lagi ada status2 baru stlh kepergian saya.
btw lagi, nice writing :)
Ya, saya turut bersedih untuk berita-berita kematian. Apa boleh buat, jika ada waktu, saya usahakan untuk melipur rumah duka dan mendoakan mereka yang pergi dan yang ditinggalakan.
Oh, ya. Saya punya cerita mengesankan sekaligus mengharukan dengan dia.l Puasa dya tahun yang lalu saya datang ke rumahnya pada jam 1 siang. Dia menyiapkan makan siang untuk saya. Memang, saat itu bulan puasa, namun karena dia tahu saya sedang musafir (sedang dalam perjalanan dan itu artinya boleh tidak berpuasa dan menggantinya di hari yang lain) dia meniakan makanan untuk saya.
Tiba di sana, ternyata, ada dua teman saya yang ikut. Kedua-duanya anak surabaya dan mereka berdua sedang berpuasa. Demi menghargai, kami tetap berpuasa dan Ce Lan Fang juga rela tidak ngemil apa pun sampai azan maghrib tiba. Kami baru makan setelah azan maghrib (kira-kira pukul 17.45 ketika itu) berkumandang.
:-((
sesekali justru saya yang kerap berkunjung kepada account yang sudah ditinggal meninggal oleh pemiliknya. ya, soal apakah yang bersangkutan menengok, wallahi, semoga semuanya damai di sisiNya
Mbak Artika Maya, Lora Faizi dan Bung Usup, terima kasih masukan dan komentarnya. Semoga kita terus hidup ya? amin....
Posting Komentar