Sering kita mendengar—dari siapa dan dari
mana itu tak penting—komentar tentang sebuah pasangan. “Si Anu dan si Itu kok
aneh ya. Mereka suka begini lo…” Tak jarang pula komentar takjub bisa saja
meluncur. “Ih, hebat ya si Nunu dan Nini. Mereka tuh kreatif banget..” Atau:
“Saya dengar si Itu dan si Ini lagi bikin anu lo…” Di belakangnya selalu ada
decak kagum dan kalimat-kalimat pujian seperti: hebat, dasyat, monumental,
keren, ajaib, luar biasa, keren, mantap, inspiratif, maknyus, super.
Tadinya saya tak terlalu kepikir soal itu.
Setiap orang, eh setiap pasangan punya ragamnya masing-masing. Ada cocok dan
tidak cocok. Ada sesuai dan tak sesuai. Namanya juga pasangan, terdiri dari dua
orang, berbeda jenis kelamin pula. Belum lagi soal kebiasaan, hobi dan segala
macam soal lainnya. Jadi semua pasangan menurut saya selalu hebat.
Setiap orang akan selalu memiliki pasangan.
Nah, itu merupakan keyakinan siapa pun dan tak perlu diuji keabsahannya. Pasti.
Berarti memang ada. Jadi soal seperti apa dan bagaimana pasangan kita, ya
terima aja. Namanya juga paket.
Sebagai orang yang sedang mencari-cari
pasangan, saya seringkali dibuat terkagum-kagum dengan pasangan-pasangan yang
baik saya kenal dan yang mengenal saya. Bisa jadi komentar-komentar decak kagum
di awal paragraf ini adalah kalimat yang terlontar dari mulut saya.
Selain mengagumi, saya adalah orang yang
lebih suka pesimis pada sesuatu. Selama ini, jika ada yang bilang, “mereka itu
lo…” aku akan bilang: “ya, tapi kan anu…”, “Aah.. itu kan anu…” Sekarang,
setelah saya pikir-pikir ulang, betapa banyak yang secara tidak sadar saya
mengagumi pasangan-pasangan dan berusaha menyerupai orang-orang di sekitar
saya. Mereka hebat-hebat, sudah lama saya tahu itu. Sebagian besar kawan-kawan
saya ini sudah menikah dan berkeluarga.
Apakah menikah itu sungguh-sungguh sebuah
penjara, sebagaimana pikiran itu hidup di kepala saya. Rasanya tidak juga. Tak
masuk akal menang, jika pikiran itu bisa menempel di pikiran saya. Kawan-kawan
saya yang sudah berkeluarga misalnya, saya lihat sangat pas dan klop. Sebut
saja Dahlia dan Sunlie (tentu nama sebenarnya), mereka pasangan yang selalu
riang dan seperti pengantin baru. Mereka masih suka berdua-dua, maklum saja
mereka memang cuma berdua. Maksud saya belum punya momongan. Bahagia.
Fantastis, pikir saya.
Ada juga pasangan Mahwi dan Erna (lagi-lagi
nama sebenarnya), meski sudah punya anak, saya melihat mereka masih seperti
pacaran. Ira dan Ipur, mereka juga tetap punya aktivitas. Muchlish dan Zizi,
Jusuf dan Mifta. Belum lagi yetti Aka dan Bang Sondri, Faiz dan Agnes. Aduhh... Lalu apa sebenarnya yang menjadi soal bagi saya soal
pernikahan? Jika saya runut lagi ada sederet nama yang memiliki keluarga namun
ia tampak demikian merindukan rumah.
Saya percaya pasangan-pasangan bahagia itu
bukan tak memiliki masalah. Kepercayaan saya, mereka selalu punya cara
menyelesaikannya. Dan memang selesai, meskipun masalah baru akan selalu ada.
Masalah itu kan seperti rumput, dipotong ya dia bakal tumbuh lagi.
Tadi saya membaca Kompas yang membahas
pilem Mata tertutup karya Garin nugroho. Saya baca nama Eka dan Iman, eh Roman di sana. “Hebat ya
mereka, bisa main pilem bareng-bareng…” Saya tahu mereka adalah sepasang anak
muda yang sedang pacaran dan membagi kebahagiaan di mana-mana. Dulu saya
mungkin pernah begitu juga. Namun mereka jauh lebih serius ketimbang saya.
Bagi saya melihat kekompakan pasangan lebih
ideal adalah ketika mereka sudah menikah. Teman-teman yang tadi sudah saya
sebutkan misalnya. Anda sendiri mungkin akan punya daftar panjang tentang
pasangan ideal di sekitar anda. Tapi bukan tak mungkin juga mereka yang masih
pacaran memberikan inspirasi bagi saya.
Pacaran. Uh, makin mencemaskan saja bagi
saya. Saya memiliki mimpi yang macam-macam dengan pasangan saya. Pasangan saya
pun pasti punya mimpi yang macam-macam pula. Hubungan macam itu, meskipun bisa
saja hilang tanpa bekas, tapi kenangannya kan selalu saja hidup. saya selalu
senang melihat teman-teman saya dengan pasangan mereka, meskipun beberapa sudah
berganti. Tak apa. Namanya juga masa percobaan. Saya suka Eka dan Simbah,
Kiting dan Dhini, Romi dan Adek, Esha dan Dhini, Stanis dan Ira. Dulu, duluuuu….
Sekali ada Fahmi dan Indah.
Dan tentu juga saya. Eh, maksudnya, kami.
Saya benar-benar bingung sedang membicarakan apa. Bah! Jadi Nobita bagi Sizuka kurasa pilihan paling bijak ketimbang jadi Romeonya Juliet.
November 2011
8 komentar:
Segera masuklah ke dalam, dan kamu akan menemukan sesuatu itu, sesuatu yang tidak ada di luar. Mari, Koto. kamu pilih ya.. saya sebutkan nama-nama
:-)
Itulah. ketika saya siap menuju, yang dituju itu yang tak ada. mungkin ki Faizi punya bayangan, santri misalnya? *ngarep*
kata kuncinya ya mencari, mencari sampai dapat. hehehe..
selamat berjuang ya ^^
tar klo nikah, undang2 saia.
Hai Sheilla: hehehehe... keren, pengen bikin novel keren buat Sheilla ah>>
Artika: Heran deh, padahal tulisan ini mau memuji2, kok jatuhnya malah curhat ya?
muji2 nya jg dapet kok, curhatnya apalagi, hehe..
eniwei, silakan kirim novelnya ke kami (sheila) ^^
Saya kulinya M. Faizi dan sudah mendapatkan pasangan. Terima kasih. Salam untuk mas Indrian Koto. Calon masih belum ada jika buru-buru karena antrian masih agak panjang, banyak peminat rupanya :-)
Artika Maya: Horee... sebenarnya pengen curhat lebih banyak. hihihihi...
Wah, ane mau bikin novel yang bikin orang ngakak sampai pingsan dan nangis sampai guling2...
Titos: wah, besok kalau ane sampai madura diajak jalan2 ya??? hehe
Posting Komentar