Malam minggu ini saya nyasar di acara Jogja
Java Carnaval yang diadakan di Alun-alun Utara Yogyakarta. Ternyata sejak sore
seluruh kawasan sudah dipenuhi pengunjung, seluruh jalan menuju Malioboro
ditutup. “Menyemut manusia di sini,” kata bapakku dengan bahasa dan dialek
Lansano yang mantap.
Ketika kami akan pulang, ternyata ada dua
orang kawan tuna netra yang berada di trotoar jalan yang lengang, agak jaga
dari orang-orang. Saya memperhatikan. Bapak saya juga. Luar biasa rasanya,
mereka pun ingin terlibat di keramaian, menikmati hiburan layaknya yang lain.
Sebuah kenyataan yang membuat saya berpikir banyak. Mereka menonton dengan
telinga dan terlihat sangat telaten. Padahal pertunjukan sejati tak mampu mereka
pandang, bahkan para pengunjung lain pun tak sepenuhnya bisa menikmati dan
menyaksikannya berbagai atraksi dan barang-barang yang diminiaturkan itu. Tapi
barangkali mereka, dua kawan di trotoar itu, bisa merasakan pertunjukan tersebut
dengan lebih hidup dan nyaman tanpa perlu berdesak-desakan dengan yang lain dan
lebih sering hanya bisa menelan debu. Kurasa, mereka mendapatkan lebih dari apa
yang kusaksikan sekarang.
Kami berjalan melewati parkiran motor.
Lumayan jauh. Macet dan tadi saya menyerah sehingga memarkir kendaraan agak
jauh dari alun-alun. Aku baru sadar, ternyata karcis atawa sewa parkir tidaklah
tetap. Seperti tiket pesawat saja, atau tiket kereta api kalau mau hari-hari
libur. Malam itu, saya, dan tentu semua orang yang memarkir kendaraan untuk
pertunjukan hebat dengan dana hebat juga, merogoh kocek 3000 rupiah per motor.
Dari parkir saja rasanya bisa menghidupi diri sendiri setahun atau lebih.
Ternyata persoalan parkir bukanlah
persoalan sepele. Pantas saja ada sengketa lahan parkir segala. Kalau
dihitung-hitung, kawasan padat pengunjung dengan tarif parkir 2000, akan
menghasilkan uang puluhan juta dalam sehari. Kawasan macam Ambarukmo Plaza
misalnya. Setiap hari ada ribuan kendaraan yang keluar masuk. Hitung sendiri
deh penghasilan mereka. Alun-alun Selatan, Malioboro, Shopping Center, dan
lainnya merupakan kawasan-kawasan sibuk parkir, berapa uang yang berputar
setiap hari? Bagaimana pembagiannya? Entahlah, saya tak tahu. Yang jelas, tarif
parkir semakin beragam dan lebih sering kita membayar 2000 ketimbang seribu
rupiah. Ya, di karcis harganya tertulis 2000. Kalau kurang, aduh, mampuslah awak.
Belum, lagi kadang-kadang ada “main-main” di tempat netral macam Taman Budaya
jika ada pertunjukan atau pentas yang ramai. Parkir motor harus di luar,
alasannya tentu saja bisa kita logikakan: padat dan macet. Tentu 2000 harus
disiapkan di kantong. Kalau di tempat-tempat umum macam Malioboro lagi ada
acara seperti Sabtu, 22/10 itu, tak jarang karcis melompat menjadi 3000. Eh, kita bicara parkir
motor lo, ingat itu. Saya ndak punya mobil dan ndak bisa bawa
mobil, ndak pernah pula ditumpangi mobil. Hehehe… Rekor parkir terheboh
yang pernah kudapati adalah ketika parkir di depan Kebun Binatang Gembira Loka
di hari minggu yang cantik, aku disodori karcis kertas yang ditulis spidol
dengan angka yang gagah: 5000. Lima ribu sodara-sodara.
Sepanjang jalan aku harus banyak menginjak
rem motor pinjaman yang bannya sudah botak itu. Astaga, ternyata Yogya sudah
sangat macet dan padat. Tempat-tempat tak terduga sekali pun bisa menjadi ramai
sekali. di Sapen misalnya, di jalan tempat SD Muhammadiyah berdiri malu-malu,
sepanjang pagi dan siang silahkan mengutuk habis-habisan. Apalagi jika malam
minggu Anda buru-buru pulang mau buang air besar dan tersesat di Alun-alun
Selatan. Mampus, alamat buang air di celana. Macet-cet. Fasilitas umum yang tak
bertambah ukuran itu telah ditumpangi pula dengan becak dan sepeda hias
keliling-keliling. Berapa penghasilan mereka semalam? Bukan urusan saya.
Apalagi kalau kita bicara Malioboro, di sepanjang Ambarukmo, di Depan Maga, di
mana-mana sebenarnya. Amppuun… apakah pemerintah kota sadar akan padatnya jalan
raya? Entah. Yang pasti di FTV-FTV yang mengambil lokasi di Yogya, selain
menampakkan Yogya yang adem, lancar terkendali, pengambilan gambar secara acak
sehingga kita yang di Yogya jika sesekali menonton Pepok atau Ofi di FTV, akan
geram sendiri melihat tempat dan lokasi ditempel-tempel tak keruan.
Belum lagi di FTV ada bawa motor tanpa helm, jangan coba, 50 ribu coy
urusannya. Belum lagi FTV suka memperlihatkan cewek cantik pakai baju batik
rumah Joglo besar dan asri tapi ceritanya dia perempuan sederhana, yang ke mana-mana
naik sepeda. “Ah, sama-sama tahu sajalah kita,” kata bapakku.
Sepeda? Astaga. Sudah sejak kapan Yogya
tanpa sepeda? Ya tuhan, tak akan ada lagi rombongan sepeda dengan barisan
panjang di sepanjang jalan Parangtritis di pagi dan sore hari. Taka akan ada
yang mengembalikan amsa-masa mengharukan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga bersepeda
ria sepanjang waktu. Hmm.. bukankah itu sepeda, yang didayung anak-anak muda?
Ah, itu mah Fixie. Fiksi. Benar-benar fiksi. Itu, itu sepeda onthel dengan
pengendaranya berpakaian lengkap? Ah, itukan lebih kepada komunitasnya, geng
dan semacam itulah. Ah, cerewet.
Malam ini ingin pula awak mengajak bapak
makan di angkringan. Makan bakwan, nasi kucing dan segelas teh hangat. Astaga…
tak banyak angkringan yang bisa kami temukan. Ternyata, angkringan makin surut.
Wong anak-anak kuliah yang dulu suka ngumpul sudah pada pindah ke
warung kopi di sepanjang Selokan Mataram, dan Gajah Wong. Tak hanya di situ.
Warung kopi tumbuh seperti counter pulsa, lengkap pula dengan kelasnya. Jadi?
Pilihan terakhir tentu saja burjo yang baru-baru ini ganti cat. Hmm…
Sudahlah, sebaiknya kami pulang, duduk di
teras dan memandang langit dan bintang. Astaga, aku baru sadar, sudah lama
sekali kami nyaris tak bisa melihat langit biru. Tak ada bintang yang bisa dipandang.
Selain karena kalah oleh lampu-lampu, langit kami tak lagi biru. Kabut dan awan
di mana-mana. tak ada langit, tak ada bintang. Bulan pun lebih sering
menampakkan siluet di balik awan. Dari kos ini dulu, aku ingat, jika menghadap
ke utara, Merapi berdiri dengan wajah lembutnya. Tapi kini, Merapi tenggelam di
dalam kabut.
Ah, susah. Aku ingin tidur saja dan minum
air putih. Astaga, aku baru sadar, ternyata Aqua harganya sudah 15 ribu per
galon. Bapakku berbaring, barangkali malam terakhir beliau berbaring di kamar
ini, karena mungkin nanti aku punya kontrakan baru. Ternyata aku baru sadar,
betapa cepatnya waktu. Bapakku selasa ini akan kembali ke kampung. Ah, rasanya
baru kemarin. Ketika tulisan ini
diposting aku sudah merasa rindu. Aku sedih bapakku akan segera pulang. Ternyata pertemuan pun tak selalu mampu menyembuhkan
rindu.
Yogyakarta,
22 Oktober 2011
6 komentar:
lama ga buka blog aku,, ga taunya gambarnya ilang semua,, hahahahah
Iya ya di FTV banyak diceritain cewe berbatik dan sangat bersahaja. Polos.
Ah,, tiba2 aku muak inget cowo yang mengagung2kan cewe dari kampung yang dinilai lbh pure,, tau sendiri lah kau,, hahahahah
ngoceh ga nyambung sama tulisannya
daku juga kesana mlm minggu itu. utk event sebesar itu sih, wajar donk warga padat merayap di seputaran malioboro-alun2 :p
iyah seperti itulah sebuah cerita fiktif eh piktif yah itu lah namanya.."cerita ini hanya fiktif belaka", kan slalu ada kata seperti itu diakhir ftv atau film apapun itu jd tanggapi aja dgn cerdas toh udah dewasakan *bs berfikir mn yg bnr mn yg bohongan* hahahaa...pemain kan hanya menjalankan, "klo uang yg berkata asal perut awak bisa terisi" itulah yg biasa dibilang sm kuli pelabuhan, apapun dia lakukan asal bisa memcukupi kebutuhannya, disini saya tdk blg menghalalkan segala cara loh yah..setiap org kan sudah ada yg ngatur jalannya masing masing, asalkan tidak mengganggu jalan org lain,dan hati hati polisi tdr dijalan,bisa kesandung loh klo meleng,hahahaa...
salam olahraga!!!
ini ofemix nuhansyah tp komen pake akun Chisna a purnama,hahahaaa....
maklum ftv blm bs membelikan saya leptop dan modem, jd numpang deh,yah cm cukup buat isi perut ajah,, hahahaaa...
Greenleaf: kok gambarnya bisa ilang?
Artika Maya: Wah, jangan2 kita kemarin itu bertemu ya? Haha..
Chirsna A. Purnama atawa Ofeemix ganteng: Hehehe.. Aku senang liat dirimu men. Bukan, bukan pemain lo yang saya maksud, tapi konsep cerita pilem2 kita. kamu selalu keren, selalu asoy, beneran deh men.. cup-cup muahh.. love you. Hehehe..
Posting Komentar