5 Des 2012

Kita Versus Korupsi: Korupsi Kita Bukan Lagi Soal Begini...



Seberapa parah korupsi di negeri ini? Saya rasa, kata 'korupsi' adalah bahasa yang tahun-tahun belakangan paling intim dengan kita. Dalam sehari ada berapa kali kita mendengar kata 'korupsi'? Karena ini bukan kuis, jadi tunda dulu jawabannya, sebab saya ingin mengingat dengan kilat pilem yang membuat saya agak 'kepikiran'.

Kita Versus Korupsi
Pilem Kita Versus Korupsi dirilis pada 26 Januari 2012 ini yang didukung dan mendukung KPK. Pilem ini diniatkan sebagai 'penyuluhan' mengenai korupsi. Harapannya pilem ini bisa membuka cakrawala, terutama dan memang sasarannya, generasi muda, betapa sebenarnya korupsi telah mendarah daging dalam diri. Ia hadir sejak dari apa yang kita pakai dan gunakan, dalam rumah, hingga lembaga agama. Gawat betul negeri ini.

Sebuah upaya yang bagus, menanamkan sikap anti korupsi pada generasi muda, untuk itulah film Kita Versus Korupsi dilahirkan. Apa boleh buat, 4 fragmen, yang masing-masing berbeda sama sekali, dalam film ini, bagi saya belumlah menyentuh perihal yang sebenarnya perihal korupsi. Pilem pertama, Rumah Perkara, bagi saya bukanlah titik masuk yang baik, dan bukanlah upaya provokasi yang sedap untuk bicara korupsi dalam devenisi yang lebih luas. Cerita seputar upaya seorang lurah baru bernama Yatna (Teuku Rifku Wikana) menggusur rumah warganya karena desakan seorang kontraktor. Namun, Ella, seorang janda muda, cantik pula, yang sepertinya punya masalalu dengan pak lurah yang sudah punya anak ini, tak mau menyerahkan rumahnya digusur begitu saja. Persoalan pribadi, kedekatan si anak dengan janda, kepanikan Pak Lurah, desakan Pak Jaya dan kelakuan anak buahnya. Pilem pertama ini berakhir cukup tragis dan kekalahan telak untuk orang kecil macam Ella namun membawa petaka pada Pak Lurah. Anaknya ada di sana ketika rumah itu dibakar!

Apa yang menarik dari pilem pembuka ini? Saya rasa tak ada. Bukankah sudah banyak sinetron, FTV dan pilem Indonesia yang sok moralis bicara soal ini? Bukankah ini juga peristiwa sehari-hari dalam masyarakat kita? Untuk peristiwa yang umum begini untuk apa dibikin alurnya sedemikian rumit tanpa mampu memberikan solusi apa pun? Apa jalan keluar dari persoalan ini? Tema besar dan kerangka cerita bukanlah soal Korupsi, tapi kerakusan para pemilik modal, bobroknya mental penjabat (desa pula), dan kesetiaan. Bukan korupsi, itu menurut saya. Saya berfikir, bisa jadi ini sebagai miniatur dari peristiwa sogok-suap antara pejabat di daerah maupun pusat dan pemilik modal? Saya tekankan sekali lagi, tidak ada yang baru dari pilem ini. klise, umum dan tidak memberikan jalan keluar. Benar-benar buruk untuk ide, penggarapan dan penyampaian. Itu menurut saya, mas Emil Heradi.

Pilem kedua adalah Aku Padamu.
Berkisah tentang rencana pernikahan Vano (Nicholas Saputra) dan Laras (Revalina S Termat). Aih, Vano 'menculik' Laras dari rumahnya, untuk rencana besar mereka: menikah tanpa dihadiri keluarga. penggarapan pilem ini cantik dengan gaya pengambilan gambar yang mulai trend dalam pilem-pilem Indonesia belakangan. Pilem ini hendak bicara soal "Korupsi Moral" atau "Korupsi Mental". Mereka nyaris gagal menikah karena tidak ada kartu keluarga. Vino tertarik dengan bujukan calo yang bisa 'menggampangkan' urusan nikah mereka di KUA. Dia orang sibuk, amat sibuk. Laras tidak terima. Dia menentang dengan keras usaha itu. Lalu muncul sedikit narasi tentang bapaknya.

Sebagai sebuah pilem yang mengusung tema Korupsi bagi saya juga tidak terlalu kuat. benar, tindakan menerima tawaran calo untuk menguruskan semua administrasi jelas akan berakibat tidak baik. tapi dua anak muda ini bukanlah anak muda yang lugu, polos. Mereka, dalam gambaran pilem ini adalah anak-anak muda perkotaan yang modern, gaul, merokok, mapan secara ekonomi, gaya pacaran yang sangat terbuka. Jika korupsi dianggap "penyakit moral" dan dimaksudkan pula film ini sebagai edukasi, mengapa mereka harus lari dari rumah (apa pun alasan si cewek tentang mental buruk bapaknya), apa pula maksud mereka ciuman bibir kilat (bikin iri saja), dan berbagi rokok di antara ketegangan? Cerita tentang Laras-Ayah-Pak Guru sudah cukup menjelaskan semua, tanpa perlu lagi masuk ke peristiwa hari ini. Kaitannya tidak begitu kuat, saya rasa.


Selamat Siang, Risa! merupakan pilem ketiga yang paling getol disebut-sebut dalam resensi di awal kemunculan pilem ini. Terlalu banyak resensi mengulas ini dan saya tak perlu mengulang narasinya di sini. Ada banyak pujian untuk bagian ini, dan biarlah jatah saya untuk mencerewetinya. Soalnya sederhana, mengapa selalu saja orang kecil dihadapkan pada pilihan menerima sogokan atau tidak? Arwoko, dalam pilem ini yang hidup di zaman orde baru dihadapkan pada pilihan sulit, anaknya sakit, keuangan keluarga menipis, dan seseorang datang menawarkan duit. Kenapa tidak lebih fokus pada ketegangan anak-ayah saja, ketimbang ketegangan di kantor KUA? Hm, agar lembaga agama juga masuk dalam cerita :-)

Saya protes sekali. mengapa kejujuran mesti dihadirkan dalam kondisi sulit begini? Saya agak tersinggung. bayangkan cap yang Arwoko terima kalau dia terima sogokan itu, dia akan menjadi orang 'yang sama saja dengan yang lain'. Apa ada manusia yang tak pernah salah dalam hidupnya barang sekali? Dengan kondisi keluarganya yang morat-marit ini Arwoko benar-benar dewa. Saya berpikir, jangan-jangan dia seorang nabi.  Fyuhh...!!

Sebagai pilem edukasi yang keempat ini agak lebih dekat, akrap dengan kehidupan anak muda: Psssttt... Jangan Bilang Siapa-siapa. Ini juga mungkin cukup berhasil dan mampu menyindir 'kita' sebagai subjek cerita. Namun beberapa gejanggalan sederhana seperti akting yang kadang terasa terlebihan.. ah itu soal teknis.. Bukankah sebenarnya ada banyak kemungkinan korupsi di sekolah? Menilap uang sumbangan, misalnya jauh lebih riil ketimbang bersoal-soal terus dengan persoalan 'guru pedagang buku pelajaran'.

Saya kira segini saja. Sudah terlalu panjang rasanya. Persoalan korupsi kita sudah demikian parah dan terjadi di semua lini. Pilem Kita Versus Korupsi kiranya belum mampu menjadi potret, menjadi dokumentasi, edukasi yang efektif untuk itu. kita memerlukan tema, soal, dan pilem yang baru untuk lebih 'membongkar' efek dan dampak korupsi. Ia tidak sekedar dihadirkan, tapi juga memiliki efek. Pilem pertama dan kedua sudah melakukannya meski pun dengan cara yang agak rumit.

Kita memerlukan banyak pilem seperti ini dengan tema, dan eksekusi yang lebih serius, yang berbicara lembaga formal yang lebih kentara, dengan mengungkap 'rahasia umum' di negeri ini. Pilem ini lebih dari cukup, tapi belum sempurna!
Yogyakarta, 05122012

Tidak ada komentar: