Pada dasarnya saya ini orang yang setia. Bentuk kesetiaan saya bisa terlihat dari tempat saya biasa belanja harian. Saya nyaris tidak pernah berpindah-pindah tempat belanja. Artinya, saya sangat gampang menjadi pelanggan di satu tempat, bukan karena apa yang dibutuhkan, cuma pertimbangan efisiensi. Kesetiaan kadang nyaris sama dengan kemalasan.
Hampir setiap pagi saya selalu belanja di warung yang terletak tak jauh dari kos. Pertimbangan 'dekat' dari tempat tinggal inilah yang membuat saya betah belanja di satu tempat. Untuk sekedar membeli rokok, kopi, sabun mandi, odol, kerupuk, atau shampo eceran masa saya harus mutar ke minimarket: sudah jauh, tidak ada kendaraan, seringkali keinginan merokok muncul ketika saya bangun tidur.
Tiga kali saya pindah kos, dan di tiga tempat itu saya berlangganan di satu warung. Artinya, persentase saya belanja di sana sekitar 80%, sisanya barulah di tempat lain. Di tempat pertama dan terakhir ini yang paling terasa intensitasnya. Waktu di tempat kos kedua saya jarang ke warung, jadi tak punya warung langganan.
Hal yang paling saya ingat dari semua warung langganan saya adalah lambannya pedagang yang melayani pembeli macam saya: bangun tidur, terburu-buru, dan terjebak antri semi rebutan. Entah mengapa pula, di warung yang penjualnya lelet itu selalu ramai pembelinya. Jadilah saya yang hanya hendak membeli sebungkus kopi instant, dikarenakan duitnya mesti ada kembalian, jadilah saya terjebak antrian bersama ibu-ibu yang membeli sayur, dan bumbu dapur.
Lebih menjengkelkan lagi ketika saya sudah menyeduh kopi, lalu berniat membeli rokok di warung tersebut, kemudian antri, dan ibu penjual terlihat santai dan konsisten dengan kelambanannya. Nah, artinya saya menunggu dulu. Tak sampai di situ, kalau pun saya sudah pintar-pintar memburu kesempatan di tengah antrian sayur-mayur yang minta dicatat, alamak, rokok pesanan saya sedang kosong. Lenyaplah 8 menit yang rasanya berjam-jam itu. Dongkol rasanya. Ketika itu pula saya langsung punya keinginan putus hubungan dengan tempat ini, sejak sekarang.
Itu hanya pikiran sesaat. layaknya orang pacaran, itu bentuk kejengkelan sementara saja. Siangnya saya datang lagi ke sana, memesan sabun cuci, dan terjebak antrian lagi. Dan seperti biasa, ibu warung tetap dengan santai, pelan, teratur, sesekali ngobrol dengan pelanggan, dan kadang lupa dengan pesanan. Tetapi percayalah, sudah hampir lima tahun ini saya terbiasa terjebak di antara ibu-ibu yang kompornya sedang menyala, sama terburu-burunya dengan saya. Dan kami tetap antri, pelanggan tetap banyak, ibu itu tetap lelet, saya tetap kesal, dan besoknya saya kembali berdiri di barisan semi antrian tersebut. Dan baru saja ini saya ada di sana dan tidak mendapatkan pesanan yang saya inginkan dengan 8 menit yang rasanya berjam-jam.
Percayalah, saya termasuk yang setia...
Yogyakarta, 04/12/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar