20 Agu 2007

Mengenang kawanku Andi Wiranata-1


Kau Mandanku, Aku Tak Akan memakanmu, In
(Surat Panjang Buat Andi Wiranata)




“Aku tak bisa berkelahi denganmu. Aku tak bisa memukulmu. Tak akan pernah,” Katamu malam itu ketika kita bertengkar hebat tentang sesuatu yang aku sudah lupa, kalimat yang selalu kuingat daris eorang Andi Wiranata. Tentu kau juga. Dan benar, tak pernah ada pertentangan fisik antara kita meskipun dalam banyak hal kita selalu berbeda. Kau terlalu percaya omongan apa pun dari orang yang menceritakan padamu berbuih-buih tanpa fakta.



Keributan memang tak pernah selesai. Kau bilang orang shalat bisa saja tiba-tiba dia ada di Makah dengan wujud aslinya. Dia menghilang, katamu. Aku tak percaya. Tidak ada yang semacam itu, sergahku. Kita tidak sedang mencari pembenaran dari situ hanya mencoba meyakinkan diri masing-masing.
Dan kita masih saja bocah SMA kampung yang terlalu lugu memandang dunia.


Lalu kerumitan demi kerumitan membelenggu kita, pada waktunya, kita barangkali akan seperti mereka, para lelaki di kampung, terusir dari tanah sendiri. Lihatlah, satu-satu kawan-kawan kita pergi meninggalkan rumah, kampung yang berkabut dan mencoba peruntungan di negeri orang, negeri yang berbendera asing dan menteror tidurnya malam-malam.


"Tapi aku ingin jadi polisi." Katamu, kawanku Andi Wiranata. Aku tahu tanpa kau katakan, kawan. Aku paham keinginan itu. Dan aku belum juga memutuskan hendak menjadi apa. Sampai kini.


Apakah kita dipertemukan sejak bayi atau sudah berdekatan sejak dari alam sana? Entahlah. Tapi bisa saja kalau kita tidak terlahir satu kampung mungkin kedekatan itu bisa saja tak ada. Tapi aku menyangsikannya juga. Kau orang baik, terlalu baik malah bagi kawan-kawan seusia dan tentu semua merasa nyaman ada di sampingmu kecuali saat kau sedang mengamuk.


Sesungguhnya aku ingin bertanya –entah pada siapa dan untuk apa– Adakah kau itu orang yang kumaksud atau kau mengenal dia sepenuhnya. Maka kulanjutkan dulu ceritaku, barangkali di tengah cerita kau merasa yakin, kau megenal siapa yang aku maksud.


***


"Mungkin aku akan ke Malaysia." Putusmu malam itu. Aku merasakan angin malam semakin menusuk, bukan hanya karena kita dekat dengan pantai dan tidak seorang pun yang memakai baju hangat. Sekejap tak ada suara. Idil, sahabat kecilku sudah tertidur di warung kecilnya yang hanya diterangi temaram cahaya teplok. Tubuh dan wajahnya makin hitam, entah oleh asap yang keluar dari lampunya, entah karena matahari yang terlalu ganas akhir-akhir ini atau mungkin juga karena nasib yang jauh lebih panas ini.


"Mungkin tahun depan aku bisa mencoba mendaftar jadi polisi. Sementara aku mengumpulkan uang dulu." Kamu melanjutkan pembicaraan. Seekor kucing melompat ke semak-semak, sebuah truk berjalan sempoyongan di pekat malam dan jalan berkelok sepanjang Bukit Taluk yang curam. Lalu sepi. Lalu sunyi. Sunyi sekali Andi Wiranata, kawanku.


Ah tak juga, suara jangkrik dan hewan malam berbaur dengan ombak yang memecah karang di bawah sana, menghantam bebatuan di sepanjang Bukit Cangkiau yang menakutkan pada jam-jam segini. Tapi suara itu seperti hati kita yang menyisakan rasa gemuruh.


Aku tak juga bicara. Terlalu pendiam rasanya dan memang tak ada yang ingin aku katakan. Angin merampas segalanya juga kata-kata.


"Aku tidak tega minta uang sama ibuku lagi. Sementara Iwan, kakakku itu tak bisa diharapkan. Dia hanya omong kosong, benar-benar seperti bapakku. Aku tak menyukainya."


Hai, lihat biduk itu, tak terlalu jauh di tengah laut, kita bisa melihat satu-satu lampunya dipadamkan. Tentu jaring sedang diturunkan. Pada saatnya – kata Ujang sahabat kita yang pemalas itu, tapi paham betul dengan laut – cahayanya tinggal satu di tiap sisi kapal. Dan ikan-ikan akan terpedaya oleh cahaya itu dan mulai mendekat dan jaring sudah bersiap mencelakainya. Oh, sekarang kalam (gelap) pagi, pantas saja di sini tak ada bulan, ia telah menghilang dari langit, sementara malam belum juga berhenti. "Kalau terangnya sore, berarti menderek (menarik jaring) pagi hari, kalau subuh bulan baru muncul berarti sepanjang itu orang-orang mulai pula tidur." Begitu kata Ujang pernah kudengar.


Ah mereka, pelaut itu, bekerja di kegelapan dan malam-malam. Hei, adakah Ujang di antara orang-orang di biduk itu?


"Ujang tak melaut, dia main kartu di lapau Uda Lambau." Jawabmu pelan. Sepelan aku mengeja namamu selalu, Andi Wiranata.


Ha, atau mungkin A’am, Iten, Siil, Ijal, Uwan Gomok, Uda Samsu, Pak Tion, Suria, Uda Utiah, Icam, Iben Kopasus, Uman..


"Uman bekerja di bengkel sekarang.."


...barangkali itu Epen, Eka Bado, Andi Abot Uda Amit, Onuak...


"Onuak dan Andi Abot sudah sampai di Malaysia."


...Boleh jadi Atong, Ujang Ketek, Herman Mandiang, Andi Kenuang, Umar, Endah, Iril ...


"Atong di Dumai, Mandiang sudah di Jawa, Iril kakakku ke Sungai Penuh, nikah lagi dengan anak Taratak, Umar sudah berladang.."


atau.. aaaaahh.. siapa sajalah. Siapa sajalah yang kita kenal atau kita tidak kenal. Ingin menangis saja aku rasanya. Betapa tak ada yang dapat kuingat malam ini. Semua sudah pergi, semua sudah menghilang, semua sudah berjalan dengan cara masing-masing. Bukan aku tidak tahu, tapi hati ini perih, tak ada yang bisa kulakukan. Setelah semua pergi, hanya tinggal kita di kedai minum, lalu kau membilang kalimat merantau pula. Lalu aku, akan ke mana pula aku setelah ini?


Aku benar-benar menangis malam itu. Tanpa suara. Dan kau tahu itu kawan Andi Wiranata.


"Tak ada yang bisa kulakukan di rumah lagi. Aku tidak mau disebut-sebut orang sebagai anak yang menghambur-hamburkan kiriman dari Malaysia. Aku masih punya Anton, Hendra dan Doni yang masih sekolah dan akan menjadi orang. Aku ingin menyusul Amak (ibu)ku saja. Iwan sudah pindah ke Kedah kudengar, ikut taokenya. Orang gila itu tak bisa mengurus apa-apa juga dirinya sendiri. Semua meniru bapakku, preman dan tukang kawin."


Apakah setelah ini kau akan mengatakan aku orang yang paling berbahagia, kawan? Tapi lihatlah tak ada apa-apa yang aku punya selain pikiran-pikiran liar dan tak terkendali macam begini dan menjadikan aku orang yang paling kalah.


"Dan kau juga pada waktunya akan berangkat bukan? Aku tak mau didahului olehmu. Keberangkatanku buruk, tidak seperti kau."


"Aku akan pergi ke mana menurutmu?"


"Di kampung ini semua orang tahu kau akan ke Jawa, menyusul kakakmu dan kuliah di sana."


"Tapi aku tak pernah memikirkannya dan tak pernah mengatakan pada siapa pun."


"Tapi di kampung ini apa yang tidak disibak dan diduga oleh orang? Pada waktunya kau kan melakukannya juga. Dan pilihanmu jauh lebih elok."


"Aku juga ingin ke Malaysia saja. Bertemu Ibuku dan Bapakku." KAtamu, Kawanku Andi Wiranata.


"Lalu mereka kau kira bekerja untuk apa? Hei, kau tolol sekali. Mereka berkureh (berusaha) di sana untukmu, untuk masa depanmu. Kalau aku jadi kau, tentu tahun ini bisa daftar jadi polisi. Cuma kau yang tersisa. Dua kakakmu sudah menikah."


"Tapi kau juga bisa daftar polisi tahun ini. dan bisa saja diterima dan akan ada pula jalan keluarnya?"


"Ha..!! jangan gila. Siapa yang akan menolongku? Pusaka mana yang akan saya gadai? Pada siapa saya akan bersalang-tenggang? Bapakku? Begitu menurutmu? Setelah tinggal di tempat orang kau kira dia masih berpikir anak-anaknya di sini? Kalau iya tentu tidak seperti ini nasib kami."


Idil terbangun. Batuk-batuk. Udara dingin tentu telah mengacaukan kesehatannya. Dia, seusia kita harus bekerja menunggui warung yang terletak di atas bukit ini sepanjang malam menggantikan bapaknya yang sudah tua. Lain waktu dia akan berjaga pula menunggui api di belakang rumah sampai tembok-temboknya menguning dan matang dan siap dipasarkan. Sesaat dia melirik sekeliling lalu jatuh tertidur. Mungkin mempinya tadi mampir ke sini dan dia ingin kembali mengambilnya.


":Jadi kapan kau akan berangkat?" Aku bertanya dengan parau. Separuh kehilangan. Aku tahu, pertanyaan ini hanya sebentuk kebingungan saja, pertanyaan yang sudah kutahu pasti jawabanya. Apa yang tidak aku tahu darimu selama ini?


"Besok. Dengan ALS." Jawabmu pendek. Kelak kita mengenangnya sebagai malam terakhir kawan Andi Wiranata.


Aku mengutuk semua keberangkatan itu. Dan bis-bis sialan yang lewat di kampung kami. Mereka menjemput penduduk kampung yang tak seberapa ini, menggunggung mereka jauh-jauh ke tanah seberang. Kampung apa ini? tanah air siapakah yang tak memberikan air kala dahaga dan sedikit amkanan kala lapar bagi anak-anak bangsanya?


Kupikir kita terlalu cepat dewasa dari usia yang sesungguhnya.


Kabut jatuh. Tak ada percakapan lagi. Kurasai badanku basah oleh embun yang sudah dari tadi jatuh. Truk lewat dari selatan, kucing yang tadi sudah bergulung di bawah meja. Langit sepenuh hitam. Di laut kehidupan sedang bergeliat. Sebentar lagi kita merayakan pesta besar; bernama kehilangan.


Kau menangis dalam diam.


Dalam kelengangan kini aku ingin berteriak, di manakah kau kini Andi Wiranata sehingga tak pernah ada kabar dan kepulangan? 


(Bersambung ke serial Andi Wiranata II)

Tidak ada komentar: