22 Agu 2025

Kisah Penulis Muda (4)


Sumur di Kompas

Cerpenis Kita sedang tertidur ketika dua temannya, sebut saja Koto dan Mahwi, membangunkannya. Mereka manarik kaki Cerpenis Kita yang baru tertidur lagi tadi sehabis sholat Subuh, setelah semalaman begadang mengedit cerpen. Mereka menarik-narik Cerpenis Kita sambal berteriak. “Cuuuuppp…. Cerpen Sumur dimuat di Kompaaaaassss…”

Teriakan itu efektif membangunkan Cerpenis Kita. Tak ada misuh-misuh pagi itu karena dibangunkan. DIa duduk di atas kasurnya yang tipis, mengucek matanya, kaget atas berita yang didengar. Kita tahu, dadanya bergemuruh. Dengan suara berat dan penuh harap dia berkata dengan pelan dan ragu: “Kalian beli korannya?”

Kedua kawannya nyengir. Cerpenis Kita mahfum belaka, perkaranya dua orang ini pasti dari loper koran untuk mengintip karya-karya siapa yang dimuat di koran pagi ini.

“Si Koto tadi yang sempat buka Kompas. Aku belum sempat, keburu ditegur sama tukang korannya.” Mahwi, teman yang satu cengengesan di depan pintu.

Cerpenis Kita sekali lagi mahfum belaka, bahwa belakangan, hampir semua loper koran di seluruh Kawasan UIN, mensteples koran-koran minggu, koran-koran yang tentu saja ada halaman sastranya. Lagi dan lagi Cerpenis Kita mahfum bahwa ulah sekelompok orang macam dua temannya inilah, pedagang koran menjadi pelit. Mereka datang pagi-pagi cuma mengintip halaman sastra. Mereka baru membeli kalau ada karya mereka yang dimuat, dan itu tentu saja jarang terjadi.

Cerpenis kita menarik napas. Lalu berujar setengah membentak.

“Seriuslah, To.” Dia tahu, orang ini suka menggoda teman-temannya. Kebiasaan itu entah dari mana datangnya. Seringkali mereka mengirimkan pesan ke sejumlah kawan bilang selamat puisi atau cerpennya dimuat di koran anu, lalu ketika yang dikontak berlari dengan dada sesak ke loper koran, tak ada nama dan karya yang dimaksud di koran itu. Itu kebiasaan mengerikan, tapi sekaligus seru. Itu masa ketika wabah SMS mulai menyerang para penulis muda di negeri ini.

Mengingat itu, Cerpenis Kita menyambar HP Nokia polifoniknya. Memastikan apalah ada ucapan selamat dari salah satu rekan penulis dari berbagai kota di Indonesia. Nihil. Waktu itu memang saling mengirimkan info pemuatan koran dan ucapan selamat rajin menyambangi nomor kontak penulis-penulis seangkatan.  

“Sumpah, Sumur, Cup. Di Kompas. Sumur, dan benar-benar Sumur. Aku pengen beli, tapi uangku Cuma cukup buat bayar Minggu Pagi.” Koto melemparkan Koran Mingguan yang dia beli di hadapan Cerpenis Kita. Ada sebiji puisinya dimuat bersama 2 penulis muda lain. Cerpenis Kita kurang memperhatikan. Dadanya bergolak. Pagi-pagi sudah pamer, kutuknya.

“Ada juga puisi Yopi Setia Umbara untuk Mahwi di Pikiran Rakyat. Ada Cerpen Dwi Cipta di Suara Merdeka, ada Esai Afthonuli Afif di Koran Tempo, ada resensi Fahmi Amrullah di Suara Pembaruan…”

 Cerpenis Kita makin berdebar. Antara dikibulin dan diberi kejutan, antara percaya dan tidak. Bisa jadi ini diisengi lagi sama teman tetangga kamar kosnya. Tapi, kan cuma si Koto yang pernah tahu ada cerpennya berjudul Sumur. Dan dia memang meng-imel kompas 7 minggu lalu. Kalau dipikir-pikir kan mungkin saja dimuat. Tapi, masa sih..

“Ahhh..” Cerpenis Kita lari ke belakang, mencuci muka lalu masuk lagi, ia mengambil jaket, mengambil kunci motor di atas dispenser.

Di pintu ia berdiri, berbalik menghadap dua temannya.

“Belum ada yang kirim SMS.”

“Ini masih pagi. Jam 6. Kompasnya saja masih panas pas kubuka.” Si Koto mendekat. “Bentar lagi pasti banyak yang mengirim ucapan selamat.”

“Kalian ini suka bergurau loh.” Cerpenis Kita masih ragu-ragu.
“Toooo…” Mahwi memanggil Koto untuk kembali meyakinkan Cerpenis Kita.

“Serius. Sumur. Beneran Sumur, di Kompas.”

“Ahhh…” Cerpenis kita berteriak lagi, antara ragu dan yakin. Antara senang dan cemas dikerjai. Ia mendorong motor Kharismanya ke halaman dan menstaternya.

“Jangan lupa sekalian beli Jawa Pos dan Media Indonesia, ya.” Terriak Mahwi di depan pintu. “Sekalian tolong cek Tabloid Cempaka. Kalau ada cerpenku tolong beli sekalian. Tadi belum sempat lihat.”

Tidak ada jawaban dari Cerpenis Kita. Ia sibuk membetulkan helm.

“Sekalian beli Pikiran Rakyat, ada puisi dari Yopi Setia Umbara yang dipersembahkan untukku.” Sekali lagi Mahwi berteriak. Dia tak ragu, sebab Cerpenis Kita ada dana untuk membeli 4-6 koran setiap minggu.
Motor masih menyala, ragu untuk bergerak.
“Sumuuur, Cup. Sumuuuur…” Koto berteriak memprovokasi.

“Aaaahhhh…” Lalu motor menderu dengan kencang.

Kedua kawan Cerpenis Kita saling pandang setelah Cerpenis Kita menghilang di tikungan.

“Tapi itu benarkan cerpennya dia di Kompas?” Mahwi memandang temannya yang memegang pinggang. “Keren ya, sudah dimuat di Kompas dia.”

“Pokoknya Sumur. Cerpen Sumur.” Tanpa menoleh ia lari ke belakang dengan tawa berhamburan.

Tidak sampai 10 menit, terdengar teriakan dari depan. Cerpenis Kita datang dengan muka masam tapi tetap sambil tertawa.
“Asuuuuuuu… Koto Asuuuu…”

“Loh, bukan Sumur, Suf yang di Kompas?” Si Mahwi keluar dari kamarnya sambil tertawa mengikik.

“Sumur si Sumur. Ini bukan Sumur cerpenku, tapi cerpennya Gus TF Sakai….” Cerpenis kita membanting beberapa koran yang dia beli dan disambut Mahwi dengan bahagia. Ia membawa semua koran itu ke dalam kamar sambal tertawa keras-keras.

Sementara, kawan mereka yang satu lagi, hilang entah ke mana.

Yogyakarta, 22 Agustus 2025 

 

 

 

 

Tidak ada komentar: