24 Okt 2022

Pentas Terakhir Mas Cindhil

 

Kabar yang sampai pada kami malam 6 Oktober kemarin benar-benar menyentak, Mas Gunawan Maryanto, yang akrab kami sapa Mas Cindhil. Kamu pergi setelah mengalami sakit lebih kurang lima jam.

Malam itu, beranda medsos kami dipenuhi kabar tentang kehilanganmu. Banyak orang-orang mengucapkan duka citanya atas kepergianmu. Banyak sekali orang yang merasa kehilanganmu, Mas Cindhil.

Itu juga menunjukkan betapa luasnya pergaulanmu dalam peta kesenian. Tidak hanya kami di Jogja, ucapan kesedihan itu muncul dari banyak tempat, oleh banyak orang, oleh beragam disiplin kesenian.

Mas Cindhil, rasanya sulit memetakan dirimu dalam satu medium. Sastra Jawa seni pentas, sastra Indonesia, film dan seni rupa, kamu masuki dengan beragam wujud. Semuanya merasa memilikimu. Semuanya merasa kehilangan sosok berkharisma, seorang Gunawan Maryanto.

Kamu tidak sekadar masuk, tapi juga terlibat dengan beragam bentuk dan percobaan. Kamu ada di semua lapis ruang-ruang yang dimaksud. Ada orang yang ingin masuk ke dunia sastra agar disebut sastrawan, dan sebagian dari kami mengutuknya. Ada orang yang berusaha hadir di seni rupa dan tidak semua orang menerimanya. Ada yang mewujud di seni pentas, tapi tak semua orang bisa merasa.

Tapi kamu, Mas Cindhil, di dunia mana pun kamu berada, kami dengan tulus-ikhlas menempatkan dirimu turut serta bersama kami.

Mas Cindhil, aku tahu rasa sakit yang membuat sesak dada itu, aku tahu rasa panas yang menjalar ke dada hingga batang tenggorokan, aku bisa merasakan betapa lambung terasa diaduk-aduk dan tak bisa menghentikan rasa mual.

Aku paham rasanya perut terasa disodok-sodok, rasa ngilu menembus ke bagian punggung. Asam lambung itu memang sialan, sepele tapi berdampak sangat buruk. Itu pula yang mungkin kamu rasa saat rasa tak nyaman itu menyerangmu pertama kali.

Orang-orang yang ada di sekitarmu, Mas Cindhil, juga dirimu, pastilah tidak berpikir soal penyumbatan di jantung atau penyakit apalah yang membuatmu harus berada dalam situasi darurat dan membawamu pergi selamanya.

Mereka, seperti juga dirimu pastilah menganggap sejenis penyakit asam lambung dikarenakan telat makan, banyak merokok, dan tetap minum kopi. Tapi, sore itu, Rabu yang berat itu, sakit yang menghajarmu, membuatmu tak bisa melanjutkan program Open Lap yang baru saja dirapatkan.

Niatmu soal mendokumentasikan seniman panggung, mereka yang kehilangan panggung akibat pandemi, akan dilanjutkan oleh penerusmu dengan semangat yang pastinya tidak akan luntur. Mereka demikian kehilanganmu, Mas.

Jangankan mereka di Studio Garasi tempatmu tumbuh bersama banyak orang-orang hebat lainnya, kami saja yang remeh-remeh ini, yang merasa akrab denganmu, merasa mengenalmu demikian kehilangan sosok tegar Gunawan Maryanto.

Sebagai orang yang tumbuh dengan satu tradisi kesenian, aku merasa demikian dekat denganmu. Kerendahatianmu, sikap yang tak dimiliki semua kami, membuat siapa pun, akan merasa begitu diperhatikan.

Aku mengenalmu sejak 2004. Cukup panjang sebagai sebuah perkenalan, tapi tidak cukup membuat kita betul-betul akrab. Jikalah dirimu bukan orang yang ramah, menyapa, dan menyalami lebih dulu, mengenal nama, dan mengingat dengan baik, mungkin kita tidak akan sedekat sekarang.

Dekat yang aku maksud, tentu tidak seintens teman-teman yang lain. Tapi aku merasa, kamu seperti  Muhidin M dahlan seseorang yang lain, menjadi demikian penting bagiku. Sebagai kawan, sekaligus sebagai guru.

Kalian memberiku ruang dan kepercayaan. Jika Gusmuh—Si Muhidin—melakukannya dengan cara mengolok-olok, kamu melakukannya dengan sebaliknya: memuji, memotivasi, dan meyakinkan, bahwa aku, dan tentu banyak orang lain dengan disiplin yang juga berbeda, merasa berarti dan perlu memperjuangkan dunia keseniannya masing-masing.

Dulu, aku tidak pernah tahu, Mas Cindhil, seseorang yang datang suatu malam di sebuah rumah makan yang kini demikian merana, dalam sebuah pertemuan singkat, adalah orang yang karyanya aku kagumi. Rasanya seperti pentas terbaik yang pernah aku saksikan.

Tidak selalu, orang yang pernah berjumpa denganku meninggalkan kesan yang berarti. Tapi, bertemu denganmu di masa-masa aku sampai di Jogja, adalah titik kecil yang tak pernah hilang dalam ingatanku.

Kamu menanamkan rasa percaya diri padaku. Perjumpaan singkat itu, tak lantas hilang dan terlupakan. Bukankah dalam hidup terlalu banyak pertemuan singkat, yang seperti tidak penting dan tak tersimpan dalam ingatan?

Aku bertemu lagi dirimu di koran-koran minggu, menontonmu di ruang pentas sebagai nama yang terus kukagumi hingga kini: Gunawan Maryanto. Aku menyukai cerpen-cerpenmu dalam Galigi, dan menulis respons dalam satru cerpen tentang fragmen dalam cerita Galigi.

Aku membaca Bon Suwung dan menyukai hampir seluruh cerita di dalamnya. Kita masih sempat membicarakan beberapa waktu lalu soal cerita panjangmu di Jurnal Cerpen Indonesia yang kamu bilang penggalan dalam sebuah cerita panjang.

Mas Cindhil, kamu harus terbitkan itu, sebuah cerita silat dengan latar dan gagasan yang cukup segar, kataku. Aku juga mendengar namamu sejak awal ketika disebut dalam “Waktu Batu”, pentas yang belum pernah kutonton.

Aku membaca ulasan-ulasannya. Aku membaca skAnA, yang memberiku perspektif manis soal teater yang kusimpan seperti aku menyimpan dan memperlakukan On/Off dari AKY. Aku menonton beberapa film yang kamu perankan dan memberikan apresiasi secara langsung. Aku melihat kolaborasimu dengan perupa terkait beberapa projek asyik dan mengasyikan.

Di tengah kesibukanmu sebagai pekerja lintas seni, aku pernah bertanya, bagaimana kamu masih punya waktu untuk puisi dan cerpen?

Aku tanyakan suatu malam pada kunjunganmu ke JBS, tempat kami berjualan buku. Kamu tersenyum dan memberikan penjelasan yang mustahil aku lupakan.

“Aku terbiasa bergerak dengan beberapa konsep sekaligus. Satu kerja penelitian bisa memberiku beberapa kemungkinan,” katamu, Mas Cindhil.

Aku tahu, orang dengan banyak disiplin tentu memiliki beragam konsep agar yang satu tidak melupakan yang lain.

“Ketika misalnya aku terlibat penelitian soal dangdut di Pantura untuk kebutuhan pentas, aku menyisihkan hasil penelitianku itu untuk penulis puisi. Dalam satu kerja seni seperti puisi aku juga membaginya dalam beberapa kerja. Ketika aku jenuh dengan A, aku menggarap yang B, atau bosan keduanya aku pindah ke projek C.”

Aku tahu kesungguhan penjelasanmu. Tampaknya itu adalah penelitian untuk pentas Goyang Penasaran karya Naomi Srikandi dan Intan Paramadita, atau bisa jadi aku salah. Tapi yang aku ingat adalah kumpulan puisimu, Queen of Pantura sebagai kerja sampinganmu dalam sebuah penelitian.

Pola yang sama juga aku dengar dari M. Aan Mansyur seorang penyair kesayangan kita. Aku paham, itu cara menjaga konsistensi dalam berkarya. Cara yang setengah mati coba kuterapkan dan selalu gagal.

Aku beruntung, denganmu tidak sekedar mengenal nama belaka. Ada banyak nama-nama hebat di kota ini yang aku pandang dengan kagum tanpa sepenuhnya bisa kudekati. Aku yang tidak berani mendekat, lebih tepatnya.

Kamu, seorang Gunawan Maryanto, seringkali jadi pengecualian. Kamu membuka diri, dan menyambut dengan hangat setiap jabatan. Itu membuatku sedikit lebih aman dan merasa terperhatikan.

Beberapa kerja-kerja seni kamu mengajakku, membuat semangat dan percaya diriku terus tumbuh. Tak cukup begitu, kamu selalu bersedia terlibat dalam diskusi-diskusi kecil yang kami adakan.

Bahkan ketika kami membikin panggung untuk pentas penyair-penyair muda di acara kami, kamu datang dan maju sebagai pembaca karya. Aku malu dan ingin belajar padamu dengan sungguh-sungguh.

Kamu bersungguh-sungguh pada apa yang kamu geluti. Kamu masuk sepenuhnya dan terlibat aktif di dalamnya, itulah mengapa dunia seni, dengan lintas dimensi merasa betul-betul kehilanganmu.

Teater dan film membuatmu menjadi seniman yang tidak hanya berada di lingkup sini, tapi juga di sana. Sastra juga memberimu sejumlah penghargaan atas dedikasi atas karya-karyamu.

Aku yang tidak tahu kisah dan nama di balik Babad Tanah Jawi yang kamu antarkan pada kisah-kisah dan jeda-jeda atas peristiwa dan tokoh-tokohnya. Aku tidak merasa asing dan kehilangan selera dalam membacanya.

Kamu sering membiarkan kisah dalam babad berjalan sesuai pakem, tapi ceritamu hadir sebagai suara pada bagian yang hilang dan kosong. Kamu mengambil satu bagian dalam ceritamu dan memberi suara pada tokoh yang sebelumnya tidak punya suara.

Seperti menulis ulang, tapi sebenarnya tidak, karena kamu adalah penambal dari yang bolong dan memberikan suara pada sesuatu yang tadinya sekedar hadir. Suara itu pula yang hadir dalam sejumlah puisimu.

Begitu juga pergaulanmu, Mas Cindhil. Kamu memberikan kami kesempatan bersuara, memberikan kesempatan kami untuk duduk sejajar denganmu, berupaya merangkul orang-orang dari beragam disiplin seni untuk setidaknya menjadi akrab dengan bidang seni lainnya.

Kamu mengajari kami dengan sikapmu yang sederhana. Sejauh yang aku kenal kamu adalah orang yang selalu tersenyum dan memberi pujian untuk apa pun.

Dan Rabu malam 6 Oktober itu menjadi pentas terakhirmu di Studio Garasi dengan kami, para pelayat sebagai aktor yang menjadi diri sendiri. Sesak dadamu ternyata bukan asam lambung biasa. Panas dadamu bukan seperti semata yang kurasakan sebagai pengidap asam lambung dengan sejumlah pantangan yang terpaksa dilanggar.

Asam lambungmu, kata dokter adalah penyumbatan di jantung, yang tak seorang pun dari kita menyangka itu akan membawamu pulang selamanya.

Kita tak bisa berandai-andai, sebab maut adalah maut. Kamu tidak sendiri dalam kepergian yang demikian singkat. Belakangan, kita, kamu, saya, dan kita semua, kehilangan banyak orang-orang dekat dengan cara tidak terduga. Sempat beraktivitas, mengalami keluhan pada bagian tubuh, lalu pergi selamanya.

Yang tidak kami sangka, kamu termasuk di antara rombongan yang pergi tiba-tiba itu. Dan sungguh, kami kehilanganmu, kehilangan sosok yang rendah hati dan sederhana. Sosok yang ramah dan selalu tertawa. Sosok yang menyalami siapa pun dengan hangat dan ceria. Sossok yang selalu berbagi kabar baik.

Seseorang yang nyaris menyembunyikan rasa sakit dan mungkin juga sunyi. Seseorang yang saya kira menyimpan sakit itu sendiri.

Meski pentasmu di sini selesai, Mas Cindhil, tapi lampu masih menyala, panggung masih terbuka. Seperti hari di mana kamu dibaringkan di panggung Studio Garasi, kamu sedang memberi kami—orang-orang yang mengenalmu—sebuah peran untuk terus kami mainkan, semampu kami, sekuat kami.

Damai di sana, Mas. Kami akan selalu merindukanmu.

Sumber: mojok.co

Tidak ada komentar: