29 Okt 2021

Mau Ngapain Lagi Sih Denny JA, eh Satupena?

Menyambut Bulan Bahasa 2021 Satupena versi kepemimpinan Denny JA melakukan sebuah kerja sensitif dan kontroversial, dengan tema besar dan Panjang: 100 BUKU YANG MEWARNAI SEJARAH DAN BUDAYA INDONESIA SEJAK ERA KOLONIAL DIPILIH DAN DITERBITKAN KEMBALI. Penjelasannya bisa dibaca di sini: https://www.facebook.com/denny.ja.754. Sudah? Yuk, Kembali ke tulisan ini.

Apa-apa yang dilakukan Denny JA memang rentan berimbas polemik. Tampaknya dia juga menyukai itu sebagai strategi marketing. Dari sejumlah hal yang menjadi dasar pemikiran penyelenggaraan, saya hanya mengambil 3 poin saja. Tiga saja sudah capek, apalagi banyak-banyak.

Pertama soal Memilih 100 dari jutaan buku yang terbit sejak Era Kolonial hingga hari ini. Kategorinya sastra dan nonsastra. Bukan Denny JA Namanya jika tidak ada namanya sebagai bagian dari yang besar itu. Namanya hadir di no 100 sebagai yang paling baru dari 100 buku yang terbit sejak 1922-2012. Apa saja yang menjadi kriteria buku masuk ke dalam daftar? Ia harus memenuhi syarat sebagai kriteria no 7 dengan 4 poin dari sejumlah prosedur yang dilakukan panitia. Apa saja? Salah satunya “genre baru, cara penulisan baru, perspektif baru, yang diikuti banyak buku setelahnya.” Loh itu kan yang selalu dilabeli pada “puisi esai” yang terus dimarketingkan itu kan?

Masalahnya, “diikuti banyak orang setelahnya” ini apa standar dan ukuran yang digunakan? Sejak kapan karya sastra menjadi kampanye-kampanye begini? Sejak kapan karya sastra dibuat tim, lalu dikampanyekan, digadang-gadang, diminta keterlibatan publik, dibayar oleh tim, dibukukan oleh kelompok yang sama, dibicarakan oleh mereka juga. Lucu gak sih kebudayaan dikatbitkan dan dipolitisasi begini?

Terlepas dari itu semua, memilih 100 dari sejumlah yang banyak saja akan mendapat sorotan yang beragam. Akan banyak gugatan, di luar kesepakatan dan anggukan kepala tentu saja, terkait pemilihan. Kenapa ini, bukan itu, kenapa dia bukan si anu, dan ratusan alasan lain yang terus bisa diperdebatkan. Nah ditambah dengan memasukan nama sendiri ke dalam daftar sebuah keganjilan tersendiri. Dalihnya pastilah, bukan saya, tapi tim. Apa boleh buat. Kategori-kategori macam begini, sekali lagi, memang rentan jadi sorotan. Banyak kok yang mengalaminya. Saya tidak menyalahkan yang sepakat dan tidak selalu membenarkan yang tidak sepakat. Biarlah nitizen berdebat soal ini.

Poin kedua yang membuat geli adalah penjelasan berikut: “Dimanakah buku- buku itu kini berada? Seandainyapun buku itu dijumpai, sangat mungkin susah dibaca insan zaman kini karena berbedanya ejaan dan tata bahasa..” Ya Allah, malu Pak, malu. Pertanyaannya bisa dibalik gak? Apakah mereka tidak mengikuti perkembangan buku tapi merasa tahu soal buku, atau pura-pura tak tahu karena sebetulnya 99 nama dan karya ini hanya akal-akalan untuk menelurkan nomor 100? 70-80% buku-buku ini masih diterbitkan dan terus beredar di pasaran. Sejumlah buku-buku tersebut adalah buku-buku yang terus laris di pasaran dan selalu terus diterbitkan hingga sekarang.

Poin tambahannya adalah “Buku itu diedit kembali sesuai tata bahasa masa kini.” Jika saja mereka tidak terlambat bangun, atau kita semua memang tertidur, ini tentu menjadi kerja luar biasa. Masalahnya seperti yang saya tulis di paragraf sebelum ini. Alih-alih jadi kerja besar, klaim ini justru menjadi konyol dan—maaf—tolol. Tampak seperti tidak menghargai jerih payah orang lain loh. Seperti: kami akan, padahal orang lain sudah.

Kita bisa mengurutkan ke 100 buku ini beserta hak cipta dari penerbit masing-masing. Kita tahu, sebagian besar buku ini dengan gampang kita dapatkan di pasar buku. Ori lagi. Jika Ada yang ingin memesan, lebih dari 50% buku ini bisa dipesan pada kami, jika telaten lagi mencari di marketplace, 80% dari buku-buku ini masih ada terus dipasarkan. Dan percayalah, anda tidak akan terbata-bata membacanya karena bukunya sudah disempurnakan sejak dulu sekali. Jauh sebelum nama Denny JA muncul dengan “genre baru’nya di dunia sastra dengan nyaris menumbalkan penyair lain sebagai dampak dari keriuhan yang ditimbulkan. Jumlah buku dari daftar ini berkisar 10-20% saja yang memang belum dicetak lagi, tapi bukan berarti buku-buku itu tidak memiliki hak cipta dan seenaknya diterbitkan.

Poin ketiga adalah soal: “…berupaya menerbitkan kembali 100 buku itu dalam bentuk Print on Demand (PoD).” Jika penggandaan ini dilakukan oleh seseorang, sekelompok orang, namanya pembajakan. Jika harus mengurus izin dan hak cipta, tentu juga royalti untuk penulis atau ahli waris, ini bukan kerja pendek untuk 99 buku yang narasi utamanya menyambut Bulan Bahasa 2021 dengan kerja memilih dan diterbitkan Kembali. Tahap pertama oke selesai, lalu menerbitkan kembali itu? Lagian mana mau penerbit yang pegang hak cipta memberikan naskahnya kepada pihak ketiga dengan konsep cetak PoD? Heloo…Kalau terbit-terbit PoD kita tidak butuh Lembaga besar melakukannya. Datang saja ke percetakan, minta cetak satu biji. Di tempat fotokopian saja juga bisa.

Jika saja narasinya sedikit diubah, misal mereka memilih 100 buku dan menyebarkannya kepada publik, wah alangkah menyenangkan kabar ini. Misal 1 judul dibeli 100 eksemplar kemudian dikirim ke sejumlah rumah baca, perpustakaan komunitas dan sebagainya, akan menyenangkan banyak pihak. Apalagi kalau mau praktis membelinya tidak langsung ke penerbit, karena itu akan repot, sungguh, bisa memesannya ke banyak toko buku online. Bahkan Natan Bookstore di Kotagede Yogyakarta punya banyak stok buku Balai Pustaka dengan koleksi yang disebutkan di atas. Masa masih mengklaim dengan seolah dunia ini belum tercipta sebelum ide ini muncul dari mereka? Jadi sebenarnya tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?

Sekiranya kalimatnya adalah mengumpulkan, artinya membeli ya, kami, pedagang buku ini akan rela hati membantu mencari, dan menyiapkan sejumlah buku tersebut. Setidaknya 60-80 judul dari 100 buku ini masih bisa kita usahakan tersedia dengan jumlah yang banyak. Ini jelas jadi kerja konkrit, bukan gagasan yang rentan dengan benturan. Kedua, ini kerja literasi. Kami, pedagang buku ini, bersedia membantu asal tidak meminta diskon lebih. Maklum kami hanya pedagang, bukan penerbit. Dan pembayarannya tentu mesti di depan. Biarlah cetak-mencetak PoD itu urusan penerbit dan percetakan, bukan partai eh organisasi.

Ah, seringkali yang kita butuhkan opini, bukan hasil.

So, Jika ini terlaksana, bagaimana dengan hak cipta buku-buku yang mau dicetak ini? Tapi ya, ini tampaknya semata gimmick belaka. Dengan gagasan ini mereka sebenarnya tidak sedang mengerjakan apa-apa.

Sudahlah, yakin deh ini akan mangkrak dan berhenti sampai wacana. Bagaimana cara menerbitkan buku yang masih diproduksi dan dipasarkan oleh penerbit sebagai kerja ‘inisiatif”? Atau jangan-jangan maksudnya itu tujuannya untuk dikomersilkan, dicetak terbatas sesuai permintaan? Ah, masa Satupena harus membajak buku? Sudah, beli saja, lalu bagikan. Itu jelas dan konkrit. Ya gak? Atau Satupena mau bikin penerbit dan toko buku juga? Wah, kami punya rekanan sesama pedagang donng. Jangan lupa bisa bantu-bantu dropship juga ya, Kak.

Sebagai sebuah Lembaga berbadan hukum yang sah, dan mau berguna, Satupena bisa menggunakan kedekatannya dengan penguasa dengan serius dan total mengangkat isu perbukuan. Salah satunya ya soal pembajakan. Bukankah Satupena menjadi salah satu, jika bukan satu-satunya, perkumpulan yang terdaftar resmi? Jika isu pembajakan terus-menerus dilakukan dan diupayakan, kita akan sampai di titik menjura dan menghormat sepenuh hati. Selama ini isu pembajakan menjadi kegelisahan sekelompok orang saja, tanpa mendapat perhatian yang lebih. Panas lalu redup, hangat lalu padam. Ya, pembajakan memang tidak bisa selesai dengan fatwa dan konferensi pers belaka. Ini kerja besar dan butuh banyak tangan untuk menyelesaikannya.

Bayangkan jika dengan itu pembajakan karya menjadi aib di negeri ini. Dengan corong yang ada pada mereka, tentu Satupena -dan Denny JA terutama- akan dicatat dengan tinta emas oleh tidak hanya insan perbukuan, tapi bisa melebar ke ruang-ruang kesenian lain yang karyanya rentan dibajak, sepanjang sejarah. Hanya, yang begini tentu bukan kerja instan dan tak segampang menerbitkan buku ber ISBN dengan sistem Print on Demand. Yang terakhir ini sangat bisa dilakukan oleh siapa pun, tanpa harus terikat dalam satu organisasi apa pun.

Jadi melawan pembajakan, bukan narasi yang seolah membenarkan pembajakan. Itu bisa berbahaya. Kasihan penerbit, dan seluruh tim yang terlibat di dalamnya. Kasihan juga penulis yang berharap dari royalti. Ia penting sebagai sebuah siksus. Dan semua-mua butuh modal, bukan mencetak dengan sistem PoD seolah proses itu baru keluar dari mesin tadi malam. Boleh saja penulis membiarkan karyanya dibajak, digandakan, atau tidak peduli royalti, sama seperti bolehnya buku dicetak sendiri, dimodali sendiri, hasilnya dibagi-bagi tanpa perlu dibeli. Tapi kan itu biasanya berlaku untuk buku sendiri, atau buku tentang diri sendiri, atau karangan-karangan yang diterbitkan seolah efek dari pengaruh karya sendiri.

Lalu apa respon teman-teman di Satupena yang satu lagi? Ternyata kita masih punya pena yang lain, saudara-saudara. Mari menunggu.

25 Oktober 2021

Tidak ada komentar: