Menyambut Bulan Bahasa 2021 Satupena versi kepemimpinan Denny JA melakukan sebuah kerja sensitif dan kontroversial, dengan tema besar dan Panjang: 100 BUKU YANG MEWARNAI SEJARAH DAN BUDAYA INDONESIA SEJAK ERA KOLONIAL DIPILIH DAN DITERBITKAN KEMBALI. Penjelasannya bisa dibaca di sini: https://www.facebook.com/denny.ja.754. Sudah? Yuk, Kembali ke tulisan ini.
Apa-apa yang dilakukan Denny JA memang rentan berimbas polemik. Tampaknya dia juga menyukai itu sebagai strategi marketing. Dari sejumlah hal yang menjadi dasar pemikiran penyelenggaraan, saya hanya mengambil 3 poin saja. Tiga saja sudah capek, apalagi banyak-banyak.
Pertama soal Memilih 100 dari jutaan buku yang terbit sejak Era Kolonial hingga hari ini. Kategorinya sastra dan nonsastra. Bukan Denny JA Namanya jika tidak ada namanya sebagai bagian dari yang besar itu. Namanya hadir di no 100 sebagai yang paling baru dari 100 buku yang terbit sejak 1922-2012. Apa saja yang menjadi kriteria buku masuk ke dalam daftar? Ia harus memenuhi syarat sebagai kriteria no 7 dengan 4 poin dari sejumlah prosedur yang dilakukan panitia. Apa saja? Salah satunya “genre baru, cara penulisan baru, perspektif baru, yang diikuti banyak buku setelahnya.” Loh itu kan yang selalu dilabeli pada “puisi esai” yang terus dimarketingkan itu kan?
Masalahnya, “diikuti
banyak orang setelahnya” ini apa standar dan ukuran yang digunakan? Sejak kapan
karya sastra menjadi kampanye-kampanye begini? Sejak kapan karya sastra dibuat
tim, lalu dikampanyekan, digadang-gadang, diminta keterlibatan publik, dibayar
oleh tim, dibukukan oleh kelompok yang sama, dibicarakan oleh mereka juga. Lucu
gak sih kebudayaan dikatbitkan dan dipolitisasi begini?
Terlepas dari itu semua, memilih 100 dari sejumlah yang banyak saja akan
mendapat sorotan yang beragam. Akan banyak gugatan, di luar kesepakatan dan
anggukan kepala tentu saja, terkait pemilihan. Kenapa ini, bukan itu, kenapa
dia bukan si anu, dan ratusan alasan lain yang terus bisa diperdebatkan. Nah
ditambah dengan memasukan nama sendiri ke dalam daftar sebuah keganjilan tersendiri.
Dalihnya pastilah, bukan saya, tapi tim. Apa boleh buat. Kategori-kategori
macam begini, sekali lagi, memang rentan jadi sorotan. Banyak kok yang
mengalaminya. Saya tidak menyalahkan yang sepakat dan tidak selalu membenarkan
yang tidak sepakat. Biarlah nitizen berdebat soal ini.
Poin
kedua yang membuat geli adalah penjelasan berikut: “Dimanakah
buku- buku itu kini berada? Seandainyapun buku itu dijumpai, sangat mungkin
susah dibaca insan zaman kini karena berbedanya ejaan dan tata bahasa..” Ya
Allah, malu Pak, malu. Pertanyaannya bisa dibalik gak? Apakah mereka tidak
mengikuti perkembangan buku tapi merasa tahu soal buku, atau pura-pura tak tahu
karena sebetulnya 99 nama dan karya ini hanya akal-akalan untuk menelurkan
nomor 100? 70-80% buku-buku ini masih diterbitkan dan terus beredar di pasaran.
Sejumlah buku-buku tersebut adalah buku-buku yang terus laris di pasaran dan
selalu terus diterbitkan hingga sekarang.
Poin tambahannya adalah “Buku itu diedit kembali sesuai tata bahasa masa
kini.” Jika saja mereka tidak terlambat bangun, atau kita semua memang
tertidur, ini tentu menjadi kerja luar biasa. Masalahnya seperti yang saya
tulis di paragraf sebelum ini. Alih-alih jadi kerja besar, klaim ini justru
menjadi konyol dan—maaf—tolol. Tampak seperti tidak menghargai jerih payah
orang lain loh. Seperti: kami akan, padahal orang lain sudah.
Kita bisa mengurutkan ke 100 buku ini beserta hak cipta dari penerbit masing-masing.
Kita tahu, sebagian besar buku ini dengan gampang kita dapatkan di pasar buku.
Ori lagi. Jika Ada yang ingin memesan, lebih dari 50% buku ini bisa dipesan
pada kami, jika telaten lagi mencari di marketplace, 80% dari buku-buku ini
masih ada terus dipasarkan. Dan percayalah, anda tidak akan terbata-bata
membacanya karena bukunya sudah disempurnakan sejak dulu sekali. Jauh sebelum
nama Denny JA muncul dengan “genre baru’nya di dunia sastra dengan nyaris
menumbalkan penyair lain sebagai dampak dari keriuhan yang ditimbulkan. Jumlah
buku dari daftar ini berkisar 10-20% saja yang memang belum dicetak lagi, tapi
bukan berarti buku-buku itu tidak memiliki hak cipta dan seenaknya diterbitkan.
Poin ketiga adalah soal: “…berupaya menerbitkan kembali 100 buku itu dalam
bentuk Print on Demand (PoD).” Jika penggandaan ini dilakukan oleh
seseorang, sekelompok orang, namanya pembajakan. Jika harus mengurus izin dan
hak cipta, tentu juga royalti untuk penulis atau ahli waris, ini bukan kerja
pendek untuk 99 buku yang narasi utamanya menyambut Bulan Bahasa 2021 dengan
kerja memilih dan diterbitkan Kembali. Tahap pertama oke selesai, lalu
menerbitkan kembali itu? Lagian mana mau penerbit yang pegang hak cipta
memberikan naskahnya kepada pihak ketiga dengan konsep cetak PoD? Heloo…Kalau
terbit-terbit PoD kita tidak butuh Lembaga besar melakukannya. Datang saja ke
percetakan, minta cetak satu biji. Di tempat fotokopian saja juga bisa.
Jika saja narasinya sedikit diubah, misal mereka memilih 100 buku dan
menyebarkannya kepada publik, wah alangkah menyenangkan kabar ini. Misal 1
judul dibeli 100 eksemplar kemudian dikirim ke sejumlah rumah baca, perpustakaan
komunitas dan sebagainya, akan menyenangkan banyak pihak. Apalagi kalau mau
praktis membelinya tidak langsung ke penerbit, karena itu akan repot, sungguh,
bisa memesannya ke banyak toko buku online. Bahkan Natan Bookstore di Kotagede
Yogyakarta punya banyak stok buku Balai Pustaka dengan koleksi yang disebutkan
di atas. Masa masih mengklaim dengan seolah dunia ini belum tercipta sebelum
ide ini muncul dari mereka? Jadi sebenarnya tidak tahu atau pura-pura tidak
tahu?
Sekiranya kalimatnya adalah mengumpulkan, artinya membeli ya, kami, pedagang
buku ini akan rela hati membantu mencari, dan menyiapkan sejumlah buku
tersebut. Setidaknya 60-80 judul dari 100 buku ini masih bisa kita usahakan
tersedia dengan jumlah yang banyak. Ini jelas jadi kerja konkrit, bukan gagasan
yang rentan dengan benturan. Kedua, ini kerja literasi. Kami, pedagang buku
ini, bersedia membantu asal tidak meminta diskon lebih. Maklum kami hanya
pedagang, bukan penerbit. Dan pembayarannya tentu mesti di depan. Biarlah
cetak-mencetak PoD itu urusan penerbit dan percetakan, bukan partai eh
organisasi.
Ah, seringkali yang kita butuhkan opini, bukan hasil.
So, Jika ini terlaksana, bagaimana dengan hak cipta buku-buku yang mau dicetak ini? Tapi ya, ini tampaknya semata gimmick belaka. Dengan gagasan ini mereka sebenarnya tidak sedang mengerjakan apa-apa.
Sudahlah, yakin deh ini
akan mangkrak dan berhenti sampai wacana. Bagaimana cara menerbitkan buku yang
masih diproduksi dan dipasarkan oleh penerbit sebagai kerja ‘inisiatif”? Atau
jangan-jangan maksudnya itu tujuannya untuk dikomersilkan, dicetak terbatas
sesuai permintaan? Ah, masa Satupena harus membajak buku? Sudah, beli saja,
lalu bagikan. Itu jelas dan konkrit. Ya gak? Atau Satupena mau bikin penerbit
dan toko buku juga? Wah, kami punya rekanan sesama pedagang donng. Jangan lupa
bisa bantu-bantu dropship juga ya, Kak.
Sebagai sebuah Lembaga berbadan hukum yang sah, dan mau berguna, Satupena bisa
menggunakan kedekatannya dengan penguasa dengan serius dan total mengangkat isu
perbukuan. Salah satunya ya soal pembajakan. Bukankah Satupena menjadi salah
satu, jika bukan satu-satunya, perkumpulan yang terdaftar resmi? Jika isu pembajakan terus-menerus
dilakukan dan diupayakan, kita akan sampai di titik menjura dan menghormat
sepenuh hati. Selama ini isu pembajakan menjadi kegelisahan sekelompok orang
saja, tanpa mendapat perhatian yang lebih. Panas lalu redup, hangat lalu padam.
Ya, pembajakan memang tidak bisa selesai dengan fatwa dan konferensi pers
belaka. Ini kerja besar dan butuh banyak tangan untuk menyelesaikannya.
Bayangkan jika dengan itu pembajakan karya menjadi aib di negeri ini. Dengan
corong yang ada pada mereka, tentu Satupena -dan Denny JA terutama- akan dicatat
dengan tinta emas oleh tidak hanya insan perbukuan, tapi bisa melebar ke
ruang-ruang kesenian lain yang karyanya rentan dibajak, sepanjang sejarah.
Hanya, yang begini tentu bukan kerja instan dan tak segampang menerbitkan buku
ber ISBN dengan sistem Print on Demand. Yang terakhir ini sangat bisa
dilakukan oleh siapa pun, tanpa harus terikat dalam satu organisasi apa pun.
Jadi melawan pembajakan, bukan narasi yang seolah membenarkan pembajakan. Itu
bisa berbahaya. Kasihan penerbit, dan seluruh tim yang terlibat di dalamnya. Kasihan
juga penulis yang berharap dari royalti. Ia penting sebagai sebuah siksus. Dan
semua-mua butuh modal, bukan mencetak dengan sistem PoD seolah proses itu baru
keluar dari mesin tadi malam. Boleh saja penulis membiarkan karyanya dibajak,
digandakan, atau tidak peduli royalti, sama seperti bolehnya buku dicetak
sendiri, dimodali sendiri, hasilnya dibagi-bagi tanpa perlu dibeli. Tapi kan
itu biasanya berlaku untuk buku sendiri, atau buku tentang diri sendiri, atau
karangan-karangan yang diterbitkan seolah efek dari pengaruh karya sendiri.
Lalu apa respon teman-teman di Satupena yang satu lagi? Ternyata kita masih
punya pena yang lain, saudara-saudara. Mari menunggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar