6 Apr 2019

Salah Lirik




Setiap kali menonton atau mendengar OST Adit Sopo Jarwo yang ditonton anak saya, saya merasa aneh denga lirik lagu yang terdengar. “Armand Maulana kok gitu banget ya nyari rimanya.” Suatu kali keluar juga ucapan itu di depan istri.

“Kenapa dengan liriknya?”

“Itu bunyinya aneh. Ayo berani, jangan berhenti kita baimimpi. Itu maksudnya bermimpi kan? Kok bunyinya kayak baimimpi.”


“Oh, sepertinya itu “raih mimpi”. Terdengar seperti “baimimpi” ya?”

Rasanya sangat sering saya berhadapan dengan salah lirik begini. Resikonya lirik tidak sampai dan berpretensi salah maksud. Entah dari yang menyanyi memang terlalu mengejar efek bunyi sehingga punya kecenderungan untuk terdengar berbeda. Seperti penekanan pada huruf ‘c” dan “t”, pada kata ‘nanti’ terdengar jadi ‘nantci’. Bisa saya sebagai pendengar yang memang yang susah paham yang menyebabkan makna lirik jadi berubah. Bisa jadi salah satu faktor atau malah dua-duanya menjadi penyebab.
            Ketidakpahaman saya akan lirik juga terjadi misalnya pada lagu Dewa, Pupus. Di bagian reffrainnya saya pernah lama sekali salah maksud. Mestinya “Baru kusadari cintaku bertepuk sebelah tangan.” Saya mendengarnya dengan bunyi, “Perumpusan dari...” Saya tahu kata perupusan tidak ada dalam kamus, saya tahu ada yang salah dari penangkapan saya terhadap lirik itu, tapi saya tidak punya pengganti yang lain karena itu yang paling mendekati maksud yang bisa mewakili saya. Lagipula kata “perupusan” kok ya terdengar puitis.
            Resikonya jelas ada. Pada kasus ini, di pos ronda ketika kami menyanyikannya dengan gitar seadanya, kami binung memilih lirik yang mana. Dalam lirik yang sama-sama tidak bisa dipahami, untuk aman, mereka menyesuaikan dengan lirik yang saya gunakan, atau yang mereka gunakan yang saya turuti.

Ini juga terjadi dalam contoh yang lebih lucu. Di kampung asal saya, di mana kata “google” dibaca dengan “google” persis seperti bentuk yang tertulis, saya gagal paham untuk waktu yang lama dengan lagu “Kabari Aku” Jamrud, yamg disaat yang sama sangat fenomenal. Kesalahan lirik itu terjadi pada bagian kata “Jumbo” tertulis jelas di video klip yang kami tonton. Jamrud melafalkannya “Jambo” yang lebih terdengar seperti kata “Jambu”. Kami dilema, tetap konsisten dengan lirik “jumbo” atau “jambu”? sementara kata “jambo” jelas tidak masuk ke defenisi kami. Dalam kasus tak hapal lirik kita masih bisa mengganti kata itu dengan “Hmm... hmm..” sambil saling lirik dalam bernyanyi. Tapi kalau salah lirik akan jadi berbeda.
            Salah tangkap lirik ini sudah saya alami sejak kecil. Sebagai misal, ketidakpahaman saya terhadap bahasa membuat lirik menjadi berubah. Itu terjadi dalam dua lagu wajib yang pernah saya nyanyikan.

Kasus pertama adalah lagu “Mengheningkan Cipta”. Lirik lagu yang kami naynyikan di upacara bendera di SD kami begini: “Dengan seluruh angkasa raya memuja pahlawan negara nan gugur remaja di ribaan bendera bela nusa bangsa.”. Lagu ini dinyanyikan persuku kata dan pelan sehingga kami kehilangan titik koma. Keraguan saya adalah pada lirik “di ribaan bendera”. Pengasaan bahasa saya yang terbatas membuat saya tidak tahu kalau kata “ribaan” adalah bahasa Indonesia. ketidaktahuan saya berujung pada ketidakpahaman lirik. Saya membacanya sjadi “diri baan bendera”, kok ya aneh. Masa diri baan bendera? Saya memilih kata yang lebih saya anggap mewakili. Yang paling aman menurut saya lirik tersebut dinyanyikan “...diri bahan bendera.. bela nusa bangsa..” kan lebih patriotik.         
            Keterbatasan penguasaan bahasa saya juga terjadi dalam lagu “Halo-halo Bandung” promblemnya terdapat pada lirik “Halo-halo Bandung ibukota periangan..” Saya belum pernah mendengar kata “periangan” atau “priangan” sebelumnya dan jelas tidak tahu artinya. Periangan jadi tidak memiliki makna pada saya. Saya memilih kata yang tepat untuk menggantinya, bisa jadi guru saya salah mengajarkan, bukan? Pada ujian Ebtanas SD dengan setengah percaya diri, setengah malu saya menyanyikan lagu itu dengan lirik baru yang lebih elegan dan pas. “Halo-halo Bandung ibukota perjuangan..”
            Karena sah lirik begini saya juga jadi bersikap hati-hati. Sering saya tidak yakin dengan lirik yang saya dengar. Lagu “Bung Hatta” milik Iwan Fals misalnya, menerbitkan keraguan dalam diri saya ketika sampai pada lirik:
Terlintas nama seorang sahabat
Yang tak lepas dari namamu
. Saya yang masih remaja tidak paham ke mana lirik itu dibawa. Kok nama seorang sahabat, sahabat siapa? Saya curiga dengan pendengaran saya sendiri.Mungkin maksudnya “terlintas nama seorang sabar yang tak lepas dari namamu”. Kan jelas, Hatta, menurut Iwan fals orang yang sabar sehingga menyebut namanya seperti menempatkan kata “sabar” sebagai nama tengahnya. Keyakinan ini cukup lama, sampai saya tahu dan mengerti benar maksud lirik tersebut. Yang dia maksud ya Soekarno. Menyebut Hatta tak bisa tidak mengingat nama Bung karno. Gitu aja kok ya saya jadi mesti berumit-rumit.

Tidak sekali dua belaka saya terjebak salah paham sebagai pendengar lirik. Entah kesalahannya sepenuhnya ada pada saya, atau memang si penyanyi punya kecenderungan lirik yang membingungkan orang seperti saya. Kesalahan semacam itu terjadi terus-menerus dengan beberapa pola yang nyaris sama atau berbeda dalam diri saya.
            Barangkali memang ini menjadi penyakit, salah lirik karena salah dengar dan meyakini sebagai sebuah kebenaran baru. Maknanya bisa positif, bisa pula negatif. Saya menyadari sekarang, semata-mata salah saya belaka. Bagaimana jika selama ini salah tangkap terus terjadi dalam kerangka yang lebih besar? Dalam lingkungan sosial saya misalnya, dalam pergaulan, atau terkait masalah politik.
            Jangan-jangan salah dengar dan salah lirik ini tidak hanya milik saya.

 11 Maret 2019

1 komentar:

alrisjualan mengatakan...

Batua. Ambopun acok mandanga huruf t seperti diucapkan sarupo c dalam lirik lagu pop Indonesia. Kalau dalam lagu Minang lai tatap diucapkan t. Sapanjang pandangaran ambo. :)

Salam kenal sanak.
http://alrisblog.wordpress.com