Harusnya aku berbelok ke kiri saja begitu melewati lampu merah di
pertigaan jalan tadi. Mengambil arah kiri akan lebih dekat sampai ke rumah,
tapi sewaktu-waktu ada razia—kadang sampai jauh malam. Berbahaya buatku yang
tak memiliki surat-surat kendaraan yang lengkap. Aku memilih memacu motor lurus
ke depan. Menjelang perempatan, jalanan tampak kosong. Gerimis jatuh satu-satu.
Toko-toko yang kulewati sudah dari tadi tutup. Rasanya aku seperti melewati kota
yang sudah lama ditinggalkan.
Di ujung jalan, aku dihadang lampu
lalu lintas yang menyala merah. Aku berniat menerobos kalau saja kendaraan dari
arah kiri tidak menyerobot duluan. Aku menarik resleting jaket, gerimis membuat
tubuhku basah. Di motor tak ada mantel hujan. Rasanya sangat konyol jika harus
berhenti dan berteduh. Ini hanya gerimis saja. Lagi pula terlalu sepi di sini,
hanya ada bekas sawah yang dikeringkan dengan papan pengumuman: dijual. Di
sebelah yang lain berdiri kantor pemerintahan yang memiliki pagar tinggi.
118, 117, aku membaca penunjuk angka di samping lampu merah. Di
waktu-waktu tertentu petunjuk itu sering kacau. Dan ini sungguh-sungguh sangat
lama bagiku. Satu-satunya cara menunggu yang tidak membosankan adalah ikut
menghitung mundur angka itu. Aku menghitung dalam hati lebih pelan dari gerakan
angka yang terpasang di atas tiang lampu. Itu cukup mengurangi waktu.
Aku mulai menghitung mundur dalam
hati. “112, 111, 110…”
Aku menengok ke samping. Seorang
gadis di atas motor matic-nya berada beberapa senti di sampingku. Ia menatap
lurus ke depan dengan perasaan yang begitu tenang. Kaki kanannya yang
diturunkan ke jalanan yang mulai basah, bergoyang ringan, membuat daging-daging
kakinya ikut bergetar. Kaki semampai yang terbuka itu berkilau dihantam
gerimis.
Aku bisa mencium aroma parfumnya
lamat-lamat. Aku memperhatikan sekeliling. Cuma ada kendaraan kami. Kenapa dia
sendirian malam-malam? Kenapa ia berada sedekat ini denganku? Apa dia tidak
takut kalau aku menggoda dan berniat buruk padanya? Atau berada di sampingku
cukup aman baginya jika ada pengendara lain yang berniat iseng? Jarak kami
cukup rapat, setang motorku nyaris beradu dengan pegangan jari tangannya. Hanya
dia agak sedikit maju beberapa senti dan itu cukup menguntungkan. Aku bisa
menatapnya dengan bebas, memperhatikan dia keseluruhan. Sementara jika dia
ingin memandangku, ia harus memutar kepala sedikit ke belakang. Rambutnya yang
lurus dan hitam menyembul dari helmnya. Bentuknya mungkin tak jauh beda dengan
rambut anak muda lainnya, berponi dan lurus-panjang di bagian belakang. Butiran
gerimis membentuk bulatan-bulatan kecil di sekujur helmnya yang hitam. Ia
memakai kaos putih yang penuh dengan tubuhnya yang tinggi semampai. Celana
dalam menyembul dari bawah kaos dan celana pendek coklat sepaha yang
dikenakannya.
Aku bisa menelanjangi dirinya dari sini. Melihat garis kutang yang
dipakai, kulit punggungnya yang kuning terpampang lebih transparan karena
cahaya dan butiran gerimis yang menimpanya. Aku bisa dengan bebas melihat kulit
pahanya yang padat-kenyal. Menyusuri lututnya yang bersih, betisnya yang
ramping, tumitnya yang bersih, hingga ujung-ujung jarinya yang menyembul dari
balik sandal karet yang dikenakan. Ia berdandan seperti tanpa berdandan.
Sekejap, mata kami bertemu. Dan sumpah, aku gugup setengah mati. Seketika
aku mengalihkan pandangan ke penghitung waktu. 73, 72, 70, 69... Astaga,
rasanya cepat sekali waktu ini bergerak.
Seandainya aku mengenalnya, tentu akan ada percakapan
yang bisa saya mulai. Dia pasti akan membalas dengan antusias pembicaraan
pembuka itu, mengingat dari bentuk wajah dan garis bibirnya, dia bukanlah gadis
yang pendiam dan pemalu, namun juga tidak termasuk tipe perempuan yang cerewet
dan judes. Mungkin aku akan bertanya apakah dia merasa dingin karena hujan dan
angin malam. Kalau dia mau aku akan membuka jaket, membiarkan dia memakainya,
membuat bau kami saling bercampur. Besok, aku punya alasan untuk berkunjung.
Puncak hidungnya terlihat merah, ah, pasti dia tidak terbiasa dengan gerimis dan
angin malam. Aku yakin di rumah nanti dia akan diserang flu habis-habisan.
Bibir tipisnya melengkung datar.
Bagian atasnya lebih tinggi atau bibir bawahnya yang agak sedikit mundur ke
belakang. Dan itu membuat dagunya sedikit melengkung, meninggalkan bentuk
pecahan pada ujungnya. Aku tak tahu di tahun-tahun belakangan apakah kecantikan
masih bisa dilihat dari bentuk dagu dan garis bibir. Rambut berponi, kaos putih
ketat dan celana sepaha seperti dikenakan gadis ini membuat perempuan terlihat
sama di mataku. Belum lagi anting yang terpasang di hidung, dagu, bibir, lidah
dan pusar menambah-nambah nilai keseksian seorang wanita. Tapi gadis ini lebih
menarik. Alisnya tebal dan sudutnya terlihat begitu tajam. Aku mencoba
meyakinkan bahwa gadis di sampingku ini memiliki kecantikan yang alamiah. Sudah
ada begitu saja sebelum produk-produk sialan itu memaksakan kehendak mereka.
Aku berharap kami bisa saling
mengenal. Bertukar nomor HP atau alamat facebook. Kukira akan menarik,
aku bisa melihat koleksi fotonya yang pasti banyak dan tidak dibikin amatir,
misalnya dengan mengarahkan kamera dengan tangan kanan dan mengacungkan dua
jari kiri di depan wajah yang memasang senyum cerah. Mungkin dia mahasiswi di
unversitas, institut jika bukan sekolah tinggi, atau akademi yang tersebar di
kota ini. Di kampus, kawan-kawan fotografinya—hampir di setiap kampus selalu
ada komunitas ini—tentu akan memintanya menjadi model mereka. Atau jika ia
bekerja di salah satu distro, café atau coffee shop dan aku tetap yakin
dia menyimpan foto-foto yang lebih matang.
Apakah aku akan menyapanya? Bagaimana jika dia tidak merespon? Sementara
kendaraan dari arah depan terus melaju lurus dan ke arah kiri kami. Tak ada
celah untuk lari. Tapi kupikir dia tak sejahat itu. Aku tak akan menolak untuk
mengantarnya sampai ke rumah atau tempat kosnya. Harus benar-benar yakin ia
sampai dengan selamat. aku akan dengan senang hati membikinkan dia jeruk atau
jahe hangat. Aku khawatir, kota ini sudah mulai tak aman. Hampir setiap malam
mulai ada pencurian dan perampokan. Seseorang bisa saja kehilangan barang
berharganya di tengah jalan. Laptop atau dompet, tas kecil atau bungkusan di
gantungan motor. Belum lagi isu pembacokan di jalan-jalan. Beruntunglah gadis
ini tak membawa apa-apa. Tapi penampilan dan kecantikan yang tak bisa
dilepaskan, akan mengundang kejahatan lain yang tentu lebih menakutkan. Aku
pernah mendengar cerita seorang anak kos yang kelaparan di tengah malam minta
diantar membeli gudeg pada tukang ojek. Gadis itu diperkosa, dan ditinggalkan
telanjang di tengah malam.. Aku juga punya teman yang masuk rumah sakit karena
dipukuli gara-gara perampok tertarik pada tas kecilnya yang hanya berisi sikat
gigi. laptop tetangga kosku yang hilang ketika kamar kosong ditinggal shalat
jum’at. Kasus pencurian, penodongan, kehilangan, pembunuhan, intimidasi bagi
mahasiswa di kota yang dulu aman-tentram ini, berebut tempat di dua koran
kriminal yang bersaing di kotaku.
42, 41, 40. Sialan, pikiranku sudah melantur ke mana-mana. Aku menengok
ke belakang, masih belum ada kendaraan lain. Hanya kami, dua kendaraan saja. Gerimis
terasa semakin deras. Tapi aku kehilangan rasa dingin dalam sekejap.
Dia menatapku dengan ekor matanya.
Apakah aku harus menyapanya? Menanyakan dari mana dan hendak ke mana? Jika dia
mau meladeniku tentu amat menyenangkan perjalanan ini. Tapi jika tidak, betapa
menyiksanya. Aku tak akan kuat menanggung malu dan berada di bawah lampu yang
masih berwarna merah ini. Atau jangan-jangan dia akan ketakutan dan segera
memutar ke kiri jalan. Mungkin perjalanannya menjadi tambah jauh, tapi
setidaknya dia merasa aman.
34, 33… Sial! Aku merasa waktu
seperti berlari di hadapanku kini.
Di tengah malam begini, di bawah lampu yang menyala merah, gerimis pula,
dan tak seorang pun ada di antrian selain kami. Gadis mana yang mau meladeni
seorang lelaki yang tak lagi muda ini?
Kupikir dia mungkin saja terlambat
pulang dari tempat kerja atau baru dari tempat temannya. Bisa jadi dia baru saja
mengantarkan kenalannya ke stasiun, terminal atau penginapan. Mungkin ia habis
nongkrong dengan temannya di pusat kota atau kedai kopi. Atau mungkin saja dia
hendak atau habis dari tempat kekasihnya. Apakah dia sudah punya pacar? Keterlaluan
sekali laki-laki itu yang membiarkan gadisnya berkendaraan malam-malam. Hujan,
dingin dan tentu tidak aman.
28, 27… waktu benar-benar berlari.
Apakah aku perlu menyapanya sekarang? Beberapa kali mata kami bertemu. Mimik
wajahnya tak berubah. Ia tetap tenang dan santai. Ia tidak berekspresi
berlebihan. Sesekali kakinya masih bergoyang, menggetarkan semua daging yang
bergelayut di tubuhnya. Apakah ia sedang bahagia? Kalau pun dia bersedih, dengan
wajah yang sekarang, tak satu pun orang yang tahu kesedihannya.
Gerimis masih turun. Kulihat ia
menyeka wajah seperti yang baru saja kulakukan. Dan aku melihatnya seperti
gadis yang baru bangun dari tidur. Dia kembali melirik dan mata kami bertemu
untuk ke sekian kalinya. Gila, aku tak kuat untuk tak menghindar. Aku membaca
penghitung waktu. 16, 15… Aku tahu dia
mengamatiku dengan seksama.
Jika saja ada perubahan emosi dari
wajahnya, aku akan segera menyapanya. Dan hap! Pandangan kami kembali beradu. Mungkin
aku berkeringat, tapi beruntung malam dan gerimis telah meleburkan semuanya.
9, 8… sebentar lagi kami akan melewati jalan yang sama. Bergerak lurus ke
depan dan menghadapi lampu merah yang tak terlalu lama dari yang sekarang. Kami
mungkin akan segera berpisah, di depan, jalanan yang lebih besar menghadang.
Puluhan atau mungkin ratusan kendaraan akan memisahkan kami, perempatan dan
pertigaan jalan akan membuat kami tak akan pernah saling mengenal. Bisa jadi
kami tinggal di daerah yang sama, kemungkinan untuk bertemu hanya satu
dibanding seribu. Ini perpisahan yang menyedihkan buatku.
Kota ini penuh lampu merah dan
sangat tidak beraturan. Tak jauh di depan sana, akan ada lampu merah lagi.
Mungkin arah kami sama atau berpisah di sebuah pertigaan atau perempatan. Bisa
saja kami akan mengendarai motor dengan pelan, menikmati hujan dengan tubuh
yang terlanjur basah ini. Atau berhenti di sebuah kedai kecil, atau angkringan
lalu memesan teh hangat atau jahe. Tapi rencana yang terakhir ini kukira
terlalu berlebihan.
Apa rasanya berjalan dengan perempuan berusia belasan tahun bagi lelaki
yang sudah berusia tiga puluh dua?
Suara klakson di belakang cukup
mengagetkan. Dengan spontan aku menarik gas dengan kecepatan tertentu. Astaga,
belum hijau. Pengendara lain pasti sedang iseng dan berniat mengerjai. Untung
aku belum melewati marka jalan. Sialan, sudah sejak kapan ada kendaraan lain di
antara kami? Aku melihat gadis itu tersenyum. Tentu tingkahku terlihat lucu
baginya. Ini pertanda baik untukku memulai percakapan di lampu merah di depan
sana, kalau dia mau.
Masih dua detik lagi. Aku berada
beberapa senti di depannya. Dia bisa menatapku lebih bebas. Ini membuatku panas
dingin, karena aku tak mungkin berani menoleh ke belakang. Lalu dengan satu
gerakan dia melaju. Lalu suara klakson di belakang yang seperti memaki dan
mengejekku.
Aku melewati dia yang memacu kendaraan
dengan tenang dan terjaga. Gerimis masih jatuh. Dari spion aku melihat dia tak
jauh di belakangku. Sebentar lagi perempatan. Aku sudah bisa melihat lampu
hijau di sana menyala. Aku sengaja memperlambat laju kendaraan, berharap dia
akan melakukannya pula dengan spontan. Aku ingin kami terjebak untuk kedua
kalinya di lampu merah. Dia mengikuti gerak kendaraanku, tidak mencoba
mendahului. Ayo merah, merah…
Dia masih berada di belakangku.
Sebelum kami sampai di perempatan, lampu berwarna kuning. Yup, kami akan
sama-sama terjebak lagi. Untuk pertama kalinya aku merasa berhutang budi dengan
lampu merah. Tapi sebelum warna kuning berubah merah, dia menyerbu lebih dulu,
membunyikan klakson dan melaju seperti kilat. Aku memundurkan gigi motor
sebelum mengejarnya. Tapi kendaraan dari arah kiri sudah lebih dulu menyerbu.
Aku hanya bisa menatap gadis cantik itu menghilang di seberang jalan lalu
tenggelam bersama malam.
Rasanya 90 detik di bawah lampu
merah akan sangat menyiksa.
Yogyakarta, Februari 2010-April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar