SLTP N 3 Batangkapas |
V
Taluk dan
Ingatan Masa SMP
Ini tentang perjalanan yang dicatat berdasarkan ingatan. Kami
memulai perjalanan pada Kamis 18 November 2010 dari kampung kecil saya di
Lansano, ketika itu masih merupakan Kenagarian Taratak. Hari ini, Kenagarian
Taratak, kampung kecil di pinggir jalan raya yang terletak di sepanjang jalan
antara Kenagarian Taluak dengan Nagari Surantih ini telah dibagi menjadi 3
kenagarian. Apa? Tiga kenagarian boo.
Daerah yang dihuni 7.681 orang pada sensus tahun 2010 ini dengan
luas wilayah 4.900 ha/m2 telah menjadi Kenagarian Poto Taratak,
Pasar Taratak dan kenagarian Lansano. Aih. Taratak dan Lansano kini memiliki
pemerintahannya sendiri-sendiri. Apa yang menyebabkan kampung dengan sumber
daya nyaris kosong ini berani memecah wilayahnya kembali seperti pola di zaman
orde baru? Saya tak tahu, dan saya belum bisa menjawabnya sekarang.
Barangkali perjalanan harus kita teruskan.
Sampai di mana kemarin?
Kulirik Anton memejamkan mata, berusaha untuk tidur, Komeng melongok
tajam ke jendela, Angga dengan manis mengendarai mobil. Oke baiklah, kita lanjutkan kalau begitu. Sepanjang empat bab
sebelumnya kita baru berjalan dari Lansano, Taratak, dan baru akan masuk ke
Taluak. Belum sepuluh kilo perjalanan.
Jalan kecil, berliku dan terjal akan mengantarkan kita ke jembatan
pertama. Hati-hati dengan jalan sepi di kaki bukit dan yang tampak lengang itu.
sesekali sapi atau anjing bisa menyeberang, jika tidak itik atau ayam. Waspada,
perhatikan jalan. Kampung pertama, sepanjang satu kilo lebih, barangkali memang
masih kosong. Pegunungan yang berganti kebun, rumah-rumah yang jauh dari jalan,
sederhana, berdiri di bawah pohonan teduh dan batang kelapa. Anak-anak manis
dan sederhana menganggap jalanan sebagai hiburan yang paling masuk akal, lewat,
ngebut dan aktivitas manusianya adalah tontonan yang tak boleh membuat mereka
bosan.
Sempit, berlubang, kampung lengang akan membawa kita pada jembatan
pertama, menuju keramaian yang agak berbeda. Kita baru saja meninggalkan
kampung Ujung Batu yang sepi dan seperti ditinggalkan. Kosong dan kelam, merana
tetapi ramah. Kampung Ujung batu, singgahlah sesekali di sana, sapa anak-anak
yang malu-malu itu. Jika ada penjaja kue keliling, ajaklah anak-anak itu makan,
sungguh, amat jarang pedagang kue keliling yang sudi mampir ke kampung ini.
Lengang, sepi pembeli. Kampung yang dibesarkan bau laut dan ketika di musim
ikan dulu, jaring pukat menghampar di sepanjang pinggir jalan. Di sini ada rumah Momon teman sekolahku.
Kita sampai di jembatan. Rumah pertama di sebelah kanan kalau kita
dari selatan adalah rumah almarhum mamakku, Markis. Singgahlah di sana. Ada
mintuo yang ramah dan anak gadisnya Yuni yang akan mendengarkan Anda
bercakap-cakap. Di keluarga ini aku pernah tinggal sekitar setahunan. Mungkin
lebih. Sejak mamak, di tempatku biasa disebut Uwan, meninggal, rumah ini
menjadi benar-benar sepi. Mengenai Uwan Markis, sudah ada catatan di blogku
mengenai itu.
Rumah itu tenggelam di antara rumpunan bakau dan rawa-rawa. Jika
musim hujan dan gabak di hulu, air tak hanya menggenangi lantai rumah, tetapi
juga sampai ke dinding-dinding. Lihatlah, bahkan warna cat di dinding rumah itu
memberikan batas air yang kentara.
Dulu aku tinggal di rumah uwan ketika SMP. Sekolahku yang kacau,
membuat Uwan Markis membawaku ke sini. Jelas agak lebih dekat dari sekolah,
ketimbang aku mengayuh sepeda dari Lansano sana, atau menunggu tumpangan yang
seringkali tak berbaik hati. Aku satu-satunya siswa paling jauh di SLTP 3
Batang Kapas itu. Berangkat sekolah lebih sering mengandalkan kebaikan pegawai
negeri yang naik motor dan mobil pribadi,d an bus yang masih kosong dan kini
telah tak ada.
Uwan punya empat anak, Uda Eka yang jadi tentara dan sekarang di
tugaskan di Bandung atau di Jakarta, uda Izen bertugas di Padang Panjang
Panjang, si kecil Nedi sekarang kabarnya bertugas di Natuna. Lalu Yuni, si
bungsu yang lucu itu sekarang baru saja tamat dari SMA-nya dan kabarnya juga
sedang kuliah. Mintuo pasti amat kesepian sekarang.
Aku mengenal sebagian orang-orang di
sini. Kawan-kawan SMP-ku juga ada di sini. Ada Ides yang tomboy sekarang
bekerja di Padang dan sempat menjadi caleg entah dari partai mana. Ada Zulfikar
yang kabarnya baru menikah. Beberapa kawan yang lain aku lupa namanya. Iret,
atau siapa lagi. Ada Jang Enek agak ke selatan, aduh aku bahkan lupa nama
kawan-kawanku sendiri. Teman baikku yang di depan dan samping pos ronda (kini
sudah tak ada) bahkan kini aku lupa namanya. Di sini pula aku pernah ‘dipaksa’
suka kawan satu kelas gara-gara dia pintar renang. Kisah yang memalukan. Dia
ternyata dia ponakan dari kawan tidurku. Dulu rumah Zulfikar itu kosong menjadi
tempat tidur para anak bujang. Aku sering ngobrolin Rena di sana dan ternyata
Uwannya salah satu orang yang menjadi tempat curhatku. Suatu malam dia berkata
padaku dengan setengah mengancam, “Kamu serius dengan ponakanku?” Lututku
bergetar hebat dan nyaris pingsan mendengarnya. Yang aku tahu, dulu Rena adalah
pacar Hadi, teman sekolahku di kelas IA.
Di sana juga ada bang Ed yang mengajariku bagaimana seharusnya
mengajak Milda Yeni teman sekelasku waktu kelas satu SMP dan bintang sekolah
itu untuk jalan-jalan. Meski sudah belajar mati-matian mengajak Mimil, biasa ia
disapa sekaligus belajar mengungkapkan rasa suka, tak satu pun pelajaran yang
kuhapal luar-dalam dan kuajarkan pada remaja-remaja yang sedang kasmaran itu
bisa kupraktekkan. Aku tak tahu sungguh-sungguh ketika itu, apakah aku
betul-betul menyukai Mimil atau hanya kagum pada dia yang terlalu cepat jadi
remaja. Yang aku tahu, aku merasa sangat dekat nyaman bersamanya. Dia memberiku
buku harian yang sampai lama masih saja aku simpan. Lalu kisah manis itu lepas begitu
saja seusai masa sekolah.
Di persimpangan SD ada jalan ke mudik. Di bagian dalam ada lapangan
bola. Aku sering main ke daerah ini. Dulu ada warung-warung tempat main domino
dan minum kopi di pertigaan ini. Ramai dan selalu padat. Di dalam ada temanku
yang jualan kerupuk dan lontong-pical di sore hari. Aku sering main ke sini.
Harusnya, yendri Suherman bisa membantu saya mengingatkan nama dan orang-orang
yang kami kenal di tempat ini. Dia punya pacar, adiknya temanku yang berumah di
daerah sini. Hehe..
Kita akan melewati kawasan Taluk
yang lurus. Jalanan yang memanjang dengan satu pertigaan menuju kampung di
Mudik. Di sini ada makam di kiri jalan. Rumah teman sekolahku, rumah cewek
cantik teman sekelas yang aku lupa namanya. Memanjang lagi, hati-hati di
sebelah kiri ada muara dan masjid mungilnya. Kami baru saja melewati beberapa
rumah teman-teman lama, guru dan kenangan yang masih lekat di kepalaku. Di
depan muara ini ada temanku gadis berambut keriting yang pindah ke padang.
Lagi-lagi aku susah mengingat nama. Dari kakaknya, aku juga lupa namanya, dia
sering menitip salam padaku.
Ada pertigaan yang menuju Pasar Taluk ada rumah beberapa teman lagi.
Rumah Bu Af, guru matematika, di sebelah masjid ada rumah Afmidi, di dalam ada
rumah Wedra…
Jalan kepasar dengan banyak cabang-cabangnya, setiap rabu adalah
hari pasar. Pasar kecil itu tak terlalu ramai, tapi cukuplah buatku cabut dari
sekolah untuk mempelototi album terbaru Rhoma Irama yang merupakan garapan
ulang lagu-lagu lamanya. Kaset itu akhirnya terbeli juga setelah aku duduk di bangku
SMA. Aku lupa nama albumnya, tapi ada lagu: kumemujamu, melaluinya lagu nada
indah, oh pesona…
Di pasar ini, setelah aku kelas
tiga, seringkali aku dan Izal, tentu juga Sihen, teman sekolah sejak SD dapat
jatah martabak dari teman kami yang tinggi-besar, tetapi baik hati. Dia jualan
martabak, dan di hari rabu itu ia masih menyempatkan waktu membantu jualan. Dia
sering membungkuskan kami setengah potong martabak, atau jika kami punya uang
berlebih, memberanikan diri masuk ke kedai teman kami ini, dan main kode-kodean
ketika membayar. Kami pura-pura membayar, dia pura-pura mengembalikan uang.
Setelah jembatan kita akan bertemu persimpangan menuju SMP. Sebuah
masjid di bagian kanan sebelum jembatan, tempat kami mengadakan acara isra’
mijrat yang sebelumnya di dekat masjid kecil dekat muara tadi. Maka…
“Pelan Angga, pelan…” Bisikku pada sang sopir.
Ada papan besar bertulis: SLTP N 03 Batang Kapas. Di sinilah aku
sekolah. Jika masuk ke persimpangan kita akan berhadapan dengan pantai yang
akhir-akhir ini ramai di minggu petang. Di pertigaan itu dulu ada rumah makan
dan sebuah warung. Yani, anak pemilik warung yang cantik itu juga teman SMP-ku.
Aku punya banyak teman di masa-masa itu. aku remaja yang riang dan masih
anak-anak namun sedang genit-genitnya.
Aku tak tahu lagi kabar teman-temanku itu selanjutnya. Aku
merindukan mereka. aku merindukan sebuah masa ketika perpisahan sekolah. Ketika
kami istrirahat di bangku-bangku kayu dan taman yang kami bikin untuk mata
pelajaran di sekolah. Aku merindukan kelas 1A dengan kawan-kawan yang ramai.
Aku merindukan masa-masa ketika ada di kelas lain dan sebagian besar
kawan-kawan lain ada di kelas IIA yang baru, Beberapa nama mereka kutemukan lagi
di facebook. Beberapa di antaranya telah berteman denganku lagi. Apa daya,
waktu yang lebih dari 15 tahun itu tak mampu mendekatkan kami lagi. Bahkan
sebuah group sekolah di FB itu pun tak mengembalikan ingatanku tentang
kawan-kawanku yang dulu. Namun aku suka kagum melihat kawan-kawanku di sana. Luar
biasa, sudah jadi orang beneran mereka sekarang. Sebagian besar kawan-kawanku
ini tinggal di kawasan Pasar Taluk dan daerah mudik. Setelah tamat dari SMP aku
hanya bertemu sekali-dua dengan mereka. Bahkan nyaris tak pernah.
Beberapa nama ini masih bisa kuingat: Andri Sudra, Novi Mulyadi, Jhondra Volta yang selalu kuanggap mirip dengan Wedra Winanda, Sri sosanti, Milda Yeni, Desi Sasnarita, Lina Olja, Hadi Kusuma, Yendri Suherman
Aku mesti mengingat nama-nama mereka lagi. Masih ada banyak. Beri aku waktu dan bantu aku.. (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar