BEGITULAH.
Inis yang sudah lama menghilang kini kembali ke rumah. Semua orang
meributkan kejadian itu. Kedatangan dan kepergiannya sungguh jauh
berbeda, bagai langit dan bumi. Dulu ia pergi dengan keadaan paling
murung dan dikutuk banyak orang: melompat jendela, di hari Selasa, di
tengah malam pula. Kini dia pulang dengan kesempurnaan seorang wanita.
Cantik dan kaya.
"Berubah
sekali dia tampaknya. Jengatnya putih berkilat, gelang dan kalung
bergelantungan di badannya. Senang benar tampaknya hidup dia," kata Mak
Tando pagi itu di kedai Guru Abek sambil mengunyah lontong gulai
cubadak. Lepau itu tampak ramai sepagi ini, oleh orang tua dan gadis
muda.
"Tak itu
saja, Mak Tando. Kulitnya berminyak, bajunya bagus-bagus. Awak melihat
benar dari dekat, dan bercakap-cakap barang sekejap," ujar Tek Sidar tak
mau kalah.
"Iyalah,
jadi orang dia tampaknya. Tidak serupa anak gadis kita, yang kusut dan
tampak hitam. Berpanas setiap hari. Aih, kulitnya tiada berdaki, mukanya
bersih berkilat, tidak serupa kita yang dipenuhi bintik hitam dan
jerawat batu meskipun sudah pakai bedak beras," Ijui menyahut pula dari
sebelah.
"Entah
rantau mana yang dia tuju sehingga bisa hidup sesenang itu," kata Mak
Tando, sambil meletakkan piring makannya. Bersendawa besar dan segera
meraih gelas minum.
"Itu
yang belum sempat awak tanyakan. Bertemunya sebentar saja awak
dengannya, kemarin pagi, ketika awak hendak ke mengatur air di sawah
Munggu." Tek Sidar mengusap mulut, menggigit kerupuk merah yang
berderuk. "Awak cuma bertanya, 'Kapan datang, Nak Gadis?' dia menjawab
sambil tersenyum, berseri-seri muka dia. 'Tek Sidar, ya? Baru semalam'
begitu jawabnya. Masih ingat jua dia dengan orang gaek ni. 'Ah, tidak
akan lupa awak do, Tek' katanya pula. Lalu dia bertanya soal
anak-anakku. Ya kubilang saja apa adanya 'Nde Nak, oi. Si Igus sudah
beranak dua, Nan Tina alah meranda, Osep dan Kudil di Malaysia, mengekas
mencari beras. Si Andi sudah tak tahu ke mana, hilang lenyap di rantau
orang. Sangsai, Nak oi. Sangsai' begitu kata awak. Nan dia tersenyum
saja dan menyuruh awak bersabar saja."
Selesai
bercerita, Tek Sidar kembali mengunyah sisa lontongnya, lalu memesan
bubur pulut hitam. "Pakai lupi," Katanya pada Empol yang sibuk di
belakang meja.
Idek
mendengus. "Tapi, bagaimana pun dia pernah berbuat salah," katanya.
Semua perempuan yang ada di lepau itu terdiam sejenak. Ingatan mereka
mundur ke belakang, beberapa tahun yang lalu.
"Ah..
apa yang dikerjakan di rantau coba sehingga bisa tampak sesenang itu.
Siapa pula yang tidak mencoba merantau di kampung ini, tak ada yang
tampak serupa dia. Masa merantau dengan ijazah SMA saja bisa pulang
dengan emas sebanyak itu. Negeri mana malah yang dia pijak?" Idek
kembali mencerocos. Semua orang diam mendengarkan. "Tak ada yang tahu
bukan, ke mana dia menghilang lima tahun ini? Dan apa kerjanya di rantau
orang?"
"Benar
itu," Ijai menyahut dari seberang meja. "Anak gadis merantau sendiri,
tak lazim pula tanah yang dia pijak. Entah di negeri mana malah dia
berdiam."
Warung
kecil yang terdiri dari pondok di depan rumah Guru Abek itu mendadak
sepi. Para perempuan yang terdiri dari ibu-ibu dan remaja putri juga
beberapa anak sekolah memenuhi pondok kecil itu yang terletak di bawah
pohon jambu air besar yang daunnya bertebaran di musim panas begini. Di
seberang, di bengkel Sibe, Epen tampak memutar-mutar mesin dinamo.
Sepagi ini tangannya sudah hitam oleh oli dan gomok. Di jalan,
beberapa anak sekolah berjalan agak ke pinggir. Beberapa remaja SMP dan
SMA bergerombol di depan pagar, menanti oto yang akan mengangkut mereka
ke sekolah masing-masing. Beberapa oto tambang balai berhenti di depan
mereka, sebagian masih tampak kosong, tapi tak satu pun dari mereka
bergerak.
"Ndak, Da. Nanti saja," jawab mereka setiap kali oto berhenti.
Selalu seperti itu, mereka menunggu angkutan yang lebih bagus, yang mesinnya masih halus, catnya belum menggelupas.
"Belum juga berangkat, Kau," pekik Ni Janah pada anak gadisnya yang memakai seragam SMP.
"Amak ini. Nantilah. Menunggu oto Uda Ijal."
Begitulah
setiap pagi, kampung kecil itu telah berdenyut jauh sebelum embun pecah
dan kabut terbuka. Subuh, mereka, para ibu dan anak gadisnya bersitungkin
di dapur, merebus air, menghangatkan gulai semalam, memasak nasi,
mencuci piring. Anak gadis memilih jalan aman, menyapu halaman. Ketika
matahari baru tumbuh di balik Bukit Timbulun, laki mereka sudah bangun.
Dengan sarung melilit mereka menyerbu kamar mandi. Segera segelas kopi
terhidang di atas meja. Setelah itu anak-anak berebut mandi, siap-siap
hendak sekolah. Si ibu menyerbu warung, membeli sabun dan keperluan
dapur lalu masuk ke kedai lontong.
Pagi
sepenuhnya milik perempuan. Laki-laki cukup menikmati segelas kopi dan
beberapa potong kue yang dijajakan anak-anak sebelum berangkat ke
sekolah, atau dibeli sang istri dari warung. Selalu tersedia godok kalau
tidak onde-onde ubi, kue tepung tapai, kue talam, goreng pisang, ubi
atau talas. Ritual pagi sebelum mereka menyantap nasi dan berhembus ke
sawah dan ke ladang.
"Siapa yang bisa tahu kerjanya dia?" Suara Idek membuyarkan lamunan penghuni lapau kecil itu.
"Coba
bayangkan, di negeri mana yang bisa membuat orang sesenang itu. Lihat
dia, tinggi terurus, bersih dan ramping. Kesenangan terpancar benar dari
wajahnya. Banyak pula uangnya. Tentu kerjanya bersenang-senang saja.
Nah, kita tahu belaka, kata amaknya, Etek Rainas, dia belum juga
berlaki. Lalu duit dari mana pula dia dapat? Dan usia setua itu belum
berlaki? Tak percaya awak." Ketus terdengar suaranya.
"Ho.. lihat saja pantatnya sudah kempes. Siapa yang ngasih
uang pada dia untuk makan dan bersenang-senang kalau dia tidak...,"
Ijai menjawab sambil mengusap bibirnya yang merah oleh gincu, sebagian
lengket di tangan. Dia tak melanjutkan kata-katanya, memandang orang
sekeliling.
"Melonte.
Tentu saja melonte." Suara Idek terdengar keras, sampai ke pinggir
jalan, di mana para remaja masih bersitungkin menunggu mobil. Terdengar
ke telinga Epen yang sedang memutar mesin dinamo.
***
INIS
bukan tak tahu percakapan itu. Jauh sebelum kepulangannya kini, sudah
dia duga kemungkinan-kemungkinan itu. Ia paham belaka bagaimana
orang-orang di kampungnya mempercakapkan siapa saja, menyingkap aib
siapa saja. "Mobil yang mendaki, mereka yang sesak napas," begitu kata
Amaknya berkata ketika dia pulang. "Tapi ndak usahlah diambil
hati. Memang sudah begini perangai orang kita. Kita yang mengalami
peristiwa baik-buruk, orang lain jualah yang meributkannya."
Dan dia,
dengan keberangkatan yang tidak wajar telah membuat aib keluarga itu
serupa tak selesai-selesai. Kepergiannya di sebuah malam, di hari Selasa
dengan melompati jendela telah membuat orang ribut dan menganggap
tindakannya sudah keterlaluan.
Jika
kini banyak orang mempercakapkannya dengan segala kebaikan dan keburukan
dia tak lagi merisaukannya. Kampungnya, di mana hamparan sawah, gunung,
dan pantai yang memanjang, serupa nasib orang-orang: retak di musim
kemarau, bocor di musim hujan. Sawah tak lagi menjanjikan, bukit-bukit
terbakar, ladang dibiarkan menjadi hutan. Waktu lebih banyak dihabiskan
para ibu dan anak gadisnya di beranda, mencari kutu dan bercakap
ini-itu. Kampung makin lengang, anak muda mencoba mengadu nasib ke
negeri orang. Kepulangan tak membawa perubahan apa-apa. Jalan makin
lengang, warung kopi hanya diisi oleh gerutuan-gerutuan dan
obrolan-obrolan ringan, sebentuk kekalahan laki-laki di sawah-ladang.
Laut tak pula bisa diharapkan. Debu berterbangan sepanjang siang.
Di
musim-musim seperti itu Inis pulang, saat di mana orang-orang merayakan
kekalahan gemilang. Kampung serupa penjara kecil saja. Dalam keadaan
serupa itu, ia bisa membangunkan rumah buat keluarganya. Rumah yang
sudah lama doyong dan lapuk. Sebagai anak tertua dia merasa berkewajiban
membantu keluarganya. Tiga orang adiknya kali ini bisa memperlihatkan
muka di depan banyak orang. Rumah mereka sudah berlistrik, motor bebek
terparkir di depan rumah yang sepenuhnya baru: rumah batu beratap
tinggi, lantai keramik, membuat siapa saja betah berteduh di sana.
Orang-orang
kini tak lagi perlu bertanya apa yang dikerjakan di rantau orang.
Hampir tak ada yang mempercakapkan lagi bagaimana dia bisa tidak terkena
tulah oleh sikap nekat dan keterlaluannya dulu, yang pergi diam-diam
dan tak layak dilakukan oleh seorang anak gadis: melompat jendela di
malam buta, di hari Selasa pula. Selasa adalah hari api, tak baik
melakukan perjalanan. Tapi Inis, dengan kenekatannya, dalam waktu
beberapa tahun saja mampu memperlihatkan kepada orang sekampungnya, tak
ada bala, tak ada apa-apa yang buruk terjadi padanya.
"Untung
kau tidak menerima pinangan Epen dulu, Nak. Bakalan sengsara kau," bisik
Mak Tando padanya. Hampir sepanjang siang rumahnya dipenuhi ibu-ibu
sekadar berbincang dan numpang berteduh di beranda yang dingin itu.
"Kenapa memangnya, Tek?"
"Wah..
lihat saja dia sekarang. Kapalnya habis terjual. Usaha kayunya tak
jalan-jalan. Usaha penjualan terinya pun mengambang di tengah jalan. Kau
lihat dia sekarang, orang kaya itu terlunta-lunta, menumpang kerja di
tempat orang. Tiap hari tangannya bergomok, sepanjang siang membongkar dinamo dan mesin-mesin. Di sini Nak, hidup selalu menurun, tak pernah mendaki..."
Inis
menarik napas. Ia ingat betul, keluarga Epen adalah orang kaya. Dia yang
berkuasa atas teri dan ikan asin di pelabuhan batang Surantih. Dia
punya kapal penangkap ikan, semua kini habis terjual.
"Orang kaya ternyata punya utang banyak pula. Seperti kita juga." Balas Mak Itam sambil mengunyah sirih.
Tapi itu
pula yang mencemaskannya. Kepulangannya kali ini hanyalah untuk
menengok sang ibu yang sering sakit-sakitan dan sekadar melepas
kerinduan. Tapi kepulangan ini pula yang membuatnya berat hati.
Orang-orang semakin banyak berkeluh padanya. Orang tua tentang anak
gadisnya, para dara yang mempercakapkan nasibnya. Kesimpulan dari itu
semua adalah keinginan mereka mengikuti jejak Inis ke tanah rantau. Ke
tanah lain yang tak terpikirkan oleh orang-orang, kecuali untuk
melanjutkan sekolah. Tanah Jawa, negeri sendiri tetapi begitu asing di
telinga.
"Bagaimana
pula mencari kerja di sana. Sedang mereka berbondong-bondong datang ke
sini, ke tempat terpencil dan tak tersentuh cangkul." Kalimat Epen itu
masih terngiang di telinganya ketika dia mencoba mendekati Inis.
"Siapa tahu, Da. Siapa tahu awak bisa mengadu untung ke sana. Belum terniat awak menikah," elaknya.
"Apalagi
yang kau pikir. Kalau kita sudah berkeluarga, tentu keluargamu tak
morat-marit macam begini. Adik-adikmu bisa sekolah, dan amakmu tak perlu
lagi jualan sayur ke pasar. Semua sudah ada. Semua sudah tersedia."
"Tapi awak ingin merubah nasib dengan tangan sendiri, Da. Awak masih muda."
Itu yang
membuat Epen sakit hati. Alasan masih muda terasa tidak pantas
didengarkan di sini. Kawan-kawan seusianya sudah banyak yang menikah dan
punya anak. Dia sudah tamat SMA dan sudah setahun pula menganggur. Tapi
dasar dia keras kepala. Kenekatan itu pula yang membuatnya pergi
jauh-jauh. Ke rantau, tempat di mana tak ada orang-orang kampung dan
dikenal.
Kini,
mata semua orang berharap padanya. Ingin mencoba peruntungan yang sama.
Malaysia, tanah seberang sudah lama tak menjanjikan. Ringgit yang
terkumpul tidak bertuah. Mereka yang berangkat hanya memperkaya para
calo saja, dan ketakutan membantai mereka sepanjang hari. Pengusiran
sepanjang waktu menguntit mereka. Pendatang haram, ah, tahulah bagaimana
nasibnya.
Dan dia
mendengar keluhan sepanjang hari dari mereka, para gadis dan orang tua
tentang nasib mereka dan anaknya. Inis semakin gamang saja. Sepanjang
waktu ini mereka tak lagi bertanya apa pekerjaannya Jakarta sana. Mereka
tak lagi soal apakah hanya sekadar menjaga restoran padang, tukang
cuci, pengasuh anak, dan sebagainya. Yang meraka inginkan hidup mereka
bisa berubah dan pulang serupa Inis.
Malam
itu, sehari sebelum keberangkatannya Inis tak bisa tidur. Bagaimana cara
mengatakan pada mereka bahwa, memang di tanah ini, untuk kerja yang
baik dan gaji yang besar bukan milik mereka, orang-orang kampung yang
lugu. Dia tak ingin orang-orang kampungnya mengikuti jejaknya. Pekerjaan
apa yang bisa didapat dengan mengandalkan tenaga saja? Ia tak tega jika
para gadis kampungnya harus serupa dia, mengumpulkan uang dari keringat
dan apak kasur, lewat desahan dan rintihan. Ia tak kuat membayangkan.
Satu
yang terlintas di kepalanya adalah, barangkali akan melakukan kekonyolan
yang sama serupa dulu. Melompati jendela dan berangkat dengan segera,
tepat di hari Selasa.
2007-2011
Catatan: Cerpen lama. Cerita ini adalah fiktif belaka, kalau ada nama yang sama, mohon dimaafkan. :-)
1 komentar:
Yaa
Posting Komentar