30 Jan 2008

Obituari



Obituari Mamanda Markis; Ia Pulang Juga Siang Itu

28 Januari 2008, sehari setelah kematian Jendral bintang lima Soeharto, aku bersiap-siap hendak menjilid Ruang Baca Koran Tempo ketika dering telpon berbunyi. Aku matikan motor, di kamar, dari radioku masih terdengar celoteh reporter yang menyiarkan siaran langsung upacara penguburan mantan presiden kedua itu. kuangkat Hp, ada suara ibuku.

“In, uwan meninggal barusan ini.” Selebihnya aku tak sempat mend
engar apa pun. Aku terkejut dan masih tak percaya. Kulirik jam, 14.05. betapa cepat kabar itu. tetapi, seketika aku merasa sangat jauh.
***
Dia Mamakku, kakak kandung dari ibuku. Dia tiga orang bersaudara, persis sepertiku. Yang tua, beliau, Markis, lalu ibuku, kemudian adik lelakinya Inal yang merantau sejak berusia 17 tahun sampai hari ini, 30 tahun lebih tak pernah pulang. Tak pernah ada kabar. Tak tahu pula di mana dia sekarang.

Jadilah ibuku dua bersaudara, lelaki dan perempuan.


Mamakku lelaki luar biasa yang aku kenal. Orang yang paling aku takuti di masa kanak dan remaja sekaligus selalu kukagumi. Aku takut jika dia tahu aku bolos sekolah. Dan akus enang setiap kali menungguinya pulang kerja. Dia tukang bangunan, lebih sering menajdi mandor. Aku, di hari-hari libu sering diajak bekeja bersamanya, membantu m
enaduk semen, mengangkat bata, mengangkut air dan adukan pasir atau membikin pondasi tiang. Aku tahu belaka, ia mengajakku tak lebih dari sekdar mengajariku beberapa hal. Satu, ia seolah berkata, begini loh, kalau kau tak sekolah. Kerjamu berat. Berkawan panas. Kedua, cara dia mendidikku untuk tidak selalu malas-malasan. Ketiga tentu menurunkan bakatnya kepadaku dan terakhir, dan aku pasti, bentuk lain dari cara dia memberiku uang. Karena ada dua alasan utama; satu, biar saudara-saudaraku yang lain tak iri dan cemburu jika aku dikasih uang lebih; kedua, seolah-olah aku bekerja padahal sebenarnya tak banyak yang isa aku lakukan. Dan tentu aku merasa senang menerima hasil jerih payahku.

Dia orang baik dan terlalu baik sekali keberangkatannya.


Dia yang dengan semangat menyuruhku berangkat ke Yogya dan dia pula yang dengan antusias menyambut kepulanganku. Lalu menyuruh ibuku ikut bersamaku, menghindari masalah keluarga yangs edang dialami keluargaku. “Sekedar ganti suasana, menenang-nenangkan pikiran,” kata beliau. Aku tak bisa lupakan itu. Ak
u kadang merasa dia seperti orang tuaku. Apalagi bapak-ibuku lebih banyak menghabiskan waktu di tanah seberang. Jarang sekali kami bertemu. Dan uwanlah yang lebih banyak memarahiku ketika aku makin malas sekolah.

Sore itu dia membanting kursi ke dinding papan rumahku. Dia memaksaku bersiap-siap. Aku disuruh ke Ujung Batu, Taluk, tempat tinggalnya. “Di sana kau tidak akan malas-malasan lagi. Kawan-kawanmu banyak. Di sini, kalau tidak ada yangt memperhatikanmu, bisa-bisa jadi gelndangan kau nanti.” Begitu katanya.


Waktu itu aku kelas tiga SMP. Jarak sekolahku jauh sekali. A
ku berada di kecamatan Sutera sementara sekolahku berada di kecamatan Batang Kapas. Jarak tempuh sekitar 15an kilo. Dan aku satu-satunya dari kampungku yang sekolah di sana. Pernah, kami – aku dan uwan – mengurus surat pindah, agar aku sekolah saja di kecamatanku, tapi kepala sekolah tak mau memberi izin. “Anak ini sudah kelas tiga,” katanya. “Jadi harus banyak belajar. Kalau masih mengurus pindah tentu dia akan kesulitan membagi waktu.”

Dan hari itu aku dengan berlinang air mata ikut uwan ke rumahnya, membawa beberapa potong pakaianku. “Seminggu sekali kau pulang, ini untukmu juga.” Begitu katanya dnegan nada melemah. Kasihan kepadaku. Uwan tahu betul, waktu itu aku tinggal dengan etek. Dia sebenarnya etek (bibi)nya amak dan uwan, tetapi kami, anak-anak, satu keluarga besar ini, meniru dengan memanggil beliau etek juga.


Di rumah etek aku tinggal, dan dibiarkan melakukan ap
a saja. Mau sekolah, mau makan, mau tidur di luar, kmau madi atau apa pun, terserah. Yang jelas ibuku harus membayar dia sekitar 15000 sebulan untuk seluruh biayaku. Dan aku bertahan di rumah, karena aku merasakan kehadiran ibu di sini. Inilah masa-masa aku ditinggal sendirian. Aku tak pernah sebelumnya berpisah lama dengan ibuku. Tetapi sekaranga ku harus belajar membiasakan itu dalam usia 13 tahun.

Kakak perempuankus ekolah di kabupaten. Otomatis aku sendi
rian di rumah. karenanya, ibuku menitipkanku di rumah etek. Tetapi aku selalu tidur di rumah, mencium bau ibu di setiap sudut ruang. Lalu kawan-kawan seusia menyusul, ikut menginap di rumahjku yang kecil. Sepanjang malam, kami berceloteh macam-macam sehingga membuat kami lebih sering terlambat bangun.
“Mau jadi apa kamu nanti…” kata uwan malam itu. sejak sore itu, nyaris setahun aku tinggal bersama beliau. Sekamar dnegan Nedi anaknya yangs ekarang sudah jadi tentara dan tugas di Batam. Dua orang anak tirinya sudah lebih dulu berseragam, satu Eka tugas di Jakarta satu lagi Izen di kota Solok. Beliaulah yang berusaha untuk itu semua. Ia tak hanya mengatakan itu padaku tapi juga membuktikand alam keluarganya.

Kepada kami, para ponakannya setiap liburan adalah ma
sa-masa yang emnarik. Aku paling senang. Sementara kakakku dan sepupuku seangkatan, Mugil namanya, sering menangis. Sebabnya, Uwan selalu membeli angka delapan dan sembilan di rapor kami. Sementara Mugil dan kakakku lebih bnayak mengantongi angka merah. Dan akus elalu mendapat jatah besar setiap catur wulan.

Tetapi aku makin besar jua. Selepas SMP aku pindah ke Pada
ng. Menghiondari kampungdan s egala perihal yang membuatku perih. Aku ingin merdeka. Tekadku. Aku tak mau diatur. Setahun cukup untuk melepaskan kekeraskepalaanku. Aku tinggal kelas. Kembali pulang dnegan rasa malu. Dua tahun kemudian aku kembali mencoba masuk SMA. Tentu di kecamatan jauh itu, sebab disitulah rayonku. Setahun di sana aku pindah ke kecamatan dan barulah uwan tak amat menakutkan buatku.

Dia orang baik. Bagi kami di kampung, sebagais eorang mamak dia mewakili dan menjadi contoh orangs ekampung. Keluarga ibuku tinggal di tanah warisan. Sebagai mamak, uwanlah yang paling berkuasa atas itu semua. Tetapi tidak, beliau tak pernah mengambil apa pun dari kampungnya untuk dibawa ke rumah istrinya. Beliau tak per
nah mau membawa sebiji buah pun yang tumbuh di tanah pusaka itu. dia bukan mamak sembarang mamak.
Sepekan sekali, setidaknya beliau pulang ke kampung, sekedar mencari tahu kabar apa yang ada dalam keluarga besar kami. Jika tak hari jumat, tentu di hari minggu. Saat-saat itu aku sering lewat di belakang beliau, berharap akan dipanggil dan akan mendapat jatah uang saku. Dan tentu tak meleset. Selalu ada ‘jatah’ yang mengalir. Dan beliau orabg yang bijak, ketika dompet terbuka, tak satu pun ponakannya yang terlepas dari ‘jatah’ uang saku. Baik ponakan jauh, mau pun ponakan dekat. Lebaran, adalah masa-masa panen kami para ponakannya dan mengunjungi uwan untuk pertama kalinya untuk berebut uang jatah.

Dan aku sering menunggu beliau sore hari, dibatas kampung. Dnegan wajah memelas aku duduk di pinggir jembatan kecil. Beliau akan berhenti dan mengeluarkan uang daris aku. “Waang (kamu) kenapa? Sakitkah?” aku menggeeng dan mengantongi uang beliau. “Minlah ke Taluk.”

Katanya. Dan sedikit basa-basi aku pergi.


Pendek kata, akulah ponakan yang disayangi, ponakan yang diharapkan. Aku. Bayangkan, seorang yang tak berkehendak jadi apa pun. Duhai…

***
“Pergilah dari pada di kampung memadat aspal.” Begitu kata beliau ketika aku hendak berangkat ke Yogya.

Malam itu aku diantar dan ditunggui sampai truk Uwan Kodis –adik tiri uwan- datang. Aku dikasih uang ratusan ribu, uang paling banyak yang kumiliki dari kecil. Ia menungguiku sampai malam. Dan kami menyuruh belua pulang dulu, sebab besok harus bekerja.

Saat itu, beliaulah orang tuaku.

Paginya beliu menungguiku. “Nanti kalau jadi berangkat, singgah di rumah. uwan bekerja di rumah mak gaek, biar uwan bisa melihat keberangkatanmu.”

Dan kami melaju ke selatan. Uwan melompat dan melempar semua perkakasnya, berhamuran menuju truk dan memelukku. “Rajin-rajin jadi orang. Bla..bla.. jangan lupa sholat. Sampai dis ana segera berkabar.. bla.. bla.. “ dan astaga, uwan menangis.

Aku tak bisa menuliskan ini dengan dramatis. Tiba-tiba malam ini, aku ingin menangis, betapa aku tak bisa mencintai beliau sebagaimana beliau mencintaiku. Bahkan, di hari kematian beliau di usia 55 ini. beliau adalah karya besar. Karya besar dalam keluarga kami.
***
Pertemuanku yang terakhir adalah ketika aku pulang lebaran 2007 ini. tahun lalu uwan dikabarkans akit, tapaindo (strok).

“Masih beruntung uwan hidup,” Beliauberkata. “Tak ada yang menyangka bisa selamat. Semua sudah pasrah. Tapi alhamdulillah, tolong Allah, uwan sembuh.”

Dan nyaris sepanjang hari beliau berkunjung ke kampung. Padahal ia masih belum boleh membawa motor, ia baru bisa berjalan beberapa waktu belakangan. Kakinya mengecil dan tubuhnya sangat lemah. “Dan yang paling berat, asma..” katanya.

Dan aku berjanji, nanti akan membelikan obat sesak nafas. Aku pernah melihat alat itu, punyas eorang kawan. Bola asma menyerang tinggal dihirup alat itu. dan sampai kini, sampai beliau berada dalam tanah, aku tak sempat membelikan itu untuk beliau. Padahal berapalah harganya. Janji sekecil ini pun tak sanggup aku lakukan utuk uwan yang berjasa besar kepada keluarga besar kami.

Aku tak bisa menuliskan apa-apa lagi. Aku pedih. Kau dengarlah cerita yang sedikit ini. suatu sore, beliau hendak mengajakku berbuka di rumahnya. Beliau menjemputku. Aku masihs empat menyturuh uwan pulang duluan dan nanti akan menyusul. Sepulangnya beliau hujan deras turun, aku mengunjungi beliau lima hari setelahnya.

“Uwan jatuh di Bukit teratak.” Ceritanya. Ketika beliau pulang, begitu ceritanya, di jalan ada razia. Karena kaget, beliau langsung memutar motor. Jalanan menurun, beliau asih lemah untuk melewati jalan kecil menuju pantai. Dan terperosoklah uwan ke dalam jurang. “Tak apa, tak dalam. Dan uwan diantar anak-anak di sana.”

Sumpah, aku merasa berdosa sampai hari ini.

Aku selalu ingat kata-kata bangganya. “Jarang-jarang bisa sepertimu. Lihatlah si anu, tanahnya habis terjual untuk kuliah. Dan dia tak jadi apa-apa. Dan kamu, tak sedikit pun menguras kantong orang tua, tapi masih bisa juga kuliah. Ah, semoga jadilah, jadilah. Untuk dirimu saja setidaknya. Dan kau tahu, kami amat bangga, tidak hanya keluarga kita, tapi seluruh keluarga besar kita, juga kampung ini.” kata-kata ini membuatku selalu perih. Ah, uwan, seandainya keinginanmu itu bisa kuwujudkan, kataku selalu.

“Waang tambah gagah, sudah agak putih,” Kalimat ini membuatku sering tertawa. “Bersih sekarang, badannya pun berisi. Kau lihatlah anakmu ini, “Sesekali beliau berkata begitu di depan ibu. “Cuma sayang, gigimu saja yang kena.” Dan aku terpingkal mendengarnya. Tapi malam ini, biar kukenang lagi itu semua.
***
Sudahlah, biarlah ingatan milik kami saja. Tak cukup di sini aku menceritakan banyak perihal tentang lelaki gagah itu. ia dikuburkan di belakang rumahku, di tanah kampung. Tempat beliau akan selalu mengawasi ponakan-ponakan dan cucu-cucunya yang berhamburan.

Tetapi yang pedih, yang paling pedih, aku dan ibu tak bisa pulang. Ibuku di sini bersamaku. Ia tak bisa melepas kakak satu-satunya itu ke liang lahat. Memberi penghormatan terakhir kali. Padahal, jumat lalu, tiga hari sebelum kematian uwan, ia masih bertanya pada kakakku di kampung.

“Eng, amakmu tak pulang?”

Bertandakah? Rindukah uwan? Lalu, cukupkah dengan sekedar membiayai seluruh pengeluaran yang dibutuhkan menjelang beliau dikuburkan itu sekedar balas budi kami? Rasanya tidak, untuk sekedar biaya itu, keluarga yang lain mampu mengeluarkan lebih dari itu.

Tapi sementara hanya itu yang bisa kami berikan.

Selebihnya, izinkanlah aku mengenang. Dan mengirim doa. Meski tidak saleh, tetapi aku anaknya.

Dan kabar-kabar yang kudapat lewat potongan cerita, telepon dan sms membuatku semakin jauh dari kampung. Ya, kabar bisa kuramal, tapi betapa jauh untuk kurangkul.
***
“Mengapa orang baik, selalu pergi buru-buru?”

27 Januari 2008



25 Jan 2008

Catatan Pulang Kampung

"Hei, Berapa Nomor Handhphonmu?"


Tiga tahun enam bulan kemudian aku menuju pulang. Sungguh, aku merasa cemas. Apa yang kira-kira akan aku lakukan di kampung sepanjang kepulanganku ini? masihkah aku bisa melanjutkan obrolan di lapau kopi, mengulang peristiwa lampau, saat di mana aku masih bagian dari struktur masyarakat yang ada. Mempercakapkan lagi soal jenis motor terbaru, mengenal perempuan yang lewat sepanjang sore di depan rumah undo —markas kami, para anak muda? Masihkan aku bisa mengikuti percakapan verbal seputar orgen tunggal, gadis kampung tetangga yang menjadi pujaan hati para bujang, berisik cinta remaja dan mengingat peristiwa-peristiwa kecil lainnya? Kupikir waktu tidak pernah diam, kaku dan monoton. Sepanjang waktu ada saja peristiwa baru yang diciptakan.
Aku tahu, sebagian kawan-kawan seusia, maupun yang lebih tua, sudah menikah dan memiliki anak. Sebagian yang lain, para tetua kampung dan orang tua, sesepuh, sudah lebih dulu berkubur tanah. Apakah masih bisa aku bercakap perasaian dan peruntungan dengan mereka? Apakah aku masih akan sok tahu soal kisaran angin, laut yang mulai bergelombang besar, ramalan tentang gempa bumi dan laut pasang. Ataukah aku akan membincangkan dengan soal kapal dan perahu, biduk dan boat, ikan dan hasil laut? Atau soal perjalanan menegangkan mengadu nasib di Malaysia?
Perihal-perihal kecil dan sederhana sebenarnya. Tapi sungguh, ini membuat tubuhku menggigil juga. anak-anak beringsut tumbuh, yang kecil beranjak besar, yang remaja menuju masa yang lebih serius. Mereka yang dulu masih kanak, kelak akan berubah jadi pemuda gagah dan bisa jadi aku akan terbata menyebut nama mereka. Bukankah sepanjang tahun-tahun keberangkatanku, tak banyak kabar yang bisa kudapati soal kampung? Ini bukan tanah seberang, Malaysia, yang sepanjang hari, sepanjang minggu akan ada saja satu dua kawan yang datang dan pergi. Menjadi imigran gelap dan pulang kampung. Tentu mereka lebih beruntung, setidaknya mereka yang ada di Malaysia itu, akan selalu mendapat kabar baru dan tak sungguh-sungguh alpa dengan peristiwa apa pun juga. bahkan hal-hal remeh sekali pun.
Sebelum aku pergi, kampungku sudah bertahun-tahun menikmati cahaya listrik, setiap rumah nyaris memiliki tivi dan parabola. Lama kemudian mereka mulai memiliki digital, menggantikan parabola. Anak-anak muda menghafal lagu-lagu populer Indonesia dari VCD bajakan sefasih mereka mempercakapkan artis dan bintang sinetron. Generasi di bawahku tak lagi mengenal main kajai, main kelereng, main batun, main galah, main genggong dan sejenisnya. Mereka sudah mengenal play station. Lihat, di kampungku yang tersuruk di sepanjang Pesisir pantai Selatan Kota Padang, empat jam perjalanan dari pusat kota, mengetahui tiap inci perihal menghebohkan di luar sana. Mereka juga memodifikasi motor mereka, anak perempuan dan laki-laki mengikuti trend berpakaian, memakai farfum ala artis yang dijajakan di ruang tamu rumah mereka.
Jika kini aku pulang bukankah semakin banyak yang sudah berubah? Aku sudah lama tak mengirim surat ke kampung, barangkali aku lupa cara menuliskannya. Beberapa kali aku lebih sering berkomunikasi lewat handphond, pesan-pesan singkat yang tak terlalu masuk ke hal-hal yang sederhana.
Kupikir kampungku dengan budayanya yang manis dan ranum itu sudah lama bergeser. Kukira sejak kabel-kabel hitam itu melingkar jauh dari entah kampung mana menuju kampung mana pula. Kami, aku dan kawan-kawan seangkatan masih ingat, ketika tiang-tiang beton itu mulai berdiri di halaman rumah, peristiwa baru akan segera dimuali. Benar saja. Tak lama, kami tidak lagi menggunakan suluh atau obor sebagai penerang jalan ketika pulang mengaji. Cahaya listrik yang berkilau di setiap tiang cukup menerangkan jalan dan halaman rumah. Kami mulai meninggalkan permainan sederhana menjelang kantuk datang; bermain batun, main petak umpet atau kejar-kejaran di antara cahaya langit dan lampu minyak.
Sepanjang malam kami mulai ritual baru sehabis mengaji. Berjalan beberapa kilo ke Selatan untuk melihat aksi Yoko di film seri mandarin Return of The Condor Heroes. Saya mulai mengikuti seri-seri aksi Andi Lau yang memiliki sebelah tangan dan kisah cintanya yang rumit. Sepanjang jalan pulang kami akan menyanyikan thema song serial tersebut, sesekali menghapal jingle iklan-iklan yang ditayangkan. Serasa kami tidak jauh beda dengan anak-anak kota. Kami mengingat bermacam merk makanan ringan dan minuman. Mengetahui jenis bumbu dapur, mie instan mana yang lebih keren ketika dibeli.
Minggu adalah hari pasar. Jika waktu-waktu belakangan aku bisa melihat aksi Jason, Kimberly dan Jack dalam pertarungan mereka melawan Repulsa di salah satu rumah di tengah pasar. Tokoh-tokoh Power Rangers ini sudah kuhafal betul dari majalah Bobo bekas yang kubeli nyaris setiap minggu. Sekarang aku bisa menontonnya. Aih, rancak bana.
Biasanya di pasar kami akan melihat dan menemukan banyak makanan instan yang kami lihat di televisi. Memakannya, dengan gaya yang nyaris sama dengan apa yang dilakukan penjaja makanan di ruang tamu itu. Maka, untuk sebuah eksistensi, kami sering menyimpan bungkus makanan yang diiklankan dan membawanya ke sekolah untuk dipamerkan pada kawan-kawa. Biasanya akan ada saja yang bertanya, “enak tidak?” tentu ada yang dengan sinis meresponnya, sebentuk rasa iri, tentu saja.
Tetapi itu belasan tahun lalu. Dan waktu berpusing dnegan cepat. Aku tak pernah sanggup mengimbanginya.
***

Dari Yogya saya sudah menyiapkan kartu Telkomsel, sebentuk kekhawatiran kalau-kalau nanti di sana tak akan ada sinyal xl. Mengingat, baru beberapa kota-kota besar saja yang dilewati jaringan seluler itu. nitimbang yang lain, jelas Telkomsel memiliki jaringan hampir di tiap kecamatan provinsi. Setidaknya di kotak.
Aku mulai merasakan ada yang berubah sejak dari kota. Bukan hanya soal harga pulsa yang lebih besar 20% dibanding Yogya, tetapi untuk makan pun aku merasa agak aneh. Bayangkan, di Yogya untuk makan dengan daging, 5000 saja sudah cukup. Itu di rumah makan Padang. Tetapi di rahim sendiri, aku harus mengeluarkan uang 7000 untuk makan ikan laut.
Sepanjang jalan pulang aku mulai diliputi rasa khawatir, apa yang akan kulakukan sesampai di rumah? bagaimana respon keluarga besar dan kawan-kawan? Aku membandingkan kepulanganku dengan kawan-kawa yang lain, yang berangkat ke Malaysia. Tiap kali mereka pulang kampung akan ada saja ‘pesta’, sekedar bagi-bagi rokok dan membeli beberapa botol minuman. Sementara aku? Uangku sudah habis ketika sampai di Jambi. Aku sempat berfikir, apakah harus singgah di sini dulu, mencari pnjaman pada seorang kawan, Dimas, sastrawan senior di kota itu sembali berbincang soal fenomesa sastra di sana dan perihal acara kongres sastra yang akan berlangsung bulan Juli nanti di sana. Ah, tak usahlah. Berapa lagi ongkos yang aku butuhkan untuk naik bis lagi. Kalau pun sekarang uangku habis, yang paling penting hanya soal makan. Malam ini, kalau aku kuat puasa, saat itu memang ramahdan, tetapi di jalanan, di mana perutku tak tahan tanpa air putih dan obat mual, aku tak melaksanakan ibadah wajib tersebut.
Di Padang, aku sempat menginap dua malam. Kebetulan ada acara sastra di Unand, dan teman-teman sastra di sana, meminta aku dan seorang kawan yang ama-sama mudik untuk ikut acara mereka. Sekalian silaturahmi. Dan ongkos pulangpun akhirnya tak jadi soal.
Dari Padang ke kampungku, membutuhkan waktu sekitar empat jam perjalanan. Aku masih meduga-duga apa yag hendak kulakukan di rumah. dan memasuki perbatasan kabupaten, hpku kehilangan sinyal. Tuh, kan. Untunglah aku memiliki kartu cadangan.
*** Dan aku menemukan kampung yang sedang berbenah. Tidak hanya Telkomsel, ternyata di kampungku juga berdiri tower Indosat dan Xl. Bayangkan, kecamatan kecil ini, yang jauh dari ibu kota, membentang dari selatan Kota Padang, juhuh jamlebih perjalanan, hanya di kecamatanku ada tiga tower dari tiga operator sekaligus. Bahkan di ibu kota kabupaten pun, hanya ada sinyal Telkomsel satu-satunya. Ada apa sebenarnya? Mengapa kecamatan kecil yang terdiri dari beberapa kenagian ini saja?
Aku memang menemukan sisa gempa di tiap sudut rmah. Retakan-retakan dinding, atap yang rubuh, pagar yang ambruk. Tetapi yang lebih dasyat, hampir setiap anak muda menenteng Hp, kokia jenis kotemporer yang aku tak paham. Di mana fasilitasnya selalu ada musik dan video. Oleh-oleh dan kiriman tanah seberang, tentu saja.
Ketakutanku terjawab juga, satu dua anak muda mulai bertanya lirih, “berapa nomor hapemu,Uda?” sekali dua mereka melirik soni ericsonku yang jelek itu dan berkata, “Ada lagunya, ndak?”
Inilah yang terjadi kemudian. Ternyata operator seluler pun paham, bahwa di daerahku yang kaya ini gaya hidp menjdi kepentingan utama. Dari dulu alah. Pola hidpu mereka sudah mapan dan matrealistis. Segala jenis motor ada. Vario dan Mio jadi identitas saat ini. Anak muda tidak keren tanpa itu.
Surantih, kecamatan yang memiliki hasil laut terbesar di kabupatenku, bahkan mungkin untuk Provinsi. Muara sungai di penuhi bagan penangkap ikan. Ikan teri dari kecamatan ini terkenl di provinsi tetangga, Pekanbaru, Riau. Bahkan juga di ekspor ke Singapura dan negara tetangga lainnya. Di luar itu, perebunan merupakan penghasilanyang tak juga sedikit. Mereka menaan sawit, nilam, jati, gambir, getah dan tanaman tua lainnya agar bisa dipanen sepanjang tahun. Ketika aku pulang kebaran ini, anak-anak muda memiliki penghasilan lebih dari 30 ribu perhari hasil panen gambir.
Gaya hidup yang tinggi dan kebergantungan mereka kepada modernitas yang tanpa saringan itu memiliki sisi yang berlawanan. Satu sisi kemapanan tradisi ala kampung dengan segala keluguannya. Sisi lainnya adalah padanan pada dunia luar yang negatif. Dunia mereka adalah dunia selebritas, dunia infotaimant.
“DI Yogya ketemu Sheila on 7 Ndak? Pernah liat konser Ungu?” Pertanyaan-pertanyaan ini membuatku tersentak. Betapa dunia rasanya terasa sangat pendek rentangan jaraknya. Menreka mengikuti dunia hiburan dnegan antusias yang luar biasa. “Kami pernah nonton Peter Pan di bandara Tabing. Masa di Yogya ndak pernah nonton konser? Payah.” Kata mereka. Benarkah aku yang payah? Aduh, aduh.
Kembali ke Hp. Ini menjadi penting karena status di hadapan masyarakat dan kawan-kawan seusia. Kulihat, betapa mereka amat puas ketika menenteng handphond, headphone di telinga. Dnegan kaca mata hitam, ala Radja penyanyi band menjengkelkan itu, merka bergaya di pinggir jalan. Di hadapan kawan-kawan. Belum lagi gaya rambut yang mengikuti trend anak band. Membuat jurang antara yang mampu dan tak berdaya begitu terbuka dengan jelas.
“Hampir di tiap Hp memiliki fasilitas Video. Mereka mengambil (downloud, maksudnya) di counter. Satu lagi biasanya 1500 ratus. Tergantung hubungan dnegan merekalah. Untuk film porno pendek biasanya 2500.” Kata seorang rekan yng sudha berkeluarga memamerkan film-film pornonya padaku di pos ronda. Sekelompok anak muda berkumpul di belakangnya.
“Mereka punya yang begituan juga?”
“Iya dong. Tiap bulan ada film-film baru. Memang pendek sih, Cuma pas untuk ukuran henpon. Yang laku tuh, film-film Indonesia. Mereka bikin pelem gituan juga ya? Eh, kau sering liat di internet juga ya? Bagus-bagus nggak. Banyak pelem pornonya ya diinternet. Kalau aku ke Yogya ajak ya? Katanya bisa nonton di sana.”
Aha, aku tahu itu. di Yogya, aku sudah muak menonton bokep. Di warnet-warnet berjamuran film-film porno ala Indonesia yang diambil dari rekaman pribadi itu. tapi di sini juga bisa menjadi ladang bisnis yang menggiurkan. Aduh, aduh.
Aku terpaksa lebih sering menyembuyikan henpon dan diriku di dalam rumah. bukan malu. Cuma aku selalu kaget dengan pertanyaan-pertanyaan yang makin memuatku sulit menjawabnya. Bagaimana kebudayaan barat masuk ke kampungku yang polos ini? Mereka dan tentu juga aku adalah korban. Korban dari sistem yang dijajakan sampai ke ruang privat.
Dan sepanjang malam, sejak masa berbuka, anak-anak muda lebih banyak duduk di pos ronda, atau berhamburan denfgan berbagai jenis sepeda motor mereka – segala merk ada. Yang lain, sepertiku, dengan sedikit malas terpaksa melangkah ke masjid. Lalu sehabis taraweh, dengarlah Nidji, Kangen Band, Ungu, Matta Band, Letto mengalun lancar di mulut mereka. Sefasih kami mengeja kitab suci ketika aku kanak dulu.
“Hei, kamu punya hape juga kan? Aku liat dong. Nokia tipe berapa? Di Yogya harganya berapa, ya? Aku ingin sekali punya.” Aku tak tahu itu keluar dari mulut siapa lagi. Malam terlalu memabukkan untukku, berbaur dnegan kerinduanku pada gadisku di seberang pulau. Dan malam ini aku tergagap melangkah pulang, jalanan yang kecil dnegan genangan air di pinggirnya ramai oleh kendaraan yang hilir mudik. Aku menginjak selokan becek, sisa hujan barusan. Dan meraba-raba arah di jalan lintas selatan yang gelap dan suram.
Lebaran ini, di kampungku giliran siapakah yang akan masuk ruah sakit karena kecelakaan? Cepat-cepat kuusir pikiran konyolku dan sebait lagu mengalir dari berisik suara gitar dan teriakan kawan-kawan yang mabuk, “Tapi, kamu kok selingkuh…”
Aku ingin tidur saja dan begitu malas keluar rumah.
Januari 2008

15 Jan 2008

Kulon Progo, Temu Sastra 3 Kota dan jalan-jalan



Wates dan kebangkitan sastra (Sebuah Gumaman Seorang Kuli bodoh)

Minggu 13 Januari 2008

Aku punya banyak keinginan saat ini. salah satunya adalah, punya kamar kos sendiri. Saat ini aku berdua satu kamar dengan Kiting, sudah empat bulan ini. Tak ada masalah sebenarnya. Kiting teman yang enak dan tak banyak tingkah. Semua berjalan sebagaimana biasanya. Pilihanku untuk memiliki ruang sendiri tak melulu mencari ruang privat. Kamar ini terlalu sempit untuk dipakai berdua, selain itu aku ingin mengajak Amak sewaktu-waktu tidur di kosku. Dan alasan-alasan teknis lainnya.

Jam sepuluan aku berangkat ke Kulon Progo. Perjalan pertama nih ke Lumbung Aksara. Hari ini ada acara Temu Penyair Tiga Kota (Purworejo, Kulon Progo dan Yogyakarta). Aku dapat undangannya awal Desember kemarin. Kemarin siang Fahmi mengingatkanku tentang acara itu. Dia ingin datang, katanya.

Aku tak punya uang. Sukma juga. Semalam kami kami sudah menghitung-hitung jalan keluar. Dan Sewon pilihan kami tertuju. Aku menjual Pawon Sastra ke Bang Raudal dan Gus Muh. Kasihan kawan-kawan di Solo jika buku-buku ini hanya diagi dnegan gratis. Lagi pula, sepertinya akan ada yang mau mengeluarkan uang 2000 rupiah untuk ini. mereka harus bisa menghargai buku dengan membeliknya. Heheh.. Tapi, uangnya aku pinjam dulu buat beli bensin ke Kulon Progo. Dan malam itu aku bisa jalan-jalan di Alun-alun Selatan bareng ibu dan Tsabit. Tentu juga Sukma, sekalian malam minghuan. Hehe..

Perjalanan yang asyik. Kami baru pertama ini ke sini. Sungguh terasa agak lama. Bukankah perjalanan baru selalu terasa jauh? Tetapi kami sampai juga. kami tak bawa peta, hanya punya ingatan dan kenekatan. Tak ada pulsa juga.

Dan uuh, kami sampai juga. Sebuah spanduk di pinggir jalan, (timur terminal Wates, timurnya Masjid Agung, kira-kira begitu saja ingatanku sampai ke sana, entah siapa yang pernah mengatakan) kantor PBNU sepertinya. Soalnya di dalam aku melihat banyak foto-foto kyai. Ada Gus Dur lagi. Nah, kan?

Tak terlalu ramai di luar. Ada Evi Idawati, orang pertama yang kami kenal di sini. Ia duduk di meja pengisian tamu. Mau pulang, katanya. Setelah isi absen, aku dikasih buku Antologi Puisi, Geguritan dan Cerpen Tiga Kota (Purworejo, Kulon Progo, Yogyakarta) dengan judul Antariksa Dada. setelah itu kami masuk. Tentu bertemu dedengkot Lumbung Aksara, Bung Marwanto yang penuh semangat itu. Kami salaman. Ahai, aku melihat semangat menyala-nyala di matanya. Lumbung Aksara, salah satu komunitas sastra di antara salah dua –atau lebih—komunitas sastra di sini. Lumbung Aksara atau biasa disingkat dengan LA (betul, ya?) menerbitkan buletin bulanan bernama Lontar. Buletin gratis yang tampil delapan halaman yang memuat cerpen, puisi dan agenda sastra di Kulon Progo, khususnya. Ada halaman khusus Marwanto, Byar, yang khas. Eh, aku ingat, ulasan tentang kegiatan ini dimuat di halaman sastra Kedaulatan Rakyat hari ini. Isinya lebih kurang sama dengan pengantar buku Antariksa Dada yang ada di tanganku. Ditulis Marwanto, tentu saja. Acara yang sedang terselenggara ini adalah salah satu usaha dari Kawan-kawan Lumbung Aksara. Dan tentu juga berbagai pihak, pelaku dan pemerhati sastra di sini, tentu saja. Oh, ya, selain Lontar, kalau aku tak salah ingat Kulon Progo juga punya buletin lain, ASK namanya. Aku sedang malas membolak balik arsib saat ini untuk memastikan jajaran redaksinya. Yang pasti aku ingat tentu saja Sodik, yang kuliah di UNY itu.

Di dalam aku bertemu Mahwi, di pojokan sana ada Mas Iman Budhi Santoso. Di sinilah aku ketemu Aguk Irawan MN. Wah, ini toh orangnya? Aku sumpah, salah semua bayangan tentangnya. Aku pikir dia seorang lelaki kurus, tinggi, putih dan sangar jika tidak kekar dan berotot. Ternyata Aguk itu… ya Aguk. Lalu, ada Akhiriyati Sundari juga. tentu kawan-kawan penulis muda lainnya yang aku belum sempat kenal nama.

Kami terlambat, itu sudah pasti. Acara dimulai sejak jam delapan pagi. Tapi kami tak terlalu merasa bersalah karena kami hanya undangan, bukan peserta. Sukma sibuk ngobrol dengan Sodik. Aku menikmati beberapa puisi dan penyair yang tampil. Para senior Kulon Progolah, tentu aku tak terlalu akrab dengan mereka. Bukan karena faktor usia, tetapi interaksi kami saja, kukira, sehingga aku alpa dengan mereka.

Aku mengingat beberapa nama dari Kulon Progo ketika diadakan acara Forum Penyair 4 Kota yang diadakan di Taman Budaya Yogyakarta awal tahun lalu. Aku sudah sering melihat tulisan Marwanto dan Akhiriyati Sundari ini sebelumnya, tapi tentu tidak orangnya. Mereka termasuk perserta, penyair muda. Mungkin tidak untuk usia, ya? Haha.. Aku merindukan acara semacam ini lagi; mengundang dan melibatkan banyak kawan-kawan penyair di daerah-daerah semacam di sini. Mereka orang-orang yang intens, tetapi kesulitan publikasi. Acara dan antologi semacam ini tentu sangat membantu mereka untuk ikut terlibat dan ter‘peta’kan di jagad kepenyairan yang besar ini. selain itu aku juga mengenal nama Papi Sadewa, entah dari mana, saya alpa. Tapi di sini, beliau adalah salah seorang penyair senior. Untuk penyair Purworejo, saya tak kenal sama sekali, baik wajah maupun nama. Saya harus jujur. Sepertinya kota ini diwakili para senior. Adakah mereka kehilangan regenerasi sehingga tak ada yang muda dari kota ini. tapi sungguh, ini hanya ketidaktahuan saya. Saya tak mengikuti acara dari awal, jadi tidak tahu mana penyair dari Purworejo, mana yang Kulon Progo, Yogya tentu aku kenal kecuali Koh Hwat. Lagian kan tidak ada tuh tulisan di baju mereka, peserta dari mana dan siapa. Saya gak salah kan?

Sampai di mana tadi? Oh ya, baca puisi. Sek, tak inget-inget sikik yo. Hmm.. ya, acara semacam ini sangat bagus untuk menjembatani para penyair dari wilayah dan ruang proses yang berbeda. Di luar itu, ini adalah bentuk silaturahmi yang ajeg antara masing-masing daerah dan tentu saja yang muda dan yang tua. Kupikir, ilmu berkisar di mana saja. Tak ada yang tua dan muda dalam hal pegetahuan bukan? Apalagi sebatas angka-angka, usia. Pengatahuan kupikir adalah pemahaman dan penguasaan. Kalau salah boleh diprotes kok.

Acara yang berlangsung sampai sore ini, diselingi dengan makan siang bersama. Wah, enak nih. Juga ada diskusi singkat dengan pembicara Joko Sumantri dan Siho. Ho, nama aslimu siapa? Bukan Siho Koto kan?hehe..

Apresiasi peserta asyik. Terbukti dari pagi sampai sore mereka masih terus mengikuti acara, meski dengan energi yang sudah nyaris habis. Makanan khas Kulon Progi (apa namanya?) dan teh hangat tak akan bisa mengembalikan semangat itu, tentu saja. Kejenuhan ini tentu disebabkan waktu yang panjang. Selama acara pembacaan puisi berjalandatar-datar saja. Tak banyak yang melakukan aksi panggung. Kadangkala panggung, asik lo dekorasinya, dibiarkan kosong belaka. Tak direspon. Nah. Acara yang monoton semacam ini tentu agak membosankan. Belum lagi acaranya berlangsung siang hari. Khusuknya jadi kurang terasa, meskipun kita dalam gedung PKNU (ini barangkali lo). Tapi, Nu pun kan tidak hanya menyoal Tuhan dan hamba, tapi ngurus politik juga. nah, gerahnya itu kali yang agak muncul. Hehhe.

Memang susah dan serba salah. Keputusan panitia saya kira sudah dipertimbangkan. Temu sastra ini diadakan siang hari, dari pagi sampai sore oleh sekian puluh penyair. Tentu adalah kendala finansial dan jarak masing-masing daerah. Kita bisa maklumi ini. seandainya cara ini dirancang lebih serius lagi, misalnya diadakan dalam dua alam atau dua hari berturut-turut tentu legi enak dan asyik. Diskusinya bisa lebih panjang dan beragam. Saya pikir panitia sudah sampai dipemikiran ini, tetapi barangkali saya benar, kendla paling besar tentu finansial. Menginap jarak, tentu mau tidak mau harus disediakan tempat untuk para penyair tersebut, dan konsumsi. Wah, tambah repot lagikan?

Persoalan berikutnya yang saya lihat adalah banyaknya tampil penyair-penyair muda. Muda dalam usia dan pengalaman tentu saja, seperti saya. Ini tentu mempunyai dua sisi sekaligus. Pertama, ini amat baik dan embahagiakan. Betapa gairah sastra di Kulon Progo memiliki embrio yang bagus. Sangat menggembirakan. Hal ini, terlihat dari antusias para remaja dan anak SMA, baik sebagai peserta maupun undangan. Kesadaran semacam ini tentu tak lepas dari peran Lumbung Aksara sebagai ruang apresiatif dan Lontar sebagai wadah penampung karya. Sejauh apa dan sebesar apa, biarlah mereka dan waktu yang menjawabnya. Dengan banyaknya generasi muda yang terlibat terlihat betapa geliat sastra tumbuh subur di wilayah ini. Tetapi respon semacam ini akan lebih baik lagi dengan adanya penyeleksian. Bukan apa-apa. Kita selalu berharap setiap acara sastra semacam ini tak berhenti di jalan. Dengan begitu, kawan-kawan yang masih dalam tahap ‘pendidikan’ dan belajar akan lebih menarik berada di posisi penikmat. Mereka bukan tak boleh tampil, tapi harus ada penyeleksian, agar terasa adanya semacam ‘persaingan’ bagi mereka. Persaingan semacam ini tak melulu buruk. Setidaknya kan memicu mereka untuk berkarya dan terus belajar. Dengan demikian, mereka yang tampil bisa mewakili komunitas, kelompok, usia tertentu. Tapi lagi-lagi saya pikir panitia sudah sampai pada pemikiran ini. tugas panitia, Lumbung Aksara khususnya akan bertambah, mengikuti perkembangan kepenyairan generasi mudanya dan menyiapkan acara yang tak kalah meriahnya pada masa mendatang.

Penyeleksian ini semacam ini selain memberikan yang terbaik bagi peserta, tentu juga wadah pembelajaran bagi semua. Penyeleksian ini tentu tak tertutup keungkinan bagi peserta dari Yogyakarta maupun Purworejo agar Kulon Progo sebagai panitia, dan untuk acara besar seperti ini baru sekali ini saya ikuti di sini, akan lebih bisa memncing animo dan apresiasi. Jadi penyair dan sastrawan yang diundang sebagai peserta bisa dipertanggungjawabkan.

Persoalan selanjutnya tentu saja what nexs? Apa setelah ini? kita tentu tak ingin acara yang sudah digagas jauh-jauh hari semacam ini muncul ntuk kemudian mati bukan? Setidaknya ada kemungkinan peristiwa berikutnya. Untuk wilayah Kulon Progo saja misalnya, sistem penyaringan sastrawan ini harus tetap dipertahankan dengan diadakannya pertemuan rutin para sastrawan di Kulon Progo. Di luar itu, mestinya ada pemicaraan yang lebih intens antar wilayah yangs duah tampil hari ini. dengan demikian, ia bisa menjadi agenda rutin. Bisa saja ini menajdi agenda rutin Lumbung Aksara, misalnya atau memang harus saling di‘lempar’ ke masing-masing kota agar semangat totalitas dan rasa memilikinya lebih terasa. Dengan ini tentu juga kemungkinan peserta akan bisa bertambah.

Lalu satu hal yang tak kalah pentngnya adalah rumusan acara yang rasanya masih belum matang. Mestinya ada kosentrasi yang lebih jelas dan fokus. Ini pertemuan para sastrawan atau penyair? Jika temu sastra, tentu puisi dan geguritan yang mendapat porsi yang lebih besar. Jika ini acara untuk puisi mengapa pula ada cerpen dan cerpenis di dalamnya? Maksudnya, mestinya ada ketegasan format acara yang jelas. Tidak menjadi berdosa mendudukan penyair, cerpenis dalam satu ruang yang sama, bukan? Begitu juga dengan geguritan sebagai salah satu kebudayaan Jawa. Tak ada salahnya, toh masih dalam satu wadah kesustraan. Yang menjadi sorotan saya adalah kematangan konsep acara. Tetapi, yang awal tak selalu sempurna. Selalu ada waktu untuk memperaikinya.

Di luar itu semua, acara ini merupakan fenomena kesastraan yang baik. Kegiatan konkrit yang bisa dinikmati langsung oleh para sastrawan, nitibang kita mesti bertualang ke belakang, ke periode-periode masa lalu. Tidakkah saat ini kita bisa menciptakan sebuah iklim baru dalam bersastra dan bukan tidak mungkinakan lebih luar biasa. Dan soal ingatan, biarlah sejarah yag encatat. Bukankah hari ini pun akan menjadi masa lampau?

Sebagai sebuah acara Temu Penyair Tiga Kota ini berjalan dengan baik dan sukses. Setidaknya ia bisa menjadi ruang silaturahmi antar sastrawan. Di sini akan lahir kemungkinan baru, sebuah energi baru dan ruang kreatif baru yang lebih dasyat. Sebagai pembuka, acara semacam ini perlu diacungi jempol.

Bagaimana pun, acara yang sudah berlangsung ini harus diapresiasi dan dicatat. Ini merupakan sebuah mediasi yang kita harap akan selalu ada dan terus ada di tengah kondisi kusustraan yang semerawut ini. acara sastra tak hanya milik orang ‘kota’. Ia tak melulu hadir di lembaga-lembaga resmi, diadakan oleh komunitas besar dan mapan. Tetapi ia bisa juga lahir dari sebuah ‘tempat sepi’, jauh dari keramaian dan hiruk pikuk, jauh dari ‘pesta’ dan perayaan dan diselenggarakan komunitas ‘lokal’. Sastra lahir dari mana saja dan bisa hadir di mana saja. Temu Sastra Tiga Kota yang berlangsung di Kulon Progo ini telah membuktikannya. Selebihnya kita serahkan kepada waktu.

Dan aku pulang. Mencari rumah mahwi, gak ketemu, nyari rumah teman sukma, gak ketemu juga. ya pulang.

Tidur sampai malam. Nonton film Koper. Duh, bangun tidur kok sudah diceramahi?? Wah… eh, tumben ya, aku nulis sok serius. hihihi... gak tahu nih, tiba2 pengen nulis aja.. hehhe