23 Jan 2018

Pledoi Malin Kundang: Deret Puisi Lirik dalam Tiga Latar


Pledoi Malin Kundang: Deret Puisi Lirik dalam Tiga Latar 
~Cep Subhan KM.

Pledoi Malin Kundang adalah antologi puisi yang bagus sejak dalam tampilan. Tebal 76 halaman ditambah halaman daftar isi di bagian awal dan satu halaman biografi singkat penyair, Indrian Koto, di bagian akhir adalah ketebalan yang pas untuk buku puisi. Ditambah lagi dengan kover yang menawan dan ukuran buku yang 13 x 19 senti: sebuah buku puisi yang terlalu besar akan membuatnya seperti kitab sejarah, sebuah buku puisi yang terlalu kecil akan membuatnya seperti buku doa-doa.


Puisi memang berbeda dengan prosa karena tempo puisi cenderung lebih lambat, karena puisi tersusun dari—mengutip Coleridge—“kata-kata yang terbaik dalam susunannya yang terbaik”. Dengan kata lain, kepadatannya lebih daripada prosa. Karena itulah puisi membutuhkan bentuk yang merenah—jauh lebih besar daripada yang dibutuhkan oleh prosa—ketika diterbitkan dalam sebuah antologi. Salah menentukan tampilan hanya akan membuat orang kian sukar menyukai puisi.

Ada 46 puisi di dalam antologi puisi tunggal pertama sang penyair kelahiran Sumatera Barat ini. Angka itu dibagi ke dalam tiga induk judul dengan pembagian yang tidak merata: Dari Tengah Kampung membawahi 17 puisi, Ziarah Laut membawahi 14 puisi, dan Kota Lama membawahi 15 puisi. Itulah yang tercatat di daftar isi. Tapi setelah membuka-buka buku tersebut, induk judul itu pada halaman-halaman sebagaimana yang diterakan daftar isi ternyata berubah menjadi lebih ringkas masing-masing hanya satu kata: Kampung, Laut, dan Rantau.

Ketiga induk judul yang termuat dalam daftar isi memang masing-masing bisa ditemukan sebagai satu judul puisi yang ada di bawahnya. Bolehlah kita menebak bahwa penentuan induk judul itu menunjukkan tiga latar berbeda si “Malin Kundang”. Bahwa secara sepintas Kota Lama dihubungkan dengan Rantau mungkin nampak tidak cocok karena seharusnya “kota lama” itu lebih cocok dihubungkan dengan “kampung” maka bolehlah ditafsirkan berdasarkan puisi berjudul sama di mana kita bisa temukan baris-baris:
Mengingatku seperti kota lama
Yang harus tetap dijaga dalam ingatan

Dengan kata lain: semacam baris-baris yang dituliskan seorang pasasir di tengah rantau mungkin tentang kenangan terhadap seseorang yang nun jauh di sana, mungkin di kampung halaman, mungkin dalam pelayaran, atau mungkin di kota rantau yang sama tapi terpisah jarak. Tentu saja itu adalah semacam tafsir yang membutuhkan telaah yang lebih jauh. Melihat pembagian isi antologi ini ke dalam tiga kelompok besar maka sangat mungkin bahwa puisi-puisi di dalamnya memang lahir dari persentuhan secara fisik ataupun kenangan sang penyair perantau dengan tiga latar yang sudah disebutkan tadi, gambaran yang kian kuat tertanam saat membaca puisi panjang yang dijadikan judul antologi ini.

Puisi-puisi yang terkumpul dalam antologi ini adalah puisi-puisi lirik: monolog-monolog si aku-lirik tentang berbagai hal dari mulai sosial (di kampung hulu/jalan menabrak rumah) sampai cinta (aku mencintaimu/bukan lantaran tak ada lagi yang bisa kucinta). Jenis puisi ini adalah jenis puisi yang ditulis oleh hampir seluruh penyair kita. Apa boleh buat, jika mencari kebaruan di dalam antologi ini maka kita tak akan menemukannya kecuali dalam bentuk digunakannya beberapa kosakata yang mungkin asing bagi sebagian pembaca: bedil betung, langkisau dan ratok, misalnya.

Dan itu bisa menawarkan ketertarikan tersendiri bagi pembaca. Taruhlah kata langkisau pada baris kau jauh lebih sepi/dari langkisau yang terus dibangun dan dikunjungi. Dalam KBBI langkisau dimaknai sebagai angin kencang yang arahnya tidak tetap. Dalam kamus Stevens padanannya dalam bahasa Inggris adalah tornado, kosakata yang mungkin lebih mudah dikenali oleh generasi kiwari. Akan tetapi tepatkah makna itu untuk baris tersebut? Ataukah langkisau di sana lebih merujuk pada nama tempat wisata, bukit langkisau di Sumatera Barat sana?

Puisi tak selalu membutuhkan kebaruan untuk bisa memikat kita. Salah satu kelebihan puisi lirik adalah ini: ia memiliki potensi lebih besar untuk memikat pembaca karena ia memiliki potensi yang sangat besar untuk membuat emosi penyair dan pembaca berada pada frekuensi yang sama melalui puisi. Pada titik itulah kita bisa menemukan bahwa puisi-puisi dalam antologi ini memang memikat untuk dibaca.

sumber

Tidak ada komentar: