24 Sep 2016

Novel Martin


Kiat Sukses Hancur Lebur menurut saya bukan buku yang harus habis dibaca sampai selesai, kemudian menemukan sesuatu di belakangnya. Harapan pembaca akan terlonjak di akhir bacaan, membanting ke lantai, mencecap lidah, butuh seteguk minum untuk akhirnya keterpesonaannya pecah dalam satu kata: "Gila!".

Keterpesonaan itu justru muncul di bab-bab awal, pengantar, daftar isi dan bab pertama. Pengantar yang ganjil, judul yang tak masuk akal, dan kalimat serta struktur sejak bab awal sudah tidak benar. Selebihnya kita dijebak pada keterpesonaan tadi, pada akhirnya di dua bab selanjutnya saya menyerah, "tai, apa ini?"


Itu pengalaman saya. Sangat mungkin berbeda dengan pengalaman anda. Saya adalah pembaca yang menyukai keteraturan dalam struktur dalam cerita, saya tidak temukan dalam buku ini.

Novel ini bagi saya, seperti sebuah 'ejekan' terhadap kekacauan berbahasa kita. Martin Suryajaya, dengan buku sastra pertamanya setelah melahirkan beberapa buku filsafat, mengaduk-aduk struktur kalimat dan mencampur-adukan berbagai istilah dar beragam cabang ilmu dalam sebuah novel yang tak terlalu panjang, sekaligus tidak singkat.

Sangat tidak mungkin Martin tidak menyadari resiko bahwa novelnya ini tidak akan selalu dibaca sampai tuntas. Bukan tidak mungkin pola sebuah cerita yang diabaikan tidak disadari oleh penulisnya. Tapi apa alasan untuk itu semua? Jika Martin memang mengejek kita yang berjumpalitan dengan istilah-istilah aneh dan ngawur, mengapa harus dalam sebuah buku yang sepenuhnya sukar dinalar? Lalu jika bukan dianggap sebagai sebuah karya sastra, bukan yang serius, kenapa Banana Yusi Avianto Pareanom​ berani menerbitkannya? Sayangnya tak ada catatan penerbit di buku ini, seingat saya.

Atau, jika ini bukan karya Martin Suryajaya, kira-kira apa respon pembaca jika karya ini tetap terbit juga? Bagaimana menganalisis novel ini wahai kritikus? Saya masih membayangkan, ketika puji-pujian ditimpakan atas karya ini, si Empunya tertawa ngajak, "Kena kau!". Jika buku ini masuk penghargaan sastra yang nama nomnasinya bisa di tukar-tambah dia bisa tertawa guling-guling.

Tapi bisa jadi tidak. Bisa jadi Martin berharap ada yang betul-betul paham isi kepalanya dan berharap menemukan pembaca yang tahu betul apa maksudnya. Dan bisa saja itu ada dan mungkin banyak. Jangan-jangan hanya saya yang tidak paham isi dan maunya buku ini. Sementara di luar sana para pembaca berteriak, "eurika! Ini yang kita cari selama ini." Atau, "Tidak rumit, sama sekali tdak ngawur." atau sebagainya. Buku ini tanpa endorse, sayang sekali, sehingga saya, jika memang ada yang seperti saya, bisa bertanya langsung pada mereka yang diminta menulis sebaris pujian di cover belakang.

Bisa jadi sebuah ide ditulis, dicetak jadi buku tujuan akhirnya bukanlah untuk dipahami atau dimengerti. Bisa saja ia sebuah gugatan atas cara pikir dan berbahasa, ideologi, politik, teknologi, dan sebagainya dan sebagainya. Mungkin saja gaungnya sampai ke sebagian orang, bisa saja tidak. Saya termasuk yang bebal itu.

Martin bisa jadi mengkritik kta sejak dari judul dengan embel-embel Kiat Sukses. Jika selama ini buku-buku petunjuk itu mengantarkan kita pada kemudahan dan kesuksesan, martin sejak awal menawarkan kita opsi berbeda: kancur lebur. Pun judul babnya, Martin seolah memberikan tips gampang-mudah-sukses, dari mengetik sepuluh jari hingga berternak lele jumbo. Tapi bukan itu yang ingin dia tuju. Dia mengejek kita, para 'sahabat yang super' ini. Jika selama itu hanya ada petunjuk sukses, Martin menawarkan yang sebaliknya. Jika buku ini bermaksud mengejek buku cara gambang, "how to", cara mudah, dan sebangsanya, sampai-sampai harus menyertakan catatan kaki, daftar pustaka yang parodik itu telah menghabiskan waktu kita sekian jam. Sebuah cara yang sukses untuk membuat kita hancur lebur. Martin mungkin mau melawan buku 'how to' dengan buku 'how to; pula. Wah, boleh juga!

Catatan ini adalah kemungkinan dan kebingungan seorang pembaca. Mungkin Kiat Sukses Hancur Lebur Martin Suryajaya adalah sebuah karya yang dinatkan dan dikerjakan dengan serius dan berhasil, bisa pula sekedar karya main-main dan tidak sepenuhnya berhasil. Lebih sering saya meyakini yang terakhir ini.

Saya mungkin orang yang membutuhkan seseorang yang melengkapkan cara pandang saya. Seperti Cala Ibi karya Nukila Amal, fakultas sastra, lomba penulisan esai tak pernah jeda melengkapkan analisis mereka terhadap novel tersebut. Bahkan, Brahmantio, yang memenangkan lomba esai DKJ 'membimbing' kita, calon pembaca untuk membaca Cala Ibi yang benar. Saya, mungkin juga salah satu dari anda, juga menunggu seseorang membuka kunci dan membukakan pintu untuk keluasan Kiat Sukses Hancur Lebur karya Martin Suryajaya. Di mana kajian atas buku ini, berlangsung terus menerus. Atau tidak sama sekali. Berhenti misalnya sebagai sekadar sebuah novel, ramai di awal lalu biasa lagi setelahnya. Untunglah tidak ada istilah yang sering dilekatkan dalam sebuah buku: genre baru, layaknya puisi-esai Denny JA yang atas ketokohannya dalam sastra Indonesia, dengan caranya yang berbelit dan rumit, langsung-tidak langsung, berhasil membawa Saut Situmorang ke pengadilan. Fyi aja, puisi-puisi Denny yang baru dan bisa diunduh gratis itu kayaknya kehilangan esainya, atau barangkali akan lahir istilah baru: "Pertama Di Indonesia, Puisi-Gambar".

Balik ke Kiat Sukses Hancur Lebur, saya sebagai pembaca telah dibuat hancur lebur oleh kerumitan buku ini dan tak ada satu pun cara buat saya saat ini bisa mengurainya. Ade Saktiawan bilang dalam esainya, butuh tiga setengah abad lagi untuk menjadikan buku ini sebaga karya yang biasa. Sekarang prematur, beberapa abad lagi jad lumrah. Saya tidak bisa mengamini ini.

Kita tunggu saja, semoga buku sastra pertama Martin Suryajaya ini tidak lantas menjadikan dia sastrawan berpengaruh dalam sekejap mata.

Ingatkan saya jika salah.



Tidak ada komentar: