Saya diwawancara oleh Nabila Budayana, teman cerita di grop whatapp JBS untuk dimuat di web Alenia TV. Sudah lama sekali. Tiba-tiba, saya ingin memposting ini. Pertama untuk dokumentasi di blog pribadi, kedua biar ada tulisan di blog. Itu saja. Berikut saya kutipkanbulat-bulat dari postingannya.
Dunia Sastra di Mata Indrian Koto
Nabila Budayana
Dunia sastra yang sepi kritik membuat sastra tumbuh seperti jalan raya di sebuah kota: kacau, semerawut, dan main terobos. Indrian Koto berbicara apa adanya tentang dunia sastra kita.
MENGELOLA
sebuah toko buku sastra dan sebuah komunitas, juga menulis puisi dan
cerpen, membuat seorang Indrian Koto memiliki pandangan tersendiri
terhadap dunia perbukuan dan industri sastra saat ini. Dari berbagai
obrolan
dan diskusi santai, seorang Indrian tak melulu berperan sebagai penjual,
namun
kerap kali juga murah hati memberikan rekomendasi dan membagi sudut
pandangnya
terhadap suatu karya. Berbagai pertanyaan tentang industri buku sastra
saat ini
membuatnya bersuara dan angkat bicara.
Menengok tentang definisi
sastra dan non sastra pada dunia perbukuan, menurut Indrian Koto, apa definisi
sastra?
Dalam dunia penerbitan biasanya, tidak selalu, ada kategori “fiksi”
dan “sastra” serta “novel” atau “roman” untuk menyebut genre buku tertentu. Artinya, dalam industri perbukuan ada semacam
pembatas yang tentu bukan ukuran, dalam posisi apa buku-buku tersebut mesti
diperlakukan.
Saya bingung untuk mendefenisikan ulang karena kita punya standar
yang cukup kaku dalam pendefenisian yang mesti diakui bersama lewat pusat
bahasa. Namun demikian jika ditarik dari jenis karya, sastra merupakan karya
yang berbentuk puisi, cerpen, novel/roman. Itu yang paling umum. Karena kita
sedang tidak bicara bentuk-bentuk karya sastra, jadi tidak perlu ada argumen
yang berlebihan mengenai perkara ini, kan?
Seberapa penting sastra
dalam kehidupan kita? Dalam bentuk apa saja sastra dapat dieksplorasi
kemanfaatannya? Menurut Anda, mana yang paling efektif?
Susah juga untuk mengukur seberapa penting sastra serta dalam bentuk
apa manfaat kesusasteraan dalam konteks dunia perbukuan. Karena ini pembicaraan
di luar sosiologi sastra. Posisi sastra dalam aplikasi sama seperti bidang
semacam filsafat.
Pada dasarnya sastra merupakan potret zamannya. Refleksi kesasteraan
bisa dilihat dalam unsur kesejarahan. Legenda, mitos, dongeng, adalah karya
sastra. Bahkan legenda, kepercayaan, hingga unsur-unsur keagamaan sejak zaman
Yunani Klasik, Romawi, bahkan sejarah agama-agama, baik agama langit, maupun
agama bumi, juga sarat dengan sastra.
Contoh kecil, Siti Nurbaya, siapa yang tidak kenal dengan tokoh
fiksi ini?
Bagaimana tanggapan
Indrian Koto terhadap beberapa anggapan bahwa sastra berkesan sulit dan
eksklusif?
Bisa jadi begitu. Analoginya itu ya seperti filsafat tadi. Tidak
semua orang mau mendekati sastra, dan belakangan karya sastra yang muncul juga
lebih banyak mengeksplorasi kata ketimbang peristiwa.
Sastra menjadi eksklusif karena banyak orang yang tidak berani dan
tidak mau melongok ke dalamnya, pun orang-orang yang bergiat di sastra juga
sebagian mengekslusifkan diri.
Pada dasarnya, jika diurut lebih jauh, sastra memang pekerjaan
berat. Membutuhkan riset yang serius, serta siap tidak popular.
Tetapi belakangan ini kehidupan sastra kita cair, para sastrawan
banyak yang turun ke masyarakatnya langsung, membaca karya di panggung-panggung
kecil serta terlibat di diskusi-diskusi publik. Justru yang hari ini sangat
ekslusif adalah para pengarang sastra popular. Gaya hidup ala masyarakat kelas
menengah, dan memiliki manajer serta
tim dalam bekerja.
Lalu, sudah berapa besar
buku sastra mengambil tempat di dunia literasi Indonesia? Sudah cukup ideal
kah?
Kalau yang dimaksud adalah popularitas pengarang, sastra kita kan
didominasi sastra kanon. Di sekolah kita hanya mengenal penyair sebatas Chairil
hingga Taufiq Ismail. Artinya, dalam kanon sastra dalam dunia pendidikan, sastra
tidak pernah tumbuh dengan normal.
Kaitannya dengan bacaan, perpustakaan pemerintah di seluruh
Indonesia kan dikontrol oleh depertemen dengan proyek-proyek besar mereka.
Sastra yang masuk ke sana rata-rata sesuai dengan kebutuhan literasi kanon tadi.
Buku-buku yang paling sering kita temui adalah karya-karya para sastrawan Balai
Pustaka. Ini kecenderungan umum di tiap daerah. Artinya, dunia literasi secara
umum terkendali secara sistemik. Belum lagi persentase sastra dalam mata
pelajaran di sekolah. Bahkan, fakultas sastra pun lebih banyak memberi teori. Dan
ini cukup berbahaya, di mana kampus-kampus pun memiliki keterbatasan akses dan
pengetahuan mengenai pertumbuhan kesasteraan di nusantara. Kampus bahkan
mengikut isu yang berkembang di pasar. Bahwa, misalnya, “Saman” yang ditulis
Ayu Utami dianggap sebagai fenomena kesasteraan, kampus pun terlibat dan dalam
merumus-rumuskan teori agar terhubung dengan ini.
Misal yang lain, dari skripsi dan tesis mahasiswa, ada berapa banyak
pengarang kotemporer yang mendapat sorotan? Tetapi ada pengarang yang jika
dihitung kajian tentang karyanya bisa ratusan.
Ketidakadilan ini tentu berpengaruh ke perkembangan buku saat ini. Pihak-pihak
yang terkait dengan sastra tidak update
mengenai perbukuan, sesama sastrawan tidak terlalu tertarik membaca karya
seniman lainnya. Begitu juga dengan penerbit, sastra bukanlah buku yang
menjanjikan. Pilihan yang paling mungkin adalah menerbitkan buku sendiri. Inilah
yang sedang terjadi belakangan ini. Namun, jika sastrawan mesti dituntut juga
untuk mempromosikan dan menjadi pedagang, ini tentu amat merepotkan mereka.
Belum lagi, dunia sastra yang sepi kritik membuat sastra tumbuh seperti jalan
raya di sebuah kota: kacau, semerawut, dan main terobos.
Dalam beberapa tahun
terakhir, bagaimana perkembangan buku sastra di Indonesia?
Perkembangan secara umum bagus. Dunia penerbitan bukan lagi dunia
yang ekslusif. Bahwa hari ini orang tidak perlu menunggu tahunan untuk
menerbitkan buku-buku karyanya. Setiap orang bebas kapan dan dimana bukunya
bisa diterbitkan. Secara kuantitas, dunia kesasteraan sangat ramai dengan
buku-bukunya.
Namun, keran yang terbuka ini justru membuatnya cukup riuh. Para
penikmat sastra bingung menenutukan mana karya yang baik, mana karya yang
biasa-biasa saja. Tidak ada standar apa pun, kritik tidak hidup, buku terus
diproduksi, tiap orang hanya butuh rasa percaya diri yang besar untuk bisa
menjadi penulis. Dan, jumlah followers akan
ikut menentukan seberapa buku yang akan laku. Dalam kondisi ini, para sastrawan
yang sungguh-sungguh hidup dalam dunianya akan sangat sulit dikenali dan hidup
dengan semestinya, Maka tak heran, meski secara kuantitas banyak karya yang
lahir, secara kualitas jumlah itu sangat sedikit yang merupakan karya-karya
terbaik. Sebagai pedagang buku dan penikmat sastra, saya punya alasan kuat
untuk mengatakan ini
Selama berdagang buku sastra,
bergiat dan membentuk komunitas, ada kesan menarik tentang sastra dari
penikmatnya?
Banyak juga, peristiwa yang saya anggap lucu sekaligus menyenangkan.
Dalam komunitas tentu kondisi mengenai bacaan, peta kesusasteraan tidak terlalu
menjengkelkan. Saya tinggal memprovokasi orang saja. Tetapi sebagai pedagang
buku online, dan pada umumnya saya
melakukan interaksi dengan sebagian pembeli buku saya. Tujuan jelas, selain
menjadikan mereka langganan saya, saya juga ingin tahu bacaan dan mengarahkan
selera mereka. Tentu tidak secara verbal.
Pelanggan terbanyak saya berasal dari Twitter, orang-orang yang tak
selalu berminat dengan buku sastra tetapi kadang tanpa alasan belanja buku.
Banyak pembeli buku hanya tahu nama satu dua orang sastrawan atau judul karya
saja karena pembicaraan yang mereka ikuti. Atau mereka memang pembaca sastra
awam yang tertarik ingin mengenal sastta. Biasanya mereka meminta rekomendasi
saya kira-kira buku apa yang mesti mereka baca.
Dari kacamata Anda, apa
kendala dalam upaya memasyarakatkan buku sastra oleh kita bersama saat ini?
Generasi hari ini adalah generasi internet. Mereka tumbuh dan
berkomunitas di dunia maya ini. Ada banyak komunitas penikmat buku dan saling
berbagi buku bacaan. Namun, sastra bukanlah poin penting di sini, karena
buku-buku yang mereka nikmati merupakan kategori “fiksi” atau setingkat lebih
besar adalah “novel”. Ada banyak generasi sekarang yang mengenal nama-nama
besar, namun sedikit yang membacanya. Ada banyak generasi hari ini yang senang
menulis namun sedikit membaca atau bahkan dengan percaya diri yang tinggi
mereka seperti mengabaikan teori, konvensi bahasa, logika dan unsur-unsur kesusasteraan.
Mereka tetap menyebut ini sebagai satra.
Mau bicara apa kita di tengah tradisi “endorsement” ini?
Namun selalu ada cara untuk memasarkan buku meskipun terseok.
Sebagai misal, Jual Buku Sastra, toko buku online
saya memiliki visi untuk memperkenalkan buku-buku sastra yang diterbitkan
secara indie oleh penerbit yang
bahkan hanya lahir untuk satu buku tersebut saja. Namun mereka harus dicatat,
harus mendapat tempat. Ada berapa banyak apresiasi terhadap karya sastra indie, penulis tidak terkenal? Sastra
hari ini bukanlah semata-mata “hasil”, tetapi juga merupakan “jalan”.
Ada yang tidak sadar dan tidak mau tahu dengan kondisi ini. Termasuk
juga mereka yang mengaku pengarang. Penjelasan mengenai ini rasanya amat sangat
panjang. Anda bisa mencari contoh untuk beberapa kasus bagaimana sastra popular
mendapat tempat yang cukup luas di masyarakat dan dianggap itulah sastra yang
merupakan cermin masyarakatnya.
Ini seperti menjawab pertanyaan pertama tadi, logika sederhana untuk
melihat mana yang sastra, mana yang bukan, tanpa harus mengutip teori adalah:
seberapa lama karya dan penulis ini akan bertahan dalam dunia literasi kita.
Berapa panjang usianya.
Dari data hasil penjualan
toko buku sastra, apa optimisme ke depan untuk dunia sastra dan industrinya?
Kita membutuhkan ruang baru dalam pengembangan toko buku. Toko online menjadi salah satu media yang
akan meningkat di tahun-tahun ke depan. Toko buku alternatif di dunia maya
jelas lebih efektif dan hemat dan menjangau semua tempat. Buku untuk sampai ke
tangan pembaca mengalami proses yang rumit. Di tengah-tengah keruwetan dunia
perbukuan kita dihadang oleh “politik toko buku”. Toko buku konvensional jelas
dimonopoli oleh satu jaringan toko buku terbesar. Yang di daerah dan yang kecil
bisa apa?
Maka kita lihat belakangan, di Facebook terutama, ada banyak
bermunculan toko buku pribadi, yang pedagangnya tidak harus memiliki buku
langsung. Artinya toko buku yang berbasis jasa. Tetapi orang senang karena buku
yang tidak ada dikotanya bisa dipesan secara online.
Hanya saja pedagang buku seperti saya tidak terlalu bisa diharapkan
bisa berkembang. Pertama terkait dengan modal, yang akhirnya berhubungan dengan
akses buku. Sebagai umpama, ketika orang butuh buku dan memesan di JBS, bisa
dicarikan tetapi adanya di toko buku. Kendalanya jelas harga. Tidak ada diskon
di sana. Basis saya dengan JBS selain urusan-urusan sok ideologis, jelas
memberikan jasa. Tetapi ketika saya mesti membeli buku di toko buku yang tanpa
diskon, itu akan membuat saya serba salah. Menaikkan harga buku, jelas bukanlah
pilihan ideal saya untuk jenis buku yang masih ada ditoko buku lain, Secara
perbandingan tahun terbit buku tersebut seharusnya berharga normal. Ini membuat
saya kehilangan idealisme konyol.
Dengan tidak memiliki modal akan membuat saya juga sulit bekerjasama
dengan distributor yang memegang pembagian buku di tiap daerah. Saya bisa apa
dengan kondisi yang pas-pasan ini. Akhirnya jika punya sisa uang saya belanja
buku secara mandiri, menunggu diskonan buku yang “dibuang” oleh penerbit dan
menjualnya lagi dengan harga normal.
Sebenarnya ini sangat tidak saya sukai. Tapi apa boleh buat.
Dari sisi industri,
bagaimana sastra menempatkan dirinya saat ini?
Industri buku saat ini sedang dan sangat bergairah. Bahkan munculnya
akses internet tidak mengganggu penerbitan buku-buku. Buku-buku terus
diproduksi, selalu ada buku yang dicetak ulang, ada buku yang best-seller, dan seterusnya.
Fiksi-fiksi popular dengan sasaran utama para remaja menempati urutan pertama buku-buku laris belakangan ini. Ada banyak penerbit yang muncul dan besar dengan sasaran memproduksi sebanyak-banyaknya buku-buku fiksi untuk remaja. Bahkan penerbit-penerbit mapan pun ikut bikin lini penerbitan buku-buku fiksi remaja. Belum lagi jika kita melihat fenomena penerbitan buku di beberapa situs internet.
Fiksi-fiksi popular dengan sasaran utama para remaja menempati urutan pertama buku-buku laris belakangan ini. Ada banyak penerbit yang muncul dan besar dengan sasaran memproduksi sebanyak-banyaknya buku-buku fiksi untuk remaja. Bahkan penerbit-penerbit mapan pun ikut bikin lini penerbitan buku-buku fiksi remaja. Belum lagi jika kita melihat fenomena penerbitan buku di beberapa situs internet.
Buku tetap diproduksi, masal maupun terbatas.
Lalu di mana sastra menempatkan dirinya? Buku sastra tetap bergerak
dengan lamban dan malu-malu. Tidak banyak, jika tak bisa dibilang tidak ada,
buku-buku sastra yang diterbitkan penerbit besar. Ada satu-dua buku sastra yang
digadang-gadang dan cukup berhasil di pasar, tapi tidak selalu.
Buku Sastra yang banyak diminati yang seperti apa saat ini?
Sastra serius jelas bukan. Buku yang banyak dibaca dan diproduksi
saat ini adalah novel fiksi-biografi.
Di JBS ada beberapa buku pengarang tertentu yang cukup laris, karena
nama itu yang cukup popular di dunia sastra. Selama itu sastra saya senang
saja, meskipun harus mencarikannya di tempat lain. Tetapi kalau buku-buku
sastra popular, saya mesti berpikir dua kali untuk mencarikannya. Saya tinggal
bilang, “kami tak menjual buku yang dimaksud” Terhadap sastra terjemahan
minatnya juga cukup tinggi.
Dari hasil penjualan, bagaimana minat masyarakat terhadap buku sastra Indonesia dibanding buku-buku sastra luar negeri/terjemahan?
Cukup seimbang. Ada banyak penikmat sastra terjemahan, bahkan tak
sedikit yang mencari versi asli. Tapi kami jelas tidak punya.
Sastra-sastra Eropa dan Amerika Klasik cukup banyak peminatnya,
hanya saja buku-buku kami kan sangat terbatas. Saya juga mengingatkan ke
beberapa pembeli yang masih asing dengan karya pengarang tertentu untuk
mempertimbangkan buku dengan terjemahan yang buruk misalnya.
Sastra lokal juga sama. Peminat karya penulis tertentu cukup banyak.
Hanya saja, sekali lagi, keterbatasan stok kamilah yang membuat buku-buku
sastra lokal juga belum terakomodasi dengan baik. Mereka memilih jenis buku pengarang
tertentu karena memang suka sastra, ada juga karena kenal nama penulisnya dan
penasaran pada pengarang tertentu.
Ada pesan dan harapan
untuk dunia Sastra Indonesia?
Saya
orang yang pesimis dan cukup sinis, sehingga sulit berhadapan dengan kata harapan.
Hahaha…
Bagaimana
pun sastra sebagai bagian dari kebudayaan akan tetap ada dan terus tumbuh
dengan berbagai variasi dan medianya. Artinya tak ada yang perlu dikhawatirkan.Ya,
memang rasanya tak perlu ada yang dikhawatirkan.
Jika Indrian Koto mengatakan
sastra adalah bagian dari kebudayaan, hal itu sejalan dengan yang S. Takdir
Alisjahbana katakan, “Saya yakin bahwa dalam zaman kita kesusateraan mempunyai
tugas yang tak terhingga banyaknya oleh perkembangan budi dan kebudayaan
manusia. Hanya apabila kesusasteraan dengan sadar menghadapi soal-soal itu dan
tidak takut dan lari daripadanya, ia akan dapat sesungguhnya menjadi relevan
dalam perkembangan sejarah dan kebudayaan.” Optimisme pada industri sastra pun
akan terus ada untuk kembali menjalankan tugasnya, mengambil peran dalam perkembangan
kehidupan.
Tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya untuk AlineaTV tanggal 21 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar