Pada suatu waktu, dalam sebuah acara budaya di
Semarang, seorang kawan penyair yang lebih jago membaca puisi dan improvisasi,
‘dipaksa’ membaca sebuah puisi ‘titipan’. Dengan setengah harga diri hilang
sia-sia, pemuda bernama Kedung Darma Romansha yang akrab kupanggil Mancrot
(tolong, kalian jangan ikut-ikut memanggilnya demikian) yang baru menerbitkan
buku puisi berjudul Uterus itu, terpaksa membaca puisi tersebut dengan atraksi
yang cukup canggung. Lembaran puisi itu ‘pesanan’ dari Jogja, sekira 2-3 lembar
folio panjangnya, diselipkan ke pinggang Mancrot persis saat ia akan berangkat
ke acara.
“Aneh banget loh puisinya,” demikian Mancrot
berkisah dengan harga diri yang nyaris tak ada. Ia tertunduk. “Susah dibacanya,
baris puisinya mengulang-ulang satu kata: tar-cetar-tar,
tar-cetar-tar, gitu.” Oh, mungkin itu efek dramatisnya mungkin, kata saya
setulus yang saya bisa. Biar kamu bisa merasakan sebagai pemecut kuda, atau
barangkali cambuk untuk para budak.
“Saya tidak berniat menyimpannya. Sehabis baca ya
saya buang saja.”
Pilihan yang bijaksana saya rasa.
“Saya baru tahu kalau doi juga menulis puisi.”
Menurutmu puisinya bagaimana? Saya memancing. Saya
tahu si Mancrot ini sejujur-jujurnya penyair, sepolos-polosnya penyair. Maksud
saya, untuk ukuran penyair ia penyair yang terlalu polos, seolah gampang
dirayu, seakan mudah ditipu. Dan seringkali memang begitu.
“Jelek banget, men. Sumpah. Puisi yang aneh.
Diksinya kaku, seperti esai tapi bukan esai. Seperti puisi tapi ini bukan
puisi..” Dia melontarkan kalimat itu seperti memuntahkan seluruh kekuatannya.
Wajahnya puas, lega selega-leganya. Tapi cepat ia menambahkan, “Tapi kamu
jangan bilang-bilang ya, aku gak enak nih sama doi.”
Saat itu saya mengangguk. Dalam hati saya berjanji,
“Pasti akan kubalaskan dendam aibmu, Kawan. Pasti!”
Untuk seseorang yang diam-diam meminta si Mancrot
yang polos itu membacakan puisi, dan untuk semua penyair yang lariknya masih
terasa kurang olahannya, saya ingin menyarankan: belajarlah dari lirik lagu dangdut,
terutama Ona Sutra!
Jika anda sudah bernafas sejak awal tahun 80-an, yang
suka mengunggu Album Minggu Ini di
TVRI, jangan pura-pura tidak kenal dengan Ona Sutra. Barcelona, Bola, Terbayang-bayang, Asam di Gunung Garam di Laut,
masih mengaku tidak tahu? Titip Cintaku,
Sisa-sisa Cinta, tak kenal juga? Jika benar-benar tak tahu, sudahlah, buanglah
harapan jadi penulis.
Saya buka rahasia besar pada kalian. Para sastrawan
yang namanya kita hapal di luar kepala itu rata-rata penyuka dangdut. Ada
banyak sekali nama yang bisa ditulis di sini yang jadi inspirasi para
sastrawan. Saya menyebut satu dulu orang besar itu, dan karena ini panggungnya,
dia adalah: H. Ona Sutra. Penyanyi kurus, keriting, selalu memakai rayben, dan cengengesan itu salah satu
guru besar para penulis kita.
Cobalah anda buka youtube dan dengar sebaik-baiknya
lirik lagunya. Saya ambil satu contoh. Tolong simak baik-baik lirik Barcelona ini:
Barcelona, dengarlah suara ini
Aaa.. aaa.. aaa…
(pada masa itu banyak penyanyi dangdut kita membuka lagu dengan
teriakan-teriakan, diiringi suara piano, lagu ini pun demikian. Ini intronya)
Barcelona oh barcelona
terpaut pandang padamu
Barcelona oh Barcelona
senyum simpulmu
menawan kalbu
Kau tempat mata bertemu mata
dari seluruh penjuru mata
Kau tempat cinta bertemu cinta
dari seluruh penjuru cinta
Barcelona oh Barcelona
kau primadona sembilan dua
Barcelona…
Seratus persen cintaku pada dirimu
bagaikan emas murni bukan tembaga
Sembilan kolam asmara aku renangi
sembilan lingkaran cinta aku jalani
Cari mencari si kumbang cari
yang aku cari ada disini
Langit pun tahu sayang, bumi pun tahu
engkau dan aku melepaskan rindu
Barcelona oh Barcelona
bolehkah aku singgah di sana
Barcelona..
Sudah? Apa yang anda tangkap dari lirik lagu itu?
Itu lagu penuh diksi Bung. Kalau belum
puas, simak lagi lirik berikut ini:
Haaaa..........aaaa.....aaaa
Bola, hari
ini kau nampak cantik sekali
Sungguh
mengagumkan
Oh ya Bola,
aku ingin mengatakan sesuatu padamu
Bolaaaa.. Tunggu...
(Intro yang tereak-tereak)
Bola, Bola
Gayamu Mempesona (Oya, Oya)
Laksana Sang
Primadona
Bola Tak
Luput Dari Kejaran (Oya, Oya)
Sana Sini
Jadi Rebutan
Bukit Tinggi Ku Lalui (Bola Bola)
Sungai Musi
Kuseberangi (Bola Bola)
Topan Badai
Kuhadapi (Ooooooooo)
Demi Cintaku
Yang Suci (Gombal)
Bola Kau Terobos Gawang Cintaku (Oya, Oya)
Kau Bersarang
Dalam Sukmaku, Bola
Kalaulah Tidak Karena Bulan
Manalah Bintang
Hari Meninggi Hari
Kalolah Tidak
Karena Dinda Sayang
Manalah
Mungkin Aku Sampai Disini
Kanan Gunung Di Kiri Gunung
Tengah-Tengah
Biru Telaga Biru
Badan Bingung
Naluri Bingung
Resah Hati
Gelisah Dilanda Rindu
Bola kau di
sana aku di sini (oya, oya)
Jauh di mata
dekat di hati.
Dasyaaat bung... Ini metonimia kelas wahid, diaduk
dengan sinekdok, alegori, dengan menambahkan personifikasi, paralelisme,
simbolik, dan memberi sedikit untaian simile. Komplit. Benar, lagu pertama
berangkat dari spirit olimpiade di Barcelona, lagu kedua soal sepak bola. Tapi
lihatlah, di luar peristiwa sejarah, parafrase bertebaran nyaris di sepanjang
lirik dan, taraaaa... lagu itu jadi
tembang cinta. Perumpamaan ini, tandingannya cuma Sapardi dan mungkin Jokpin.
Tak cukup dengan pengibaratan, Ona Sutra juga
membikin kaum jomblo tak akan pernah lepas dari masa lalunya. Simaklah lagunya Titip Cintaku dan Sisa-sisa Cinta.
Ona Sutra seorang visioner sejati. Dia sudah
meramalkan di masa depan akan ada twitter yang ciutannya pendek dan ringkas.
Cobalah twitkan beberapa lirik lagu Ona Sutra di twittermu, Raditya Dika pun
barangkali akan segera me-retweet-nya.
Ya, Ona Sutra juga jagoan memang dengan dangdut patah
hati. Simak misalnya: bila kumenatapmu,
hatiku tak menentu. Bila kita jumpa, berdebar dalam dada.// mengapa ini terjadi, sungguh aku tak
mengerti, sedangkan kita sudah berpisah//. Nah, nah, nah.. bagaimana? Ah, satu
Lagi:. Cinta yang dulu pernah bersemi, sekian lama pergi kini datang lagi.//mungkin
di sana masih ada cinta, mungkin di sini masih ada cinta, sisa-sisa cinta di
dalam dada. Sadiiiiss. Habis kamu, Mblo...
Soal lirik, Dangdut macam yang dinyanyiin Ona Sutra
memang rada mirip dengan puisi. Dan ini rahasia kedua: Jika ada penyair yang
sanggup menyamai keketatan lirik lagu dangdut, artinya ia penyair berbakat.
Sebagai contoh, acak saja, kebetulan di meja saya ada puisi Irwan Bajang jadi
saya mulai dari sana. Dan mari kitra lihat:
....kelak,
kau akan menamai anakmu berbeda
Melupakan
nama-nama
Yang pernah
kita rencanakan di masa muda
Kau
menggandeng suamimu
Lalu aku
pulang menggandeng tangan bayanganmu
(Pada
Resepsi Pernikahan Itu, Irwan Bayang)
Bandingkan dengan ini:
Aku rela
melepaskan dia
Walau harus
menderita
Karna cinta
tidak selamanya indah dan berakhir bahagia
....
Biarlah
derita kusimpan dalam jiwa
Asalkan
bahagia slalu bersamanya
(Titip
Cintaku, Ona Sutra)
Gila, kekuatan lirik puisi Bajang berada di atas
lirik Ona Sutra. Jauh di atasnya. Ini pertanda baik. Masa depan anak muda ini
akan sangat panjang. Puisi-puisi selanjutnya akan jauh lebih mumpuni,
monumental, kredibel, perfek, dan luar biasa. Apa soal? Ia sudah membuka
dirinya, menerima dangdut sebagai identitas kecil ruang privatnya. Dia
berbakat, sebagaimana nama-nama yang nanti akan saya tuliskan. Tinggal
sekarang, Bajang mau membuka diri dengan Ona Sutra, atau bagaimana. Saya
menyarankan dengan kasih seorang kakak, cinta seorang sahabat: “Bajang, mulailah
menambahkan lagu-lagu dangdut 90-an di antara koleksi ST 12, Stinky, Slam, Search dan Noah yang kau putar berulang itu.
Jangan terlalu terpesona dengan Cita Citata.”
Untuk pembanding puisi dan lagu yang lain, saya
kira kawan-kawan bisa mencoba-coba sendiri.
Demikianlah kira-kira, para penyair sebenarnya
dibesarkan dangdut. Dangdut adalah ideologi para sastrawan kita, camkan itu. Tidak
mesti Ona Sutra, tapi juga jangan terlalu cupu dan hanya mengenal Rhoma Irama. Ada deretan tembang-tembang dangdut klasik
yang liriknya abadi
Aneh sebenarnya ada penyair yang mencuri karya
penyair lainnya, mestinya dia mencuri lirik lagu dangdut saja. Caca Handika
kurang apa untuk tidak menerbitkan liur itu dia punya lirik, mana juga ada Dayu
Ag, Mukhsin Alatas. Belum lagi sesendu-sendunya penyanyi dangdut macam Asep
Irama yang bisa membuatmu berjoget
sambil membikin kolam airmata.
Saya sarankan kepada calon penyair sebaiknya memang
mencoba lagu-lagu dangdut mellow. Hakikat penyair kan menjahit luka, kurang apa
lirik dangdut begini untuk modal awal: kau
menari-nari di atas lukaku ini...
Memang, Ona Sutra bukan satu-satunya, tapi dia
masuk 10 besar pedangdut yang lirik-liriknya nyaris puisi. Ona Sutra ini komplit, ya bisa menyanyi
dengan riang sambil cengengesan, ya bisa melankolik sejadi-jadinya, melebihi
Dea Anugrah, dengan tetap cengengesan. Tanpa bir, Bung! Jadi ayolah, yang
tadinya suka diam-diam nyetel lagu dangdut mari mulai berani menampakkan diri.
Untuk sampai di ujung tulisan, supaya kau tidak
merasa sendirian saya nukilkan sedikit orang dengan keteguhannya pada selera
dangdut. Data ini bersifat rahasia, jadi jangan dikasih tahu orang lain.
Sebagian data sumbernya akurat, sebagian lain ya saya cocok-cocokkan saja.
Teman saya Tia Setiadi cinta mati pada Mansyur S.,
dan syukurlah sama cinta matinya dengan Asam
di Gunung Garam di Laut-nya Ona
Sutra. Asam di Gunung pilihannya yang
kedua setelah Pelaminan Kelabu-nya
Mansyur S., jika kebetulan kami karaoke bersama. Mahwi Air Tawar menyuka semua
dangdut tapi tak ada lirik yang terhapal sempurna. Afthonul Afif penyuka semua
dangdut menyanyat hati, sejenis Evie Tamala. Gunawan Maryanto itu terinspirasi
betul sama dangdut, The Queen of Pantura,
kumpulan puisi terbarunya sebagai alat bukti yang tak bisa disangkal lagi. Dea
Anugrah, penulis muda berbakat kita ini, selain rutin mengaji Terbayang-bayang-nya Ona Sutra, dia juga
pendendang apik lagu-lagu melayu.
Agus Noor rasa-rasanya suka menyiulkan lagu-lagu
Caca Handika. Dan coba tebak, lagu apa yang dinyanyikan Tokoh Utama Seno Gumira
Ajidarma dalam cerpen Dilarang Menyanyi
di Kamar Mandi yang bikin perempuan tetangga mau mencincangnya? Ada dua
lagu andalannya: Pertama, Mandi Madu yang dinanyikan Elvy Sukaesi. Liriknya
begini: Basah, basah, basah, seluruh
tubuh, ah, ah, ah, menyentu kalbu... Kedua, Janur Kuning, dinyanyikan Noer Halimah. Liriknya? “Kalau sudah saatnya/ sumpah
perkawinan kita/ semua menjadi milikmu/ dari bukit-bukitnya yang menghijau/sampai
lautan yang biru/kakanda sayang, aduh, aduh, kakanda sayang...//
Aih, maaaak...Kau bisa
bayangkan efeknya kalau itu dinyanyikan perempuan segar jelita selepas isya di
kamar mandi? Dia yang mandi, situ yang basah.
Coba tanya Puthut EA, harusnya dia hapal di luar
kepala lagu Aduh Buyung, dan Hujan di Malam Minggu. Diam-diam dia
menggilai Manis Manja Group, utama dan terutama sekali Ine Sinthya. Muhidin M
Dahlan, itulah, dia hamba Rhoma Irama yang tiada tara, meski belakangan
kepincut juga dengan lirik sendu Kangen Band. Eka Kurniawan, barangkali
menggali inspirasi lewat penggabungan instant antara Hamdan ATT dan Meggy Z. Senyum Membawa Luka kata Meggy Z, Cantik Itu Luka kata Eka. Nah!
Joko Pinurbo,
dan Afrizal Malna, semua benda-benda di tangan mereka punya nyawa. Tak
diragukan lagi, Ona Sutra, sudah. Coba simak lirik lagu Bola dan Barcelona tadi.
Benda-benda menjadi hidup, kan, bahkan bola saja bisa bilang: Gombal! Dan Mas
Jokpin dimungkinkan terinspirasi dari Gubuk
Derita dan Orang Termiskin di Dunia dalam
kumpulan puisi Celana. Bagaimana
dengan A.S. Laksana? Kalau tak silap, berkali-kali Alit—tokoh yang sering
muncul dalam cerpennya-- bertemu panggung dan penyanyi dangdut.
Dari kesemuanya, terlepas mereka juga menyukai Ike
Nurjana, Itje Trisnawati, atau Fazal Dath, Ona Sutra adalah suara-suara yang
menyerpih di antaranya.
Cintailah dangdut dan mari berasyik-masyuk dengan
liriknya. Asal jangan kelewatan seperti teman saya Fahmi Amrullah. Si
Ensiklopedia dangdut ini maqamnya sudah di luar batas kemampuan kita. Bagi dia,
“Tak ada dangdut yang tak asyik,tak ada lagu yang tak koplo.” Koleksinya tidak
main-main, mulai Dari Ellya Kadam, Reynold Panggabean, Rita Sugiarto, hingga
Alvi Puspita, sampai marawis versi koplo dikoleksinya. Resikonya, ya itu, susah
jodoh.
Sebagai penutup, kalian tahu siapa orang yang
menulis puisi dengan memaksakan kata tar-cetar-tar,
tar-cetar-tar sepanjang baris puisinya di awal tulisan saya tadi? Tak lain
tak bukan, Muhidin M Dahlan, saudara-saudara. Lantaran baginya tak ada yang
lain selain Bang Rhoma, itulah takdir puisinya.
Tar-cetar-tar,
tar-cetar-tar...
*Tulisan ini dibuat untuk mojok.co tapi ditolak.*
5 komentar:
Membaca tulisan ini seolah sy sedang mendengar org cerita dgn gamblang dan penuh ekspresi meyakinkan, jd ikut terbawa suasan sambil mlongo.
Keren bung..!!!
Sy bkn penulis atw sejenisnya makanya bahasa pun ga beraturan. Tp sy suka tulisanmu bung..!
Teruskan karya tulismu
Modyaaaarrr abizzz!! Ini cerpen berbobot.... tulisan ttg hati. You are the real writer
Gak nyesel googling dapat bacaan yg berbobot.
Mantabz blaz.
Muaantaaappp bung
Posting Komentar