19 Jan 2014

Kepada Muphil Madonri


Lebaran 2012
Muphil, sakit kepala yang menyerangmu siang-malam itu telah kau sudahi kini. Sakit kepala yang membuatmu lumpuh, kehilangan sebagian kesadaran, dan di hari-hari belakangan kau kehilangan suara juga. Sakit kepala semacam apa ini yang bisa membuatmu merasakan semua itu? Sakit kepala macam apa yang membuat kau mesti pergi lebih pagi? Kepergianmu sore tadi, 18 Januari 2014, sekira jam 15.25 adalah penutup dari penyakit sialan yang menghajarmu sejak idul adha yang lalu, adikku.


Penyakit yang kau derita bulan-bulan terakhir, bahkan dokter rumah sakit pun tak memberikan kepastian gejala apa yang membuatmu jatuh berguling-guling, muntah dan pingsan setiap sakit itu datang. Apakah mereka benar-benar tidak tahu ataukah ada yang rahasia?

Tidak adikku, kita tak perlu lagi membilang yang sudah-sudah. Kita mesti menghadapi apa yang terbentang di depan mata. Rasanya tak pernah bisa dipercaya, kau yang bersemangat dan nyaris tak pernah sakit mesti terkapar dan menerima maut lebih cepat dari kami semua.

Kepergianmu adalah kehilangan yang besar bagi kami, keluarga besar kita.
***

Kabar kepergianmu dikirim oleh Da Hen, kakak nomor duamu, kepadaku—kakak sepupumu,  Doni, dan Beben. Doni yang membaca pesan singkat da Hen melompat dengan wajah pucat. “Astagfirullah…” teriaknya, “Akak meninggal..!!”

Dadaku berdebar demikian kencang, aku kehilangan pikiran beberapa saat sampai kubuka pesan singkat Da Hen, kakak kandungmu, kakak sepupuku itu.  Aku butuh beberapa saat mengendalikan diri, dan tak pernah berhasil hingga saat ini pun. Satu-satunya kemungkinan yang bisa kulakukan saat ini adalah membalas pesan Da Hen dan menuliskan, “Uda akan pulang?”

Ya, tentu Da Hen mesti pulang. Dia sudah beberapa minggu lalu diminta keluarga untuk bisa pulang menengokmu. Mak Gaek, amakmu, sambil menangis bilang lebih-kurang: “Lihatlah adikmu segera kalau masih ingin bertemu dengannya..”

Orangtua memang punya firasat yang lebih tajam. Tapi soal maut tentu tak bisa kita ramalkan. Setidaknya itulah yang dikatakan Abang Mugil, kakak Ketigamu, pada Da Hen. Kita terus berusaha mencari jalan agar Muphil sembuh, Muphil selalu punya cara agar dia segera sembuh. Mugil yang selalu siap siaga mengurusimu, memandikanmu, membantumu duduk dan mengangkatmu dan mendudukkanmu di kursi di beranda agar kau tak terkurung dalam kamar pengap dengan sakit kepala yang membuatmu kehilangan keceriaan masa muda.

Allah punya jalan yang ajaib untuk kita, adikku. Kini kau kembali padanya. kami belajar melepasmu dengan ikhlas dan suka rela. Setelah Da Hen, aku mendapatkan kabar dari Mugil dengan isak yang tak bisa disembunyikan. Dia jarang menangis, aku bahkan tak pernah mendengar Mugil menangis. 

Sore tadi gerimis jatuh lebih cepat dari yang kami duga.
***

Setiap pulang ke Padang kaulah orang pertama yang kutemui. Aku, uda sepupumu ini, selalu menumpang tidur di kamar kos yang kau tinggali bertahun-tahun sejak SMK. Kamarmu punya beberapa poster, terkhusus Milan tentu saja. Aku tak suka bola, tapi kau atlit bola di kampung kita. Setiap ke Padang, setiap itulah aku menemukanmu di kamar beratap rendah, dengan kipas angin kecil berdengung yang tak berpenutup dengan cerita-cerita yang riang gembira. Bertemu denganmu, aku merasa sudah pulang kampung, sebelum benar-benar menjejak halaman.

Kita bersama-sama terakhir kali saat lebaran 2012 yang lalu. Kita dengan sebagain yang belum menikah berkunjung ke rumah Alm Uwan Markis. Barangkali ini tradisi terakhir keluarga besar kita setelah uwan berpulang empat tahun lalu. Kita sempat berfoto bersama-sama. Momen penting di keluarga besar kita karena tidak akan ada lagi momen sebesar itu. Sebagian besar dari kita sudah bekeluarga, mereka akan berkunjung dengan keluarga sendiri-sendiri. Lebaran itu kita bisa berkunjung bersama-sama, beberapa keluarga sekaligus. Kita berfoto dengan kamera yang kupinjam dari Angga, meski tak lengkap tanpa Uwan dan Mintuo. Aku memotretmu kau pun membidikku dengan beberapa gambarmu yang menawan. Selepas dari rumah Alm Uwan Riki, seperti biasa kita berkunjung ke rumah Uwan Diri yang seharusnya kita panggil Ayek, bukan Uwan.

Begitulah keluarga besar kita. Kau berlima bersaudara. Kakak tertuamu Unang Murni, sudah berkeluarga dan darinya kau punya empat orang keponakan yang ganteng-ganteng dan cantik, tiga lelaki, satu perempuan. Selanjutnya Uda Hen, kakak keduamu, yang sekarang menetap di Yogya, sudah bekeluarga, disusul Abang Mugil yang kini memiliki satu putri, lalu kamu, dan terakhir si kecil Meksi, yang cantik dan kita cintai sedemikian rupa. 

Nyaris sebagian besar yang kita lakukan di keluarga besar akan diikuti oleh anak-anak lain di kampung kita. Di mulai dari Unang Murni, semua kebiasaannya memanggil nama orang telah pula kita ikuti pula. Sekarang rasanya betapa nakalnya kita memanggil nama mereka yang lebih tua: Ijui, atau Bado dengan nama mereka. Tapi kita sudah terbiasa. Itu kebiasaan yang kita tiru. Kita bahkan memanggil Uni Ana untuk perempuan yang seusia ibu kita gara-gara mengikut panggilan Unang Murni juga.
Kebiasaan itu menurun. Unang Murni adalah panggilan semua anak-anak yang lebih muda pada kakak kita itu. Da Hen, kita panggil dengan nama ‘Uda’, semua anak mengikutinya, meski belakangan beberapa ada yang memanggilnya guru. Mugil kita sematkan kata Abang di depannya sehingga semua anak yang lebih muda memanggilnya Abang Mugil. Dan kau, Meksi memanggilmu Akak, dan rasanya nama aslimu mulai hilang karena banyak orang menyebutmu dengan Akak. Pun aku, sering kali menyapamu ‘Akak’.

Itu perkara lain, perkara biasa-biasa saja. Tapi kini betapa pentingnya itu semua.
***


Kita terpaut usia 3 tahun. kau lahir 22 mei 1986, Artinya kau pergi di usia yang belum genap 28 tahun. 27 tahun, adikku. Kematian di usia yang penting, Kak. Usia rawan dan memiliki ikatan panjang dalam sejarah dunia. Usia keberangkatanmu adalah usia kematian yang diidamkan mereka yang meninginkan maut bergerak dramatis. kematian di usia perantara, dirindukan banyak orang. Kita, kau, dan aku, tentu tak memikirkan hal itu. Yang pasti, di usia ini, kau sedang menyusun rencana hidup jauh lebih matang dari sebelumnya. Kudengar kau sudah punya rencana menikah dalam tahun ini, di bulan april mendatang, jika semua berjalan baik-baik saja. Aku tak bisa membayangkan kehilangan ini dialami oleh kekasihmu, karena kita semua sedang berduka. Di usia ini, kau tentu memiliki bayangan pekerjaan yang sudah dirumuskan sejak awal. 

kau pergi di usia yang membuat orang akan sangat kehilangan. Kepergian di usia semacam ini membuat banyak orang akan sontak kehilangan.

Aku mengingatmu kini dengan fasih. Masa kecilmu yang ranum segar, main robot-robotan yang disebut “lakon-lakon” bersama Beben yang mengikutimu ke mana pergi, tentu juga Meksi. Kebiasaanmu adalah ‘mencucut’ nasi. Kita adalah penonton televisi. Di masa-masa Mak Gaek punya kedai tugasmu dan Bebenlah yang menjaga warung. Televisi dengan antena parabola di pasang di kedaimu yang kini di penuhi anak-anak kos putri. Menjelang petang, anak-anak kecil berduyun-duyun mengikutimu. Ketika kau main lakon-lakon, jangankan mereka, aku pun terpesona dengan jalan cerita robot Ksatria Baja Hitam yang bisa menjelma tokoh apa saja di tanganmu. Tentu, kau sambil ‘mencucut’ nasi.

Dari anak-anak kau berubah menjadi remaja tampan nyaris tanpa persoalan. Jalan hidupmu mengalir seperti air terjun: lempeng, dan menakjubkan. Saat-saat semacam itulah kita berpisah. Kau dan remaja lulusan SMP di kampung kita, memilih pindah ke kota untuk melanjutkan sekolah, jika bisa. Sekali lagi, kau seperti air terjun yang mencengangkan dengan semburat pelangi dari ujung ke ujung.

Kau pernah kursus bahasa Jepang, sekolah pelayaran hingga akhirnya terdampar di sekolah kesehatan. Ketika lulus kau masih ingin sekolah lagi agar bisa menjadi asisten dokter, begitu kira-kira ceritamu. 

Saat itu, poster Milan masih berasa hidup di kamarmu. 
Semua berjalan sesuai rencana. Kau tetap di Padang, sesekali pulang ke Kampung Lansano, dan aku di sini. Segalanya tamapk baik-baik saja.
*** 

Cerita perih ini dimulai ketika Beben bercerita kau pingsan waktu shalat hari raya (sepertinya itu idul adha) di masjid kita. Setelahnya semua tak lagi biasa-biasa. Sakit kepala mulai menyerangmu. Penyakit itu tak pernah lagi jauh-jauh darimu. Cerita dari kampung kemudian yang kudengar adalah perkembangan penyakitmu. Setiap sakit kepala kau muntah dan berguling-guling. Seringkali dalam kasus semacam itu kau tetap di Padang, di kamar kos yang beraroma pantai itu.

Setelah berkali-kali menolak diperiksa dan masuk rumah sakit, pada akhirnya di sebuah malam kau tak lagi bisa menguasai diri. Kau bahkan tak tahu kalau sudah berada di rumah sakit. Dan ceritamu semakin perih, Sakit kepalamu makin menjadi. Bersamaan dengan itu, Yohana, keponakanmu—anak perempuan satu-satunya dari Unang Murni—juga mengalami hal yang sama: sakit kepala. Di hari yang sama, kau dan Yohana masuk rumah sakit yang berbeda. Betapa tidak nyamannya cerita ini. 

Sejak itu, dari cerita Meksi, kau bicara seperti orang menggigau, nyaris tak bisa berhenti. Sesekalo kau bersikap di luar kebiasaan lainnya. Saat itu Yohana juga tetap berada di rumah sakit dengan lokasi yang berbeda. Meksi, Mak Gaek, Unang dan Oom (harusnya kita memanggil uda, abang, akak atau sejenis itu, tapi kita memanggil ipar kita itu dengan sebutan Oom), dan Abang Mugil tentulah sangat disibukkan. 

Saya mendengar Yohana akan dioperasi, dan kau tak juga diketahui gejala apa yang menghajar syaraf kepalamu.
*** 
 
foto oleh Muphil Madonri
Kau dibawa pulang tanpa ada kepastian apa pun, dengan catatan tetap harus periksa ke rumah sakit dan spesialis. Kau semakin jauh. Aku mendengar sebelah kakimu tak bisa digerakkan, lalu kebiasaanmu bicara seringkali tak terkendali meski dalam keadaan sadar. Lalu aku mendengar kau jadi cadel, dan segala hal duka yang terus menerus merampas kemungkinanmu untuk bisa sembuh. Hari-hari terakhir kau nyaris lumpuh. Mandi, keluar rumah meski diurus oleh keluarga. Makan yang disuapkan pun bahkan tak kau telan. Sakit kepala sialan itu tak jua meninggalkanmu. Apa yang menyebabkan kau sedemikian memprihatinkan pun tak mendapat jawaban dari rumah sakit. 

Lalu semua menduga-duga. Barangkali karena kau pernah bekerja di depan laptop ketika menggarap tugas yang diberikan oleh kawanmu kau hyaris tidak tidur selama dua hari dan selalu berada di depan laptop. Kabarnya kau sakit kepala sejak itu. Laptop itu pun bahkan kabarnya tak tahu kini di mana. Bisa jadi ada orang yang ‘tidak suka’ kepadamu dan mengirimkan sesuatu lewat angin. Kita tak pernah tahu apa-apa, apalagi ketika catatan medis tak memberikan jawaban gembira. Hanya sakit kepala saja yang efeknya menular ke mana-mana, begitu kata mereka.  Tapi keluarga tetap memeriksakan dirimu.

Di hari-hati terakhir, kau juga kehilangan suara, tapi kami percaya, kau sebenarnya tak kehilangan semangat.
*** 

Tuhan selalu punya rencana, adikku. Terasa pahit atau manis adalah cara saja. Ia mengambilmu, yang paling rapi di antara kami semua, yang mulai tampak titik terang masa depannya. Sore tadi, ketika Yohana, keponakanmu baru kembali dari Bukit Tinggi setelah pengobatan penyakitnya, kau pergi meninggalkan kami semua. Kau pergi di hadapan orang-orang yang mencintaimu dengan sungguh-sungguh, pergi dalam pelukan Abangmu yang tulis memperhatikanmu.

Seringkali aku menolak memanggil Mugil dengan sebutan Abang. Sejak ini, aku merasa tak ada kata lain yang lebih pantas untuk menyebutnya selain dengan panggilan Abang. Dialah yang menjadi perantara untuk kesulitan ini. Dia demikian dewasa dari umurnya. Usia kami yang terpaut sekian bulan saja membuat jurang tak terbantahkan, dia menjadi pria dewasa, sudah lama kanak dan melankolis sepertiku. 

Dinihari ini, ketika kau terbaring di ruang depan, saat di mana keluarga besar kita, sanak-saudara, handai-taulan menungguimu, saat di mana Uda Hen bersama istrinya dan Beben masih dalam perjalanan dengan kereta dari Yogya menuju Jakarta untuk mengejar penerbangan yang agak pagi, aku, udamu, hanya bisa menuliskan ini. Semoga Da Hen masih sempat bertemu denganmu sebelum kau di berangkatkan ke rumah terakhirmu. Semoga sebisanya Da Hen tak menemukan gundukan tanah basah belaka, tapi masih sempat mengantarmu di belakang rumah kita, yang kelak akan menjadi kuburan keluarga besar kita.

Catatan yang tak berujung pangkal ini tak cukup mampu menggambarkanmu dan perasaan kehilanganku. Hidup adalah juga peristiwa melepaskan dan kehilangan. Kami, yang di rantau tak bisa seluruhnya bisa pulang. Aku tak ada di situ, saat jasadmu bisa dilihat terakhir kali, tapi rasanya kau ada bersamaku. 

Besok hujan mungkin akan turun, tapi kami semua sedang basah tersebab kehilanganmu. Semoga di alam sana kita tak mengenal istilah sakit kepala. 

Mupil, kami sedang belajar ikhlas, meski itu berat. 

Yogyakarta, 19 Januari 2014

1 komentar:

Anonim mengatakan...

merinding bacanya, sungguh perasaan yang sama baru kurasakan 3 minggu terakhir. kakak kandung yang sangat dekat denganku selama hidup meninggal karena kanker. justru di saat terakhir hidupnya, aku dan saudara yang lain seolah terbiasa dengan penderitaannya, hingga tak terlalu sigap menungguinya. sampai akhirnya kakakku diujung nafas di sbuh 22 maret 2014. sungguh, waktu terasa begitu kejam memisahkan kami. tak bisa kembali lagi bertemu di dunia ini.