Lebaran 2012 |
Muphil, sakit kepala yang menyerangmu siang-malam
itu telah kau sudahi kini. Sakit kepala yang membuatmu lumpuh, kehilangan
sebagian kesadaran, dan di hari-hari belakangan kau kehilangan suara juga. Sakit kepala
semacam apa ini yang bisa membuatmu merasakan semua itu? Sakit kepala macam apa
yang membuat kau mesti pergi lebih pagi? Kepergianmu sore tadi, 18 Januari
2014, sekira jam 15.25 adalah penutup dari penyakit sialan yang menghajarmu
sejak idul adha yang lalu, adikku.
Penyakit yang kau derita bulan-bulan terakhir, bahkan dokter
rumah sakit pun tak memberikan kepastian gejala apa yang membuatmu
jatuh berguling-guling, muntah dan pingsan setiap sakit itu datang. Apakah mereka benar-benar tidak tahu ataukah ada yang rahasia?
Tidak adikku, kita tak perlu lagi membilang yang
sudah-sudah. Kita mesti menghadapi apa yang terbentang di depan mata. Rasanya
tak pernah bisa dipercaya, kau yang bersemangat dan nyaris tak pernah sakit
mesti terkapar dan menerima maut lebih cepat dari kami semua.
Kepergianmu adalah kehilangan yang besar bagi kami, keluarga
besar kita.
***
Kabar kepergianmu dikirim oleh Da Hen, kakak nomor duamu,
kepadaku—kakak sepupumu, Doni, dan
Beben. Doni yang membaca pesan singkat da Hen melompat dengan wajah pucat. “Astagfirullah…”
teriaknya, “Akak meninggal..!!”
Dadaku berdebar demikian kencang, aku kehilangan pikiran
beberapa saat sampai kubuka pesan singkat Da Hen, kakak kandungmu, kakak sepupuku itu. Aku butuh beberapa saat mengendalikan diri, dan tak pernah berhasil hingga saat ini pun. Satu-satunya kemungkinan yang bisa kulakukan saat ini adalah membalas pesan Da Hen dan menuliskan, “Uda akan
pulang?”
Ya, tentu Da Hen mesti pulang. Dia sudah beberapa minggu
lalu diminta keluarga untuk bisa pulang menengokmu. Mak Gaek, amakmu, sambil menangis
bilang lebih-kurang: “Lihatlah adikmu segera kalau masih ingin bertemu
dengannya..”
Orangtua memang punya firasat yang lebih tajam. Tapi soal
maut tentu tak bisa kita ramalkan. Setidaknya itulah yang
dikatakan Abang Mugil, kakak Ketigamu, pada Da Hen. Kita terus berusaha mencari
jalan agar Muphil sembuh, Muphil selalu punya cara agar dia segera sembuh.
Mugil yang selalu siap siaga mengurusimu, memandikanmu, membantumu duduk
dan mengangkatmu dan mendudukkanmu di kursi di beranda agar kau tak terkurung
dalam kamar pengap dengan sakit kepala yang membuatmu kehilangan keceriaan masa
muda.
Allah punya jalan yang ajaib untuk kita, adikku. Kini kau
kembali padanya. kami belajar melepasmu dengan ikhlas dan suka rela. Setelah Da Hen, aku mendapatkan kabar dari Mugil dengan isak yang tak
bisa disembunyikan. Dia jarang menangis, aku bahkan tak pernah mendengar Mugil
menangis.
Sore tadi gerimis jatuh lebih cepat dari yang kami duga.
Sore tadi gerimis jatuh lebih cepat dari yang kami duga.
***
Setiap pulang ke Padang kaulah orang pertama yang kutemui.
Aku, uda sepupumu ini, selalu menumpang tidur di kamar kos yang kau tinggali
bertahun-tahun sejak SMK. Kamarmu punya beberapa poster, terkhusus Milan tentu saja. Aku tak
suka bola, tapi kau atlit bola di kampung kita. Setiap ke Padang, setiap
itulah aku menemukanmu di kamar beratap rendah, dengan kipas angin kecil
berdengung yang tak berpenutup dengan cerita-cerita yang riang gembira. Bertemu denganmu, aku merasa sudah pulang kampung, sebelum benar-benar menjejak halaman.
Kita bersama-sama terakhir kali saat lebaran 2012 yang lalu.
Kita dengan sebagain yang belum menikah berkunjung ke rumah Alm Uwan Markis. Barangkali ini tradisi
terakhir keluarga besar kita setelah uwan berpulang empat tahun lalu. Kita sempat
berfoto bersama-sama. Momen penting di keluarga besar kita karena tidak akan
ada lagi momen sebesar itu. Sebagian besar dari kita sudah bekeluarga, mereka
akan berkunjung dengan keluarga sendiri-sendiri. Lebaran itu kita bisa
berkunjung bersama-sama, beberapa keluarga sekaligus. Kita berfoto dengan kamera yang kupinjam dari Angga,
meski tak lengkap tanpa Uwan dan Mintuo. Aku memotretmu kau pun membidikku dengan beberapa gambarmu yang menawan. Selepas dari rumah Alm Uwan Riki, seperti biasa kita
berkunjung ke rumah Uwan Diri yang seharusnya kita panggil Ayek, bukan Uwan.
Begitulah keluarga besar kita. Kau berlima bersaudara. Kakak
tertuamu Unang Murni, sudah berkeluarga dan darinya kau punya empat orang keponakan
yang ganteng-ganteng dan cantik, tiga lelaki, satu perempuan. Selanjutnya Uda
Hen, kakak keduamu, yang sekarang menetap di Yogya, sudah bekeluarga, disusul
Abang Mugil yang kini memiliki satu putri, lalu kamu, dan terakhir si kecil Meksi,
yang cantik dan kita cintai sedemikian rupa.
Nyaris sebagian besar yang kita lakukan di keluarga besar
akan diikuti oleh anak-anak lain di kampung kita. Di mulai dari Unang Murni,
semua kebiasaannya memanggil nama orang telah pula kita ikuti pula.
Sekarang rasanya betapa nakalnya kita memanggil nama mereka yang lebih tua: Ijui, atau Bado dengan nama mereka. Tapi kita sudah terbiasa. Itu kebiasaan yang kita tiru. Kita bahkan memanggil Uni Ana untuk
perempuan yang seusia ibu kita gara-gara mengikut panggilan Unang Murni juga.
Kebiasaan itu menurun. Unang Murni adalah panggilan semua
anak-anak yang lebih muda pada kakak kita itu. Da Hen, kita panggil dengan nama
‘Uda’, semua anak mengikutinya, meski belakangan beberapa ada yang memanggilnya
guru. Mugil kita sematkan kata Abang di depannya sehingga semua anak yang lebih
muda memanggilnya Abang Mugil. Dan kau, Meksi memanggilmu Akak, dan rasanya
nama aslimu mulai hilang karena banyak orang menyebutmu dengan Akak. Pun aku, sering
kali menyapamu ‘Akak’.
Itu perkara lain, perkara biasa-biasa saja. Tapi kini betapa
pentingnya itu semua.
***
Kita terpaut usia 3 tahun. kau lahir 22 mei 1986, Artinya kau pergi di usia yang belum genap 28
tahun. 27 tahun, adikku. Kematian di usia yang penting, Kak. Usia rawan dan memiliki ikatan
panjang dalam sejarah dunia. Usia keberangkatanmu adalah usia kematian yang diidamkan mereka yang meninginkan maut bergerak dramatis. kematian di usia perantara, dirindukan banyak orang. Kita, kau, dan aku, tentu tak memikirkan hal itu. Yang pasti, di usia ini, kau sedang menyusun rencana hidup jauh lebih matang dari sebelumnya. Kudengar kau sudah punya rencana menikah dalam tahun ini, di bulan april mendatang, jika semua berjalan baik-baik saja. Aku tak bisa membayangkan kehilangan ini dialami oleh kekasihmu, karena kita semua sedang berduka. Di usia ini, kau tentu memiliki bayangan pekerjaan yang sudah dirumuskan
sejak awal.
kau pergi di usia yang membuat orang akan sangat kehilangan. Kepergian di usia semacam ini membuat banyak orang akan sontak kehilangan.
kau pergi di usia yang membuat orang akan sangat kehilangan. Kepergian di usia semacam ini membuat banyak orang akan sontak kehilangan.
Aku mengingatmu kini dengan fasih. Masa kecilmu yang ranum segar, main robot-robotan yang
disebut “lakon-lakon” bersama Beben yang mengikutimu ke mana pergi, tentu juga Meksi. Kebiasaanmu adalah ‘mencucut’
nasi. Kita adalah penonton televisi. Di masa-masa Mak Gaek punya
kedai tugasmu dan Bebenlah yang menjaga warung. Televisi dengan antena parabola di pasang di kedaimu yang kini di penuhi anak-anak kos putri. Menjelang petang, anak-anak kecil berduyun-duyun
mengikutimu. Ketika kau main lakon-lakon, jangankan mereka, aku pun terpesona
dengan jalan cerita robot Ksatria Baja Hitam yang bisa menjelma tokoh apa saja
di tanganmu. Tentu, kau sambil ‘mencucut’ nasi.
Dari anak-anak kau berubah menjadi remaja tampan nyaris
tanpa persoalan. Jalan hidupmu mengalir seperti air terjun: lempeng, dan
menakjubkan. Saat-saat semacam itulah kita berpisah. Kau dan remaja lulusan SMP
di kampung kita, memilih pindah ke kota untuk melanjutkan sekolah, jika bisa.
Sekali lagi, kau seperti air terjun yang mencengangkan dengan semburat pelangi
dari ujung ke ujung.
Kau pernah kursus bahasa Jepang, sekolah pelayaran hingga
akhirnya terdampar di sekolah kesehatan. Ketika lulus kau masih ingin sekolah lagi agar bisa menjadi asisten dokter, begitu kira-kira ceritamu.
Saat itu, poster Milan masih berasa hidup di kamarmu.
Saat itu, poster Milan masih berasa hidup di kamarmu.
Semua berjalan sesuai rencana. Kau tetap di Padang, sesekali
pulang ke Kampung Lansano, dan aku di sini. Segalanya tamapk baik-baik saja.
***
Cerita perih ini dimulai ketika Beben bercerita kau pingsan
waktu shalat hari raya (sepertinya itu idul adha) di masjid kita. Setelahnya semua tak lagi biasa-biasa. Sakit kepala mulai menyerangmu. Penyakit itu tak pernah lagi jauh-jauh darimu. Cerita dari kampung
kemudian yang kudengar adalah perkembangan penyakitmu. Setiap sakit kepala kau
muntah dan berguling-guling. Seringkali dalam kasus semacam itu kau tetap di
Padang, di kamar kos yang beraroma pantai itu.
Setelah berkali-kali menolak diperiksa dan masuk rumah sakit,
pada akhirnya di sebuah malam kau tak lagi bisa menguasai diri. Kau bahkan tak
tahu kalau sudah berada di rumah sakit. Dan ceritamu semakin perih, Sakit
kepalamu makin menjadi. Bersamaan dengan itu, Yohana, keponakanmu—anak
perempuan satu-satunya dari Unang Murni—juga mengalami hal yang sama: sakit kepala. Di hari
yang sama, kau dan Yohana masuk rumah sakit yang berbeda. Betapa tidak
nyamannya cerita ini.
Sejak itu, dari cerita Meksi, kau bicara seperti orang menggigau, nyaris tak bisa berhenti. Sesekalo kau bersikap di luar kebiasaan lainnya. Saat itu Yohana juga tetap
berada di rumah sakit dengan lokasi yang berbeda. Meksi, Mak Gaek, Unang dan Oom (harusnya kita
memanggil uda, abang, akak atau sejenis itu, tapi kita memanggil ipar kita itu
dengan sebutan Oom), dan Abang Mugil tentulah sangat disibukkan.
Saya mendengar Yohana akan dioperasi, dan kau tak juga
diketahui gejala apa yang menghajar syaraf kepalamu.
***
Kau dibawa pulang tanpa ada kepastian apa pun, dengan
catatan tetap harus periksa ke rumah sakit dan spesialis. Kau semakin jauh. Aku mendengar sebelah kakimu tak bisa digerakkan, lalu kebiasaanmu bicara seringkali tak terkendali meski dalam keadaan sadar. Lalu aku mendengar kau
jadi cadel, dan segala hal duka yang terus menerus merampas kemungkinanmu untuk
bisa sembuh. Hari-hari terakhir kau nyaris lumpuh. Mandi, keluar rumah meski
diurus oleh keluarga. Makan yang disuapkan pun bahkan tak kau telan. Sakit
kepala sialan itu tak jua meninggalkanmu. Apa yang menyebabkan kau sedemikian
memprihatinkan pun tak mendapat jawaban dari rumah sakit.
Lalu semua menduga-duga. Barangkali karena kau pernah
bekerja di depan laptop ketika menggarap tugas yang diberikan oleh kawanmu kau
hyaris tidak tidur selama dua hari dan selalu berada di depan laptop. Kabarnya kau
sakit kepala sejak itu. Laptop itu pun bahkan kabarnya tak tahu kini di mana. Bisa
jadi ada orang yang ‘tidak suka’ kepadamu dan mengirimkan sesuatu lewat angin. Kita
tak pernah tahu apa-apa, apalagi ketika catatan medis tak memberikan jawaban gembira. Hanya sakit kepala saja yang efeknya menular ke mana-mana, begitu kata mereka. Tapi keluarga tetap memeriksakan dirimu.
Di hari-hati terakhir, kau juga kehilangan suara, tapi kami percaya, kau sebenarnya tak
kehilangan semangat.
***
Tuhan selalu punya rencana, adikku. Terasa pahit atau manis
adalah cara saja. Ia mengambilmu, yang paling rapi di antara kami semua, yang
mulai tampak titik terang masa depannya. Sore tadi, ketika Yohana, keponakanmu
baru kembali dari Bukit Tinggi setelah pengobatan penyakitnya, kau pergi meninggalkan kami semua. Kau
pergi di hadapan orang-orang yang mencintaimu dengan sungguh-sungguh, pergi
dalam pelukan Abangmu yang tulis memperhatikanmu.
Seringkali aku menolak memanggil Mugil dengan sebutan Abang. Sejak ini, aku merasa tak ada kata lain yang lebih pantas untuk menyebutnya
selain dengan panggilan Abang. Dialah yang menjadi perantara untuk kesulitan ini. Dia demikian dewasa dari umurnya. Usia kami yang
terpaut sekian bulan saja membuat jurang tak terbantahkan, dia menjadi pria dewasa, sudah lama kanak dan melankolis
sepertiku.
Dinihari ini, ketika kau terbaring di ruang depan, saat di
mana keluarga besar kita, sanak-saudara, handai-taulan menungguimu, saat di
mana Uda Hen bersama istrinya dan Beben masih dalam perjalanan dengan kereta
dari Yogya menuju Jakarta untuk mengejar penerbangan yang agak pagi, aku,
udamu, hanya bisa menuliskan ini. Semoga Da Hen masih sempat bertemu denganmu
sebelum kau di berangkatkan ke rumah terakhirmu. Semoga sebisanya Da Hen tak
menemukan gundukan tanah basah belaka, tapi masih sempat mengantarmu di
belakang rumah kita, yang kelak akan menjadi kuburan keluarga besar kita.
Catatan yang tak berujung pangkal ini tak cukup mampu
menggambarkanmu dan perasaan kehilanganku. Hidup adalah juga peristiwa melepaskan
dan kehilangan. Kami, yang di rantau tak bisa seluruhnya bisa pulang. Aku tak
ada di situ, saat jasadmu bisa dilihat terakhir kali, tapi rasanya kau ada
bersamaku.
Besok hujan mungkin akan turun, tapi kami semua sedang basah
tersebab kehilanganmu. Semoga di alam sana kita tak mengenal istilah sakit
kepala.
Mupil, kami sedang belajar ikhlas, meski itu berat.
Mupil, kami sedang belajar ikhlas, meski itu berat.
Yogyakarta, 19 Januari 2014
1 komentar:
merinding bacanya, sungguh perasaan yang sama baru kurasakan 3 minggu terakhir. kakak kandung yang sangat dekat denganku selama hidup meninggal karena kanker. justru di saat terakhir hidupnya, aku dan saudara yang lain seolah terbiasa dengan penderitaannya, hingga tak terlalu sigap menungguinya. sampai akhirnya kakakku diujung nafas di sbuh 22 maret 2014. sungguh, waktu terasa begitu kejam memisahkan kami. tak bisa kembali lagi bertemu di dunia ini.
Posting Komentar