Saya tidak tahu kata yang benar
untuk menunjukkan apa yang ingin saya ceritakan ini. Saya mendengarnya “sring”,
namun dalam kamus bahasa Inggris imut warisan leluhur di kamar saya ada kata
“string” dengan arti mengikat dengan tali, tali rami, tali gitar. Kata “sring”
tak ada dalam kamus bahasa yang saya cari. Kata “string” sementara waktu lebih
dekat dengan apa yang hendak saya maksud, namun karena saya lebih nyaman, maka
saya akan menggunakan kata “sring” saja. Siapa tahu, anda, pembaca yang
terhormat akan membantu saya mengungkapkan bahasa mana yang tepat sehingga saya
bisa menggantinya dalam tulisan ini nanti. Bantulah saya. Bahasa asing itu
seperti mantra buat saya: susah dirapalkan, susah pula untuk diingat.
Sementara
terimalah otoritas saya sebagai pemilik cerita untuk menggunakan kata “sring”
sebelum kata ini bisa disepakati atau nanti akan segera diganti. Tolong jangan
tertawakan saya.
Dalam
cetak-mencetak buku, ada banyak proses yang harus dilewati, sampai pembaca
menyentuh, memilih, memperhatikan cover, membawa ke kasir, atau justru
meninggalkan sambil mencibir. Buku yang kita baca, tidak ada begitu saja. Ia
lahir dari pikiran pengarang. Seburuk apa pun buku, ia mengalami proses yang
nyaris sama dengan buku-buku yang lain.
Buku itu seperti
puisi. Tafsir kita tak selalu bisa objektif. “Bulu kuduk mesti berdiri,” kata
Acep tentang puisi yang baik. Lalu buku? belum ada rekomendasi. Mungkin saja tampilannya, pertama-tama.
Cover, judul, endorsement, bentuk dan semacamnya tentu akan mendapat perhatian
para pembaca yang tak mengenal penulis dan judul buku tersebut sebelumnya.
Tentu juga harga. Isi ada di dalam, ia terbungkus dalam plastik tipis. Tak
selalu bisa kita menengok apa yang ada di dalam buku tersebut selain apa yang
tampak di luar.
Buku tentu tak sekedar cover. ia
membutuhkan seorang penulis. Tak soal bagaimana ide bisa tertuang jadi tulisan.
Tak peduli juga bagaimana dia membikin tulisan itu. Yang menjadi fokus
tulisan ini adalah, buku mengalami proses yang cukup panjang. Dari kerja
menyunting, editing, lay-outing, cetak-ting, covering, lem-ing, potong-ing…
panjang deh. Begitu buku selesai di lem, di satukan antara isi dan cover,
dipotong, buku masih saja belum kelar.
Kerja berikutnya adalah sring. Ini yang
saya maksud di awal tulisan tadi. Tukang sring menerima buku yang sudah jadi,
siap diedarkan. Ia tak punya kuasa apa pun atas salah cetak, dan kerusakan apa
pun. Namanya tak tercatat di keterangan buku, sebagaimana editor, penata isi,
desai cover, hingga tukang foto penulis. Sebagaimana tukang cetak, nasib tukang
sring tak lebih baik. Ia bekerja di bagian akhir, lebih sering ketika deadline
menjelang.
Kerja akhir ini tak sederhana. Nge-sring
gak bisa sendiri. Harus ada tukang potong kertas yang pas untuk buku,
memasukkan buku ke dalam plastik, lalu mengunci keempat sudut itu dengan mesin
potong kertas. Setelah itu buku masuk ke mesin panas yang berjalan seperti
eskalator. Setiap buku mengalami kesulitan sendiri. Buku tipis memang
membutuhkan kerja ekstra. Buku sering padat dan terlipat sehingga harus
diulang. Belum lagi jika robek. Saya tak tahu, dari kesemua kerja ini yang mana
sebenarnya yang disebut “sring” itu. Memotong kertas, memasukkan buku ke dalam
kertas, atau proses pemadatan plastik sehingga pas jadi ukuran buku?
Setelah semua selesai. Buku dihitung,
dimasukkan kardus dan siap diedarkan. Seberapa penting kerja tukang sring?
Penting, dia menjaga rahasia isi buku. Tidak pentingnya, setiap orang dengan
enteng merobek plastik pembungkus buku tanpa pernah peduli betapa membungkus
buku bukanlah pekerjaan yang sederhana. Belum lagi jika plastik pembungkus itu susah dirobek. Uuuhh... bikin sebel kan? Lalu berapa bayaran tukang sring? Nol koma nol sekian
persen dari harga buku.
Tukang sring seperti pahlawan tanpa tanda jasa. Ia menjaga buku dan rahasianya, melindungi
buku dari kerusakan yang diakibatkan dari luar. Ia ada, tapi terasa demikian tak penting. Ia pelengkap, tapi
dibutuhkan. Ia bernilai tapi gampang diabaikan.
Yogyakarta,
21 November 2011
2 komentar:
Esip
oye!
Posting Komentar