15 Jan 2008

Kulon Progo, Temu Sastra 3 Kota dan jalan-jalan



Wates dan kebangkitan sastra (Sebuah Gumaman Seorang Kuli bodoh)

Minggu 13 Januari 2008

Aku punya banyak keinginan saat ini. salah satunya adalah, punya kamar kos sendiri. Saat ini aku berdua satu kamar dengan Kiting, sudah empat bulan ini. Tak ada masalah sebenarnya. Kiting teman yang enak dan tak banyak tingkah. Semua berjalan sebagaimana biasanya. Pilihanku untuk memiliki ruang sendiri tak melulu mencari ruang privat. Kamar ini terlalu sempit untuk dipakai berdua, selain itu aku ingin mengajak Amak sewaktu-waktu tidur di kosku. Dan alasan-alasan teknis lainnya.

Jam sepuluan aku berangkat ke Kulon Progo. Perjalan pertama nih ke Lumbung Aksara. Hari ini ada acara Temu Penyair Tiga Kota (Purworejo, Kulon Progo dan Yogyakarta). Aku dapat undangannya awal Desember kemarin. Kemarin siang Fahmi mengingatkanku tentang acara itu. Dia ingin datang, katanya.

Aku tak punya uang. Sukma juga. Semalam kami kami sudah menghitung-hitung jalan keluar. Dan Sewon pilihan kami tertuju. Aku menjual Pawon Sastra ke Bang Raudal dan Gus Muh. Kasihan kawan-kawan di Solo jika buku-buku ini hanya diagi dnegan gratis. Lagi pula, sepertinya akan ada yang mau mengeluarkan uang 2000 rupiah untuk ini. mereka harus bisa menghargai buku dengan membeliknya. Heheh.. Tapi, uangnya aku pinjam dulu buat beli bensin ke Kulon Progo. Dan malam itu aku bisa jalan-jalan di Alun-alun Selatan bareng ibu dan Tsabit. Tentu juga Sukma, sekalian malam minghuan. Hehe..

Perjalanan yang asyik. Kami baru pertama ini ke sini. Sungguh terasa agak lama. Bukankah perjalanan baru selalu terasa jauh? Tetapi kami sampai juga. kami tak bawa peta, hanya punya ingatan dan kenekatan. Tak ada pulsa juga.

Dan uuh, kami sampai juga. Sebuah spanduk di pinggir jalan, (timur terminal Wates, timurnya Masjid Agung, kira-kira begitu saja ingatanku sampai ke sana, entah siapa yang pernah mengatakan) kantor PBNU sepertinya. Soalnya di dalam aku melihat banyak foto-foto kyai. Ada Gus Dur lagi. Nah, kan?

Tak terlalu ramai di luar. Ada Evi Idawati, orang pertama yang kami kenal di sini. Ia duduk di meja pengisian tamu. Mau pulang, katanya. Setelah isi absen, aku dikasih buku Antologi Puisi, Geguritan dan Cerpen Tiga Kota (Purworejo, Kulon Progo, Yogyakarta) dengan judul Antariksa Dada. setelah itu kami masuk. Tentu bertemu dedengkot Lumbung Aksara, Bung Marwanto yang penuh semangat itu. Kami salaman. Ahai, aku melihat semangat menyala-nyala di matanya. Lumbung Aksara, salah satu komunitas sastra di antara salah dua –atau lebih—komunitas sastra di sini. Lumbung Aksara atau biasa disingkat dengan LA (betul, ya?) menerbitkan buletin bulanan bernama Lontar. Buletin gratis yang tampil delapan halaman yang memuat cerpen, puisi dan agenda sastra di Kulon Progo, khususnya. Ada halaman khusus Marwanto, Byar, yang khas. Eh, aku ingat, ulasan tentang kegiatan ini dimuat di halaman sastra Kedaulatan Rakyat hari ini. Isinya lebih kurang sama dengan pengantar buku Antariksa Dada yang ada di tanganku. Ditulis Marwanto, tentu saja. Acara yang sedang terselenggara ini adalah salah satu usaha dari Kawan-kawan Lumbung Aksara. Dan tentu juga berbagai pihak, pelaku dan pemerhati sastra di sini, tentu saja. Oh, ya, selain Lontar, kalau aku tak salah ingat Kulon Progo juga punya buletin lain, ASK namanya. Aku sedang malas membolak balik arsib saat ini untuk memastikan jajaran redaksinya. Yang pasti aku ingat tentu saja Sodik, yang kuliah di UNY itu.

Di dalam aku bertemu Mahwi, di pojokan sana ada Mas Iman Budhi Santoso. Di sinilah aku ketemu Aguk Irawan MN. Wah, ini toh orangnya? Aku sumpah, salah semua bayangan tentangnya. Aku pikir dia seorang lelaki kurus, tinggi, putih dan sangar jika tidak kekar dan berotot. Ternyata Aguk itu… ya Aguk. Lalu, ada Akhiriyati Sundari juga. tentu kawan-kawan penulis muda lainnya yang aku belum sempat kenal nama.

Kami terlambat, itu sudah pasti. Acara dimulai sejak jam delapan pagi. Tapi kami tak terlalu merasa bersalah karena kami hanya undangan, bukan peserta. Sukma sibuk ngobrol dengan Sodik. Aku menikmati beberapa puisi dan penyair yang tampil. Para senior Kulon Progolah, tentu aku tak terlalu akrab dengan mereka. Bukan karena faktor usia, tetapi interaksi kami saja, kukira, sehingga aku alpa dengan mereka.

Aku mengingat beberapa nama dari Kulon Progo ketika diadakan acara Forum Penyair 4 Kota yang diadakan di Taman Budaya Yogyakarta awal tahun lalu. Aku sudah sering melihat tulisan Marwanto dan Akhiriyati Sundari ini sebelumnya, tapi tentu tidak orangnya. Mereka termasuk perserta, penyair muda. Mungkin tidak untuk usia, ya? Haha.. Aku merindukan acara semacam ini lagi; mengundang dan melibatkan banyak kawan-kawan penyair di daerah-daerah semacam di sini. Mereka orang-orang yang intens, tetapi kesulitan publikasi. Acara dan antologi semacam ini tentu sangat membantu mereka untuk ikut terlibat dan ter‘peta’kan di jagad kepenyairan yang besar ini. selain itu aku juga mengenal nama Papi Sadewa, entah dari mana, saya alpa. Tapi di sini, beliau adalah salah seorang penyair senior. Untuk penyair Purworejo, saya tak kenal sama sekali, baik wajah maupun nama. Saya harus jujur. Sepertinya kota ini diwakili para senior. Adakah mereka kehilangan regenerasi sehingga tak ada yang muda dari kota ini. tapi sungguh, ini hanya ketidaktahuan saya. Saya tak mengikuti acara dari awal, jadi tidak tahu mana penyair dari Purworejo, mana yang Kulon Progo, Yogya tentu aku kenal kecuali Koh Hwat. Lagian kan tidak ada tuh tulisan di baju mereka, peserta dari mana dan siapa. Saya gak salah kan?

Sampai di mana tadi? Oh ya, baca puisi. Sek, tak inget-inget sikik yo. Hmm.. ya, acara semacam ini sangat bagus untuk menjembatani para penyair dari wilayah dan ruang proses yang berbeda. Di luar itu, ini adalah bentuk silaturahmi yang ajeg antara masing-masing daerah dan tentu saja yang muda dan yang tua. Kupikir, ilmu berkisar di mana saja. Tak ada yang tua dan muda dalam hal pegetahuan bukan? Apalagi sebatas angka-angka, usia. Pengatahuan kupikir adalah pemahaman dan penguasaan. Kalau salah boleh diprotes kok.

Acara yang berlangsung sampai sore ini, diselingi dengan makan siang bersama. Wah, enak nih. Juga ada diskusi singkat dengan pembicara Joko Sumantri dan Siho. Ho, nama aslimu siapa? Bukan Siho Koto kan?hehe..

Apresiasi peserta asyik. Terbukti dari pagi sampai sore mereka masih terus mengikuti acara, meski dengan energi yang sudah nyaris habis. Makanan khas Kulon Progi (apa namanya?) dan teh hangat tak akan bisa mengembalikan semangat itu, tentu saja. Kejenuhan ini tentu disebabkan waktu yang panjang. Selama acara pembacaan puisi berjalandatar-datar saja. Tak banyak yang melakukan aksi panggung. Kadangkala panggung, asik lo dekorasinya, dibiarkan kosong belaka. Tak direspon. Nah. Acara yang monoton semacam ini tentu agak membosankan. Belum lagi acaranya berlangsung siang hari. Khusuknya jadi kurang terasa, meskipun kita dalam gedung PKNU (ini barangkali lo). Tapi, Nu pun kan tidak hanya menyoal Tuhan dan hamba, tapi ngurus politik juga. nah, gerahnya itu kali yang agak muncul. Hehhe.

Memang susah dan serba salah. Keputusan panitia saya kira sudah dipertimbangkan. Temu sastra ini diadakan siang hari, dari pagi sampai sore oleh sekian puluh penyair. Tentu adalah kendala finansial dan jarak masing-masing daerah. Kita bisa maklumi ini. seandainya cara ini dirancang lebih serius lagi, misalnya diadakan dalam dua alam atau dua hari berturut-turut tentu legi enak dan asyik. Diskusinya bisa lebih panjang dan beragam. Saya pikir panitia sudah sampai dipemikiran ini, tetapi barangkali saya benar, kendla paling besar tentu finansial. Menginap jarak, tentu mau tidak mau harus disediakan tempat untuk para penyair tersebut, dan konsumsi. Wah, tambah repot lagikan?

Persoalan berikutnya yang saya lihat adalah banyaknya tampil penyair-penyair muda. Muda dalam usia dan pengalaman tentu saja, seperti saya. Ini tentu mempunyai dua sisi sekaligus. Pertama, ini amat baik dan embahagiakan. Betapa gairah sastra di Kulon Progo memiliki embrio yang bagus. Sangat menggembirakan. Hal ini, terlihat dari antusias para remaja dan anak SMA, baik sebagai peserta maupun undangan. Kesadaran semacam ini tentu tak lepas dari peran Lumbung Aksara sebagai ruang apresiatif dan Lontar sebagai wadah penampung karya. Sejauh apa dan sebesar apa, biarlah mereka dan waktu yang menjawabnya. Dengan banyaknya generasi muda yang terlibat terlihat betapa geliat sastra tumbuh subur di wilayah ini. Tetapi respon semacam ini akan lebih baik lagi dengan adanya penyeleksian. Bukan apa-apa. Kita selalu berharap setiap acara sastra semacam ini tak berhenti di jalan. Dengan begitu, kawan-kawan yang masih dalam tahap ‘pendidikan’ dan belajar akan lebih menarik berada di posisi penikmat. Mereka bukan tak boleh tampil, tapi harus ada penyeleksian, agar terasa adanya semacam ‘persaingan’ bagi mereka. Persaingan semacam ini tak melulu buruk. Setidaknya kan memicu mereka untuk berkarya dan terus belajar. Dengan demikian, mereka yang tampil bisa mewakili komunitas, kelompok, usia tertentu. Tapi lagi-lagi saya pikir panitia sudah sampai pada pemikiran ini. tugas panitia, Lumbung Aksara khususnya akan bertambah, mengikuti perkembangan kepenyairan generasi mudanya dan menyiapkan acara yang tak kalah meriahnya pada masa mendatang.

Penyeleksian ini semacam ini selain memberikan yang terbaik bagi peserta, tentu juga wadah pembelajaran bagi semua. Penyeleksian ini tentu tak tertutup keungkinan bagi peserta dari Yogyakarta maupun Purworejo agar Kulon Progo sebagai panitia, dan untuk acara besar seperti ini baru sekali ini saya ikuti di sini, akan lebih bisa memncing animo dan apresiasi. Jadi penyair dan sastrawan yang diundang sebagai peserta bisa dipertanggungjawabkan.

Persoalan selanjutnya tentu saja what nexs? Apa setelah ini? kita tentu tak ingin acara yang sudah digagas jauh-jauh hari semacam ini muncul ntuk kemudian mati bukan? Setidaknya ada kemungkinan peristiwa berikutnya. Untuk wilayah Kulon Progo saja misalnya, sistem penyaringan sastrawan ini harus tetap dipertahankan dengan diadakannya pertemuan rutin para sastrawan di Kulon Progo. Di luar itu, mestinya ada pemicaraan yang lebih intens antar wilayah yangs duah tampil hari ini. dengan demikian, ia bisa menjadi agenda rutin. Bisa saja ini menajdi agenda rutin Lumbung Aksara, misalnya atau memang harus saling di‘lempar’ ke masing-masing kota agar semangat totalitas dan rasa memilikinya lebih terasa. Dengan ini tentu juga kemungkinan peserta akan bisa bertambah.

Lalu satu hal yang tak kalah pentngnya adalah rumusan acara yang rasanya masih belum matang. Mestinya ada kosentrasi yang lebih jelas dan fokus. Ini pertemuan para sastrawan atau penyair? Jika temu sastra, tentu puisi dan geguritan yang mendapat porsi yang lebih besar. Jika ini acara untuk puisi mengapa pula ada cerpen dan cerpenis di dalamnya? Maksudnya, mestinya ada ketegasan format acara yang jelas. Tidak menjadi berdosa mendudukan penyair, cerpenis dalam satu ruang yang sama, bukan? Begitu juga dengan geguritan sebagai salah satu kebudayaan Jawa. Tak ada salahnya, toh masih dalam satu wadah kesustraan. Yang menjadi sorotan saya adalah kematangan konsep acara. Tetapi, yang awal tak selalu sempurna. Selalu ada waktu untuk memperaikinya.

Di luar itu semua, acara ini merupakan fenomena kesastraan yang baik. Kegiatan konkrit yang bisa dinikmati langsung oleh para sastrawan, nitibang kita mesti bertualang ke belakang, ke periode-periode masa lalu. Tidakkah saat ini kita bisa menciptakan sebuah iklim baru dalam bersastra dan bukan tidak mungkinakan lebih luar biasa. Dan soal ingatan, biarlah sejarah yag encatat. Bukankah hari ini pun akan menjadi masa lampau?

Sebagai sebuah acara Temu Penyair Tiga Kota ini berjalan dengan baik dan sukses. Setidaknya ia bisa menjadi ruang silaturahmi antar sastrawan. Di sini akan lahir kemungkinan baru, sebuah energi baru dan ruang kreatif baru yang lebih dasyat. Sebagai pembuka, acara semacam ini perlu diacungi jempol.

Bagaimana pun, acara yang sudah berlangsung ini harus diapresiasi dan dicatat. Ini merupakan sebuah mediasi yang kita harap akan selalu ada dan terus ada di tengah kondisi kusustraan yang semerawut ini. acara sastra tak hanya milik orang ‘kota’. Ia tak melulu hadir di lembaga-lembaga resmi, diadakan oleh komunitas besar dan mapan. Tetapi ia bisa juga lahir dari sebuah ‘tempat sepi’, jauh dari keramaian dan hiruk pikuk, jauh dari ‘pesta’ dan perayaan dan diselenggarakan komunitas ‘lokal’. Sastra lahir dari mana saja dan bisa hadir di mana saja. Temu Sastra Tiga Kota yang berlangsung di Kulon Progo ini telah membuktikannya. Selebihnya kita serahkan kepada waktu.

Dan aku pulang. Mencari rumah mahwi, gak ketemu, nyari rumah teman sukma, gak ketemu juga. ya pulang.

Tidur sampai malam. Nonton film Koper. Duh, bangun tidur kok sudah diceramahi?? Wah… eh, tumben ya, aku nulis sok serius. hihihi... gak tahu nih, tiba2 pengen nulis aja.. hehhe

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Hello. This post is likeable, and your blog is very interesting, congratulations :-). I will add in my blogroll =). If possible gives a last there on my site, it is about the CresceNet, I hope you enjoy. The address is http://www.provedorcrescenet.com . A hug.