25 Jun 2007

Kudengar lagi lengking putu itu, Zen...

Begitu sampai, aku merasa kesunyian bernyanyi di setiap sudut. Dan tiba-tiba, lengking putu itu mulai terdengar.


***
Sesekali waktu, aku masih sempat berkunjung ke Patehan, tempat yang beberapa waktu lalu menjadi rumah kedua bagi saya. Indexpress, tentu saja. Di mana, orang-orang yang begitu aku kenal ngumpul di sana. Orang-orang dengan wajah-wajah berat menghadap layar komputer tapi begitu renyah di meja makan. Simbah (An. Ismanto) sebagai salah seorang tetua dan Jejen (Zen Rahmat S), Agung, Yus, Kak Wahyu, Anas. Lalu ada Iman, sesekali Muncul Komang Ira, Kiting alias Mujiburahman, juga ikut cengengesan di depan pintu, Muklis Amrin dnegan suara lantang dan khasnya, Muklis Zya Aufa dengan tawa yang tak pernah lepas dari bibirnya, Petrik dnegan gayanya yang dingin dan sesekali mengeluarkan suara baritonnya, Sukma sesekali nampak di balik pintu, menjemput atau sekedar menengokku, lalu hadir pula Ahmadun dengan sarung langganannya dan menyapaku, “gimana Pak Koto..”.

Pagi-pagi Mbak Yuni akan bersitungkin di dapur, memberesi piring-gelas sisa minum kami dari siang hingga semalam, menyusun kursi yang berantakan, menata meja dan buku-buku, membuang puntung yang memenuhi asbak. Lalu Mbak Nurul dan Dipa yang selalu membawa kaset dan majalah kereta apinya (yang baru terakhir-terakhir ini akrab dneganku setelah aku membolak balik majalah kereta apinya yang dipaketkan Gusmuh dari jakarta dan setelah itu dipaksanya pula mempelototi film kereta, cd dari bonus majalah kereta tersebut yang entah edisi keberapa). Keramaian makin menjadi ketika dua tukang ketik diperkejakan. Keriuhan lain akan bertambah-tambah kalau anak-anak cewek “anak buahnya” Jejen yang menulis sejarah itu datang.

Yang paling enak tentu saja kalau Gusmuh ini sakit. Kita akan berharap dia segera sembuh, setelahnya ada saja kejutan di meja tengah. Lotek jika tidak nasi padang. Kadang aku berpikir, “Gusmuh ini enaknya sakit seminggu sekali. Tapi sehari saja.”

Kau bayangkanlah serupa apa suntuknya kami di depan meja kerja masing-masing. Sampai sore datang. Tentu, seperi biasa aku akan mencuri waktu luang Jejen yang sedang tak ada (sumpah, dia betah berhari-hari di meja kerjanya) untuk mengecek laptopnya, melihat pelem pendek donlod terbarunya.

Jam-jam makan tentu lebih enak. Salah seorang dari kami akan berelah hati keluar mencari makan. Tentu bosnya lebih sering Jejen, manusia yang kadang dingin serupa robot itu. Baterainya batangan mild yang memenuhi asbak dan diding samping meja kerjanya (dulu, nyaris sekarung puntung rokok tersembunyi di balik triplek itu.).

***
Kudengar lagi lengking putu itu, Zen. Melengkin tinggi, seperti merintih..

***
Soal putu, aih, bagaimana aku hendak menceritakan padamu kali ini?

***
betapa kesunyian merambat, kini. Malam ini, aku singgah lagi di sini. Aku tahu, ada yang hilang saat ini. Tak ada cekikik Ira yang dtaang sesukanya. Tak ada banyolan dan keributan yang kubikin bersama Iman yang membuat Simbah harus mengunci pintu kamar kerja. Tak ada juga musik lirih yang keluar dari laptop jejen. Kini kamar itu dikunci. Tak ada juga berisik Gusmuh dan teriakan-teriakan khasnya “asu!!” tiap kali dia gembira atau terkejut. Kak Wahyu juga tak lagi tengah memainkan gitar, Agung tak lagi ada di depan meja kerjanya, semua sudah bertukar tempat, sayangku. Tak ada Iman yang tiap sebentar ke meja Telpon, tak ada juga siapa-siapa yang suntuk di depan komputer. Hanya yang setia Simbah dan Iyus, lalu malam-malam Agus datang serupa kelalawar. Setelahnya sunyi.

***
Dan aku kembali mendengar lengkingan putu dari jauh. Lirih dan merintih.

***
Duhai kalian. Ah, pada siapa aku hendak berbicara padamu? Terakhir kali kita makan putu malam-malam dnegan kemalasan yang sesungguhnya. Pagi itu kutemukan sebungkus putu masih tak tersentuh. Basi. Serupa nasib kita, kini. Kita tak berebut makan, malam itu. Tak ada yang berniat menyentuhnya di meja kerjamu, Jen. Tak juga aku yang terbiasa mengambil rokokmu dnegan gumaman-gumaman tak jelas. Sekedar basa-basi, tentu saja.

***
Suara itu jelas terdengar. Dekat, semakin dekat. Nyaris merapat. Suara yang menghadirkan satu-satu wajah kalian. Utuh dan penuh.

***
Hidup misterius. “Serupa Pak TR, bos kita yang tak bisa kita tebak rupa apa dia.” Ah, kalian berebut ke Jakarta waktu itu. Simbah berangkat paling akhir. Aku mengantarnya ke stasiun. “Aku tak akan masuk ke dalam Mbah. Aku takut melihat keberangkatan.” Kataku.

Setelahnya, aku mengangut barang-barangku yang berserak di meja kerja. Buku-buku, majalah, kertas-kertas, print-printan naskah, baju, celana, pakaian dalam. Hanya sikat gigi yang masih kusiksakan.

“Kau datanglah ke Jakarta. Ambil gajimu yang terahir.” Kata Simbah waktu itu. “Akan aku usahakan.” Katanya pula.

Aih, kini betapa aku merasa nyeri tiap kali mengingat wajah kalian, kawan-kawan terkasih. Aku tak akan mengatakan sebuah subuh yang asing di stasiun. Sebuah petang yang ribut di lantai atas, diskusi-diskusi ringan di meja tengah tentang sejarah dan sastra. Aklian yang selalu mengatakan “katrok, ndeso.” Padaku dnegan kegembiraan yang bersahabat, membuatku enggan beranjak. Atau kita harus mengulang sebuah obituari tentang kematian masa-masa indah kita, sebagaimana kita melakukannya untuk almarhum Mas Zainal Arifin thoha?

***
Suara itu melengking kian hebat. Dia berada di depan rumah. Aku tahu, dia akan kehilangan pelanggan yang setia. Tukang putu itu, se[erti kita hanya meninggalkan segaris kenang.

***
Aku tak tahan. Kerinduanku pada kalian, pada kekonyolan semua orang. Tentang kita yang berlomba mendesain blog, dan tentu punyakulah yang paling hancur.d an kalian menertawakanku penuh kasih. Aih, aih. Penjual putu itu menjauh. Dia tak lagi di berhenti Zen, dia hanya sekedar lewat, memancing ingatanku yang sempit ini.

Aku masih mendengar lengking penjual putu yang menjauh. Di belokan selatan nanti barangkali suaranya akan hilang. Tapi dadaku tiba-tiba bergemuruh oleh lengking yang lain.

Tidak ada komentar: