25 Jun 2007

Bos Catur, Kau di mana?

Seandainya aku bisa mengulang waktu, akan aku hapus segala cerita buruk malam itu.

Tak ada yang berniat melepaskan kepergian malam itu. Seperti aku, seperti juga Ridwan dan Amin. Huda mungkin sepakat.

Malam itu celaka. Aku tak ingin beralibi di depanmu lagi. Tapi sungguh malam itu celaka. Aku kelelahan, tiap hari bolak-balik ke Benteng Verdeburg untuk jaga stand. Dari kemarin aku tak tidur. Lalu saat aku ingin istirahat Ridwan bercerita lagi masalah buruk pasca Forum Penyair Muda 4 Kota. Membuka lembaran buruk itu lagi, aku benci.

Entahlah. Aku hanya butuh istirahat saja malam itu. Tapi cerita Ridwan mengarah ke banyak hal. Semuanya berakhir keluhan dan aku yang sudah terpancing emosi mau tidak mau meladeni dengan lebih semangat.

Kau tahu, aku seorang yang pendendam juga. Aku tidak suka pada sesuatu yang terselubung, kau pasti mednegar itu. Itu juga yang kukatakan malam itu. Serupa apa lagi aku harus menerima sikap dan kelaukuan buruk dari orang2 yang kukenal? dan kita adalah korban dari itu semua.

Aih, aku teringat obrolan panjang kita dinihari itu. Tentang orang-orang dekat yang kadang begitu celaka menghabiskan kita dengan sepenuhnya.
Untukmu, yakinlah, aku tak hendak berbuat itu.
***
Membaca tulisan-tulisanmu di dinding rumah aku ingin terisak saja. Betapa kesunyian sama-sama telah membakar diri kita. Selama ini kita hanya menjadi teman tapi tak pernah ditemani.

Aku merindukanmu dengan seluruh. Segelas kopi dan batangan rokok yang kita hisap di pintu depan sambil mempercakapkan hati dan perempuan. Kau tahu, kursi biru (ah, ataukah hijau? Aku benar-benar tak paham dnegan warna) telah hanyut di Gajah wong. Tapi aku tak ingin kisah kita selesai, kawan.
***
Jika boleh mengutuk, aku ingin merampas dan merobek malam celaka itu. Sesuatu yang bergejolak di kepalaku ketika itu, membuatku ingin memaki apa saja dan siapa saja. Tapi mengutuki dnegan mencintai seluruhnya. Sungguh. Kau tahu, daris ekian orang yang aku omongkan semalaman itu, tak satu pun aku memusuhi mereka. Aku katakan ketika itu, kebencian yang sungguh-sungguh menyayangi. Ah, aku tak pandai berkilah.

Aku tak sungguh-sungguh paham tentangmu, kau pasti tahu. Katamu, “Tak ada yang akan bisa membacaku. Hidupku terlalu dalam untuk dimasuki, terlalu curam untuk dituruni. Lereng-lerengnya terjal, gelap dan pengap.”

Aih, bagaimana aku harus mengatakan maaf dalam kondisi serupa ini? Aku seperimu, kita hanyalah Anjing Kudisan yang kadang dianggap tak ada. “Asal tak menggadaikan harga diri.” Kita menyepakati itu tentus aja.

Bos Catur Stanis. Hidup adalah jalinan peristiwa yang rumit dan panjang. Kita dipertemukan untuk satu kisah saja, mungkin. Barangkali, setelah ini kita tak lagi dipertemukan dalam lakon yang gila ini. Lalu kita memainkan peran sendiri-sendiri, berlaku sendiri-sendiri dan aku yang diam-diam merindukanmu dnegan segudang rasa bersalah ini. Sebuah lakon yang yang enath kapan selesai dan entah siapa yang akan menyudahi. Adakah kita butuh penonton?

Kadangkala aku merasa sepertimu, “mengkarikaturkan diri.” Istilahmu. Kau tahu, kadang aku berpikir, kita barangkali hanyalah badut bagi kehidupan yang gila ini. Kita dicipta dengan peran yang menggenaskan, ditonton, ditertawakan dan ketiadaan kita di panggung tak pernah diperhitungkan.
Entahlah. Barangklai kita berbeda pandangan dalam banyak hal, tapi juga memiliki banyak kesamaan. Yang kurasa tentu soal pengalama, kau memiliki jam terbang yang jauh lebih tinggi.

Soal sakit? Aih, bukankah kita baru saja mempercakapkannya kemarin malam? Dan kini, aku, temanmu, yang baru saja mempelajarimu dan kau pelajari, tiba-tiba membuatmu dipukul kepahitan lagi. Jika boleh aku berkata, tak ada keinginanku sejauh itu. Tak. Aku paham bagaimana kejahatan terselubung itu. Aku tahgu betul mana yang pura-pura tersenyum dan mana yang sungguhan. Dan bagiku kau aktor yang jauh lebih tangguh dariku, aktor yang melampaui banyak zaman. Lalu, percayakah kau, aku yang mencoba mendengarmu, kau yang sedang mendengarku akan berlaku begitu kejam?

Segalanya dimulai ketika malam itu begitu panas. Hatiku terbakar oleh terita yang datang dari Barat pulau. Pahit. Ah, jika bertemu kau akan kucoba ceritakan kepahitan ini.

Adakah punya arti buatmu?

Segalanya telah kucoba susun. Kita menata hidup sebagaimana keriangan tersembunyi dari coretan-coretanmu di dinding. Hai, bukankah kita Waskah yang berpura-pura jadi Semar? Atau kita seorang anak panggung yang betul-betul jauh dari tontonan?

Aku tak ingin menyakiti siapa pun. Apalagi mengulangnya lewat tulisan ini. Apakah segalanya begitu “cair” atau sudahkah ia serupa “pasta”?. Adakah bagimu pertemuan serupa jejak telapak, serupa jalan kecil yang menakutkan dan tak boleh lagi untuk dilewati.

Aduh-aduh, betapa aku tak begitu banyak mengenalmu.

Yang aku inginkan, sebuah percakapan ringan kita di tengah malam dnegan batangan 76 dan segelas kopi dingin. Lalu segala masa lalu lindap ke muara. Siapakah yang Waskah di antara kita?

Tidak ada komentar: