17 Mar 2021

Kisah Sejumlah Permainan- Satu Bagian

 

Karena tidak ada bahan yang mau diposting, saya akan memposting cerpen Kisah Sejumlah Permainan yang saya tulis bersama Sunlie Thomas Alexander. Ini kolaborasi kedua kami yang memang meniatkan mengangkat sejumlah kenangan-kenangan yang kami rasa penting yang barangkali akan lenyap dan tiada. Poyek ini kami hentikan sementara karena kami belum mendapatkan konsep yang ideal atau tantangan yang berbeda. Dalam kasus dua cerpen kami ini, posisinya kami masing-masing hanya menuliskan peristiwa tiap-tiap kami dan menambahkan pembuka dan penutup yang kami tulis selang-seling (Saya pembuka, Sunlie penutup, misalnya).

Kami perlu yang baru. Dan kami belum menemukan. Ada yang mau membantu?

Pada cerpen kolaborasi pertama kami, Kisah Seruas Jalan, terasa menyenangkan. Tidak ada editing berarti yang dilakukan. Ada prolog dan epilog. Pada publikasi kedua kami Kisah Sejumlah Permainan, ada beberapa hal yang harus dikompromikan. Halaman Jawa Pos yang lebih terbatas saat ini, membuat kami memangkas beberapa bagian. Tidak terlalu esensial, tapi terasa lebih padat.

Hal lainnya adalah, pada cerpen kedua ini, para pembaca sedikit terkecoh, di mana banyak yang mengira, cerita yang ditulis Sunlie menjadi cerpen saya, dan sebaliknya. Tampaknya karena struktur pemuatan cerpen itu begini: Di judul yang ditulis pertama adalah nama saya, disusul Sunlie, sementara di cerpen di buka dengan cerpen Sunlie barulah cerpen saya. Saya senang-senang saja, Sunlie juga, disangkakan demikian. Kalau pembaca terkecoh, setidaknya ada bagian yang kami anggap berhasil. Masalahnya, saya menemukan satu versi cerita itu dimuat di media daerah (tampaknya anak Jawa Pos), versi yang dimaksud adalah cerpen pembuka yang ditulis oleh Sunlie tetapi menggunakan nama saya. Nanti saya jadi plagiator dong, pakai cerpen orang, eh pakai nama saya. Hahaha..

Untuk memuaskan diri saya sendiri, saya akan memosting ulang cerpen yang saya tulis (kalau saya posting punya Sunlie juga nanti melanggar hak cipta pula. Haha..). Di sini akan saya masukan kembali bagian prolog dan epilog yang memang keduanya menjadi kolaborasi kami berdua. Astaga, hanya pembuka dan penutup saja. Payah. Dengan pemenggalan semacam ini juga menunjukan bahwa kami belum benar-benar berhasil dalam kolaborasi. Oh ya, paragraf terakhir di cerpen ini saya tukar posisinya jadi seperti yang di Jawa Pos. Dalam hal ini, saya berterima kasih pada Sunlie yang menjadikan paragraf itu penutup cerita kami berdua.

Selamat membaca, jika memang mau membacanya:


Kisah Sejumlah Permainan

Mula Permainan

APABILA dalam kisah terdahulu, sudah kami ceritakan—mungkin tepatnya memperkenalkan—ruas-ruas jalan di masa kecil kami yang bersitahan dalam rapuh ingatan. Izinkanlah kami tuturkan juga kali ini dalam genap kerinduan, beragam permainan yang pernah kami lakoni sebagai anak-anak yang riang.

Barangkali tak sepenuhnya istimewa, Pembaca. Lantaran sebagian dari permainan-permainan ini tentunya pernah pula kalian mainkan. Ya, seperti halnya kami berdua. Kendati (sebagaimana sebelumnya telah kami katakan) tumbuh di dua tempat berbeda yang terpisah bermil-mil oleh lautan, terpaut juga jarak usia, tetapi selalu merasa memiliki pengalaman yang sama dengan gairah serupa.

            Kami rasa, sedikit-banyaknya, ini memang kisah kolektif sebagian dari kita!


Dalam Setiap Permainan, Aku Selalu Dikalahkan

SEPAK bola adalah kutukan. Setiap hari olahraga—waktunya tak pernah pasti—ketika guru sedang tak ada, kami, anak laki-laki, akan digiring ke lapangan sepakbola yang terletak setengah kilo dari sekolah. Cara paling aman untuk tak menyuruh para murid pulang sebelum jam belajar habis. Kami yang hanya berjumlah 13 orang akan berjalan sendiri ke lapangan yang besar, terbakar matahari menjelang siang, membagi kelompok sendiri, dan sesuka hati menentukan posisi. Apa dayaku, anak bawang yang kadang-kadang diajak bila ada yang kosong. Kalau pun dimainkan, posisiku selalu selalu serba salah.

            Di lapangan orang menjadi demikian egois. Begitu bola sampai di kakimu, di kanan-kirimu akan ada yang bersorak, “Woi.. kasih bola woiii…”, “Umpan woii… Umpan…”, “Kosooong sini… kosong..” atau teriakan lain yang bernada perintah yang sama. Beruntung jika bola sampai ke kaki seorang kawan. Jika umpan cantik nyasar ke kaki lawan, kau akan disoraki sepanjang permainan.

            Semua mengalaminya, tetapi sepertinya cuma saya yang tak tahan suasana ini. Semua orang selalu ingin hadir di depan gawang dan berharap dikenang sebagai pahlawan. Lalu saya yang tak sepenuhnya paham teknik dan posisi, yang hanya sesekali menerima umpan jika tak rajin menyerang lawan, akan dikenang sebagai apa selain pecundang? Tidak, tidak, saya tidak akan mengambil bola untuk melanggengkan seseorang yang tidak pernah berterima kasih setelahnya. Semua orang melakukan itu, sekali lagi, maaf, itu bukan jatahku.

            Maka pilihan bijak adalah, tetap di sekolah, pura-pura pergi kencing di belakang, meringis memegang perut, cara hebat untuk tak berangkat ke lapangan. Awalnya teman-teman menyoraki, tapi lama-lama mereka terbiasa. Lalu sisa waktu, menjelang teman-teman lelaki pulang dari lapangan, bermain kasti adalah pengisi waktu paling menarik dengan teman-teman perempuan. Mereka jauh lebih memiliki rasa belas kasih.

            Dalam setiap permainan saya selalu dikalahkan. Jika bermain kelereng, saya harus hati-hati mencari lawan. Permainan kami tak seluruhnya pertaruhan antara barang dengan barang. Kami main kelereng dengan tiga lubang, yang kalah akan meletakkan bagian belakang telapak tangannya di lubang pertama, lalu yang menang akan menembak dari lobang kedua yang jaraknya tak lebih dari tiga setengah jengkal. Dan saya harus sungguh-sungguh memilih lawan jika tak ingin menangis menahan sakit dan malu yang ditimbulkan. Maka setiap permaianan dengan orang yang lebih besar, saya harus punya perjanjian. Bagaimana pun caranya saya harus dimenangkan. Beruntunglah, saya punya sepupu-sepupu yang baik dalam setiap permainan; jago dan selalu membela saudara yang berharap lebih tapi tak punya kemampuan. Dengan cara-cara manis mereka memenangkan saya: menembak kelereng dua kali akan mememangkan lawan, tentu dengan pura-pura dan tak sengaja, kelereng beradu setelah ditembak, atau masuk ke dalam salah satu lubang akan membuat lawan memang.

Demikianlah takdir saya, terlibat di permainan, sekali lagi sebagai anak bawang. Tak jarang sepupu yang baik itu bertingkah sedikit sadis, memenangkan pertandingan terlebih dahulu, membiarkan saya tersiksa menahan tangis menjelang akhir pertandingan.

            Ini lebih sering teralami sebenarnya. Saya diajak lebih sering karena pemain kurang, dengan janji-janji muluk tadi. Jika pemain bertambah banyak, awak terabaikan demikian rupa. Di lapangan terbuka, apa gunanya seorang manja? Dibiarkan bertarung di bagian terakhir dengan muka merah menahan tangis dan berakhir dengan meletakkan tangan di lubang pertama sambil berjanji, “tak lagi aku main dengan kalian.” Begitu sepanjang petang, berulang hingga musim kelereng mesti diselesaikan.

            Saya berteman dengan teman yang pandai membikin mainan tanpa sedikit pun kemampuan mereka mampu dicuri. Anak laki-laki di musim tertentu membikin oto-oto (mobil-mobilan) dari pelepah sagu yang dilicinkan. Oto-oto mereka bagus-bagus, mulai dari oto prah (truk), pick up, mobil boks, bus antar kota hingga yang mencengangkan: Budi Jaya Patah Pinggang. Ini bus terkenal di kampung kami, trayek Surantih-Padang dengan pinggang bus yang melengkung. Oto-oto mereka dicat sesuai warna, diberi ban dengan bekas sandal karet diberi tali. Di akhir-akhir mainan, oto-oto ini sering mereka adu. Rusak dan tinggal dibikin lagi. Tragis sungguh nasib saya, hanya mampu membikin sasis, langkah pertama untuk merakit mobil-mobilan.

            Jika musim layangan tiba, sepupu-sepupu saya adalah karib yang kadang sedikit kejam. Saya hanya punya mereka yang bisa diandalkan. Mereka jago membikin semua permainan, termasuk jenis layang-layang. Saya? Satu-satunya keahlian adalah membikin kerangka layang-layang maco, teknik sederhana dari jenis layang-layang yang ada di dunia ini: kerangka yang berbentuk salib, ditarik dengan benang di semua sisi-sisinya. Tapi layangan buatanku tak pernah jadi, sebagaimana nasib oto-oto yang selesai sampai di sasis. Apa boleh buat, permainan terus berlangsung. Begitu belajar satu permainan, permainan baru menghadang di hadapan.

            Saya merasa dikalahkan dalam setiap permainan apa pun, termasuk permainan yang penuh pertaruhan. Main coki dengan potongan kotak obat anti nyamuk yang biasanya ada di musim karet gelang, saya lebih banyak menjadi penonton. Berteriak kencang di awal permainan mengajak orang-orang, lalu kandas di sepertiga permainan.

            Gambar umbul dengan banyak ragam jenis permainannya lebih merepotkan. Main lepar (sandal) jelas tak bisa kukuasai. Ini permainan kelas tinggi. Gambar ditumpuk di tengah lapangan lalu kita melempar sandal dari jarak tertentu. Tak jarang saya tak mendapat jatah melempar karena lemparan pertama tak sampai ke tengah lapangan. Jelas, ini sia-sia dan saya pasti memilih berada di barisan penonton, memihak yang menang, membantu ia mengumpulkan kertas gambar yang tercecer, mendapat jatah beberapa lembar di akhir permainan.

            Main lempar gambar, tepuk gambar, tebak angka jelas penuh peruntungan. Sialnya, bahkan Tuhan pun tak selalu berpihak pada saya. Main tapiak, memukul lantai dengan sebelah atau dua belah tangan agar gambar umbul di hadapan bisa terbalik karena anginnya, adalah permainan yang payah: tangan merah dan pedih, tapi gambar tak bergoyang sedikit pun.

         Selain sepak bola, saya membenci main perang-perangan. Sumpah mati, saya tak suka permainan ini. Tidak lagi-lagi. Apa enaknya permainan ini? Kita berkelompok, saling sembunyi dan menyerang dengan ranting di tangan, mengarahkan ke arah lawan lalu, “zkzkzkzkzkkzk….” “Drdrdrdrdrdrdrrdrdrr… mati kau, mati kau, mati kau…:”, maka tumbanglah lawan. Sialnya, permainan ini tak sepenuhnya mengandalkan insting, melainkan kemampuan untuk keras kepala dan berdebat. Setiap yang ditembak tak pernah mengaku mati, justru merekalah yang merasa lebih dulu menembak. Setengah marah, setengah ingin menangis, di tengah permainan saya memilih banyak mengalah. Terus-terusan berlari dan bersembunyi, menembak lawan tetapi selalu mati duluan, atau mundur dengan jantan dari arena pertarungan dengan sorakan “Ohoooiiiiii eeehh.” dari kawan-kawan yang membuat tangismu bisa pecah sebelum sampai di garis aman.
   Apa pun itu permainannya, bisa dipastikan saya kalah. Tapi saya ingin maju di setiap pertandingan. Tembak kajai (karet), main lupi, menembak kelereng hingga permainan petak umpet, hingga main galah adalah permainan yang melelahkan bagi saya, lahir maupun batin. Namun sesukar apa pun, di musim permainan tertentu, semuanya demikian seru. Saya tak sendirian sebenarnya, tetapi seringkali para pecundang tak pernah memiliki ikatan persaudaraan. Saya tetap merasa sendirian.

Akhir Permainan

KENDATI jauh bercecabang di kampung halaman, jauh pula ditinggalkan laju usia, namun senantiasa lekat dalam ingatan. Meski permainan tak selalu dimenangkan, tetapi kami merasa pemilik sah dari yang kini sudah tak ada.

Apa daya, seperti kami yang lebih sering dikalahkan, kami tetap bisa mengenangnya dengan manis. Bukankah kekalahan lebih gampang diingat, sebenarnya? Seperti kini, kampung kami tumbuh sebagaimana kampung lainnya, tak menyisakan apa pun dari yang pernah kami mainkan, tetapi kami berhak memiliki sisa kenangan. Seperti telapak tangan di lubang pertama dalam permainan kelereng, setelah permainan usai, sakit dan perihnya masih bersisa di telapak tangan. Permainan bukan soal menang dan kalah, tapi sejauh apa kau sungguh-sungguh menikmatinya.

                       

Tidak ada komentar: