22 Okt 2020

Empat dari Sejumlah Novel Penting yang tidak Pernah Dituliskan




Setiap penulis cerita pastilah berharap dapat menuntaskan pekerjaannya dalam waktu yang terukur, dan segera karya tersebut bisa dinikmati banyak orang. Apalagi itu dirasa sebuah karya besar di masa subur dan produktif. Pasti makin tak sabar mengantarkan ke pembaca. Banyak contoh-contoh karya besar semacam itu lahir, baik oleh seorang pemula, ia yang masih belia dan masih panas-panasnya. Namun ada beberapa karya yang seharusnya hebat dan dasyat itu, yang gema idenya saja membuat kecut rekan si penulis, berakhir tanpa jadi apa-apa. Ia tak pernah berjumpa pembaca. Karya besar itu tak pernah sempat dituliskan. Ia tenggelam dalam lautan rutinitas sang penulis tadi, menjadi mimpi buruk bagi dirinya, terkadang jadi olok-olok kawan dan pasangannya.

 Siapakah penulis malang tersebut? Banyak. Banyak sekali. Biar tidak berkepanjangan saya akan menceritakan 4 saja. Empat karya besar yang jika ia terbit barangkali akan benar-benar mengguncang sastra Indonesia tercinta kita, atau sama sekali tak memberikan efek apa-apa. Soal kedua ini abaikan saja. Daftar lainnya kau bisa menambahkan sendiri. Barangkali kalau kita kumpulkan akan jadi kumpulan olok-olok yang dasyat dan mengguncang sastra Indonesia.

Bukankah setiap penulis merasa sedang mengandung karya besar dan karya hebat? Bukankah ia punya masterpeace dalam dirinya yang sewaktu-waktu keluar dan membuat semesta di sekitarnya terguncang? Mungkin tidak langsung, bisa berlahan atau cuma pelan sekali, atau barangkali memang tidak mempengaruhi apa-apa. Mau contoh? Ulid, karya Mahfud Ikhwan, ketika pertama kali terbit penulisnya ingin menangis melihat covernya apalagi respon pasarnya. Tapi sekarang, penulisnya sejajar dengan Andera Hirata, bukan? Mereka senasib.  Tapi kan tetap banyak juga yang disiapkan dengan serius dan penuh ketekunan ternyata hambar di pasaran? Banyak... Tanya Penerbit JBS atau mana saja kalau tak percaya.

Tanpa berpanjang-panjang, karena saya mulai mengantuk dan lupa ide tulisan ini, kita mulai dengan yang pertama. Seorang kawan berbakat, sebut saja Purwana dengan novel Gagasan-Saintik-Historis-Magic-Poliponik. Luar biasa. Bahkan istilah ini masih belum mampu merangkum semua gagasan dari kepala sang punya ide. Entah apa jadinya dunia sastra kita hari ini jika saja novel itu terlanjur ditulis dan diterbitkan. Purwana, seorang kawan yang --di mana pun kamu berada sekarang, Bung, tetap sehat dan bersemangat, kami rindu--  punya gagasan paling kompleks dalam fiksinya. Ia akan menggabungkan perang antar bintang, planet-planet, alien, dan sejarah kebangsaan Indonesia dimulai dari zaman kerajaan hingga zaman modern. Novel itu sekaligus sebagai jawaban atas masa lalu, pertanyaan manusia tentang adakah makhluk selain di bumi, sekaligus ramalan cerdas tentang masa depan. Ia tak hanya menjadi bacaan tetapi juga semacam kitab yang dibuka untuk mencari jawab banyak hal. Refensinya mulai dari kajian kimia dan fisika, buku-buku agama dan tentu saja kitab suci agama samawi.

Pusing? Dia tidak. Tokoh-tokohnya sudah ada. Nama-namanya sudah terpilih demikian rapi. Pembabakan sudah aman di kepala. Alur sudah demikian rapi disusunnya. Referensi, jangan ditanya, ia tahan duduk berhari-bermalam dengan setumpuk buku setinggi ia berdiri hanya untuk sekadar menemukan ide: “Melayu lebih dulu dari Jawa.”

Ia menceritakan rentetan peristiwa, yang jika sekarang saya bayangkan seorang Pram menceritakan Tetraloginya dalam bentuk lisan, serapih mahasiwa baru ketika hendak kuliah online. Lancar, terhubung, enak di dengar, sekaligus gemas ingin mencuri. Pernah ia menceritakan novelnya dari sebuah siang yang terik sejak rencana perjalanan dari Krapyak ke Sewon, berputar lagi ke kosan dekat Ringroad Selatan, berlanjut sampai petang, terus sampai malam, dan disudahi dinihari ketika kami semua telah tertidur dengan cerita Purwana yang menggantung di antara tidur dan jaga. Sepanjang hari itu kami makan mie rebus, bergosip ini-itu, cerita futuristik itu terus bergema tanpa terusik oleh celoteh kami yang tak ada hubungan dengan cerita itu. Kami terus mengobrol, Purwana terus bercerita dan sesekali menimpali kami. “Gak apa-apa gak didengarkan. Aku hanya mau mengasah ingatanku saja. Nanti kalian akan kaget sendiri,” katanya dengan enteng.

Cerita-cerita itu hadir lagi ketika kami bertemu di mana, sedang apa. Misal soal tokoh baru, bab baru, orang yang akan menjadi tokoh cerita dan segala pertimbangannya yang rumit. Sampai suatu ketika pertanyaan sialan itu keluar juga, entah dari mulut siapa. Mungkin saya. “Jadi, sudah kamu tulis cerita itu, Bung?”

Purwana tercenung. Tak lama. Laiknya seorang filsuf bijak, ia memegang dagu dan menjentikkan jari-jarinya di situ. “Hmm, di komputer belum, tapi sudah di kepala.”

Dan cerita hebat itu selesai di situ dengan rentetan kejadian-kejadian berikutnya. Yang pasti: ini konspirasi. Ada upaya pencegahan oleh tangan yang tak tampak. Komputer yang hang, disket yang kena virus, hingga file berubah kode-kode aneh. Intinya, dengan ide serumit itu (setidaknya bagiku saat itu yang setengah mendengar setengah tidak), ketangguhannya membabat literasi demikian serius (pernah dia menekuni sebuah buku bahasa Jepang yang kami sama-sama tidak akan paham isi dan cara bacanya, ia lakukan semalaman. Membalik halaman perhalaman. Dan sumpah ia bisa mengira-ngira isinya tentang apa. Luar biasa.), saya yakin, hari ini para penulis novel akan menaruh bukunya di urutan buku yang wajib baca dan mencari cara menghindari kesamaan dengan karya besar itu. Tapi untunglah...

Untunglah novel pertamanya terbit dan tak ada hubungan dengan ide yang tadi. Tetapi, kukasih tahu satu rahasia, novelnya yang berjudul Pedang Kalingga yang diterbitkan Basabasi, merupakan bagian lain dari obsesinya meriset sejarah. Kali ini tentang Swarnadwpha. Dan itu baru bagian kecil saja. Bacalah.

...

Buku kedua yang harusnya bisa mengubah cara pandang fiksi kita hari ini, akan lahir dari sebuah novel sejarah. Sebuah novel dengan hitungan waktu yang tidak panjang, tetapi merangkum semua hal dalam satu karya besar itu: politik, sosial, ekonomi, bangsa, perang, dan tentu saja cinta. Kita akan diantar ke pertengahan abad 20 beberapa saat sebelum bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Yup, zaman Jepang. Sebuah novel yang padat akan pengetahuan sejarah, penuh dengan kronik dan kisah cinta akan menemukan urat-akarnya di sana.

Entah bagaimana persisnya, saya kira tiap orang sudah mengambil jatah masing-masing dari cerita itu menjadi versinya masing-masingpula. Saya akan punya lintasan-lintasan kecil tentang apa yang akan ditulis, dan yang lain punya sudut pandang yang lain pula jika kini ia ditanya.  Tetapi Novel Jepang karya cerpenis produktif pada zamannya itu adalah ancaman besar bagi para sejawatnya. Di saat penulis lain masih bermimpi punya flashdisk, ke kos siapa bisa numpang ngetik, di rental komputer mana yang enak mengedit tulisan, sibuk mencari email koran, tokoh kita ini sudah hadir dengan gagasan besarnya soal bagaimana sejarah akan terasa murni tetapi empuk dan renyah ketika dibaca.

Kami yang mendengarkan ada di ambang kagum dan kasihan. Apakah ini disebabkan asmara, balas dendam, upaya mengabadikan cinta, ataukah memang sedasyat itu ilham merapat di kepalanya sehingga menghabiskan seluruh waktu anak muda ini untuk riset Novel Jepangnya itu? Kami cenderung menuduhnya pada hal pertama, bagian yang hmm.. tidak perlu kita ceriotakan di sini.

Kalau ada yang menawarkan 5 judul buku dengan tema yang terhubung dengan karya besar kawan ini, 3-4 karya, jika tidak semua, sudah dibabatnya. Kami tak punya amunisi apa pun lagi untuk membantunya untuk segera melahirkan karya besar itu selain mendengarkan dan mendoakan sekaligus tetap waspada. “Sudah sampai mana?”. Woo, itu ancaman, Bung, bagaimana pun. Tidak ada yang meragukan kemampuan menulisnya yang tajam. Ia babat masalah-masalah sosial dengan sangat lincah, sekaligus mampu menitikkan airmata pembaca karena pedihnya penderitaan para tokoh. Ia mampu menggulung seluruh kebejatan dalam satu paragraf yang dingin, sekaligus membuat kita menjadi terus muda karena ramuan cinta dalam karyanya. Dan sekarang, penulis ini akan menabalkan sejarah dan cinta dalam satu karya utuh. Tuhan, selamatkan kami dari cemburu yang tak terkendali ini.

Jika kamu sekarang membaca novel sejarah yang hebat, bukan buku itu yang aku maksud. Bukan. Karya-karya itu akan lemah dari banyak sisi jika dibandingkan dengan novel yang sekiranya jadi ditulis ini. Novel Jepang ini urung ditulis. Si penulis memilih jalan ninja demi itu semua. Mengorbankan banyak hal dan tentu saja kesedihan dan gelak tawa. Tapi jika kamu penasaran juga dengan apa yang akhirnya ia tulis bacalah novelnya yang berjudul Darah Muda. Meski bukan itu yang sebenarnya ingin ditulis. Ya, penulis yang saya maksud bernama Dwi Cipta.

***

Kita melaju ke nomor tiga. Sebuah cerita keluarga dengan dan masih memakai sudut sejarah sebagai jaring-jaring ceritanya. Namun ini rumitnya berbeda. Jangan dikira kisah sebuah keluarga tidak bisa menyentuh batas kolonialisme dan efek perang candu hingga dampaknya pada hari ini. Adalah, sseorang anak muda, nun, dari China Daratan sana, berlayar sampai ke Pulau Bangka. Bukan perjalanan dan perantauan biasa. Pertikaian, ideologi, penjajahan, kemiskinan, penderitaan dan darah bertebaran di sana-sini. Apa yang dibawa, apa yang ditinggalkan, apa yang diharapkan dalam impian, hal yang ditemukan sebagai kenyataan, adalah beban lain yang tak tertanggungkan. Tak cukup sebagai sebuah novel sejarah tapi juga psikologis. Rumit, hitam, dan serupa labirin. Tapi si penulis dengan rendah hati menyebutkan sebagai novel Bingkai Keluarga belaka.

Novel ini akan bergerak maju, terlontar jauh ke belakang, keluar dari tengah, menyenggol bagian ujung, terus begitu. Licin dan buas. Alurnya kira-kira begitu. Tahun 1914, tahun 30-an, 40-an, 60-an, hingga 90-an adalah noktah-noktah penting tak terbantahkan. Tak hanya soal benturan budaya, tapi juga roh leluhur, orang mati, hantu gentayangan, kesaktian ala Sun Go Kong akan hadir bukan sebagai pemanis belaka. 100 Tahun Kesunyian bahkan akan ciut olehnya. Kita mungkin hanya akan menertawakan saja upaya Mo Yan dalam Big Breast and Wide Hips, karena kita punya yang ini. Yang maha dasyat ini.

Ide gila ini mulai mengganggu para penulis seangkatannya atau yang jauh lebih dulu mencuri start darinya, tapi belum sampai pada titik ancaman. Ruang untuk dia bisa lebih luas. Setiap ada obrolan soal sulitnya menulis akan ada suara kau dengar: “Asu e, novelku yang belum ditulis itu..” Itu pasti tokoh kita. Dia perlu diberi panggung seluas-luasnya. Hal-hal penting soal pembauran, adaptasi, mitos, dan kenangan dari calon novel ini akan sangat kuat terasa. Seluruh elemen dan pisau bedah hanya akan mampu membuka bagian-bagian tertentu saja dari novel besar ini. Selebihnya tetaplah misteri. Orang akan membincangkannya kadang sambil bertengkar. Kajian terhadap naskah ini akan jadi membosankan dan penuh pengulangan. Di waktu yang tak lama saya bayangkan dia akan menjadi seorang peraih nobel dari Indonesia, tentu dengan terlebih dahulu  menyiapkan negara yang akan memberinya suaka. Kami sudah merancang sedetail itu, berdua saja. Apa boleh kata, kadang memang perlu dibungkus dengan obsesi palsu jika saja novel ini benar-benar bisa selesai.

Suatu malam bahkan dia datang dengan coretan kertas dan berteriak sejak di pintu. “Asuuu.....” lalu membentangkan peta di kertasnya berisi tahun-tahun dan mulai menunjuk beberapa titik. “Apakah sebaiknya aku memulai dari sini, atau dari sini?”


“Kenapa tidak dari sini?” tanyaku menunjuk titik yang lain.


Dak, dak, bukan itu. Bukan itu..”


Lalu ia menjelaskan soal struktur waktu, ulang-alik apa yang akan terjadi dalam karya besar itu. Detail, nyaris sempurna. Sambil menelan ludah karena merasa sudah kalah dan menyerah, aku berkata, “kenapa tak kau tulis saja dengan cara begitu.”


Dia menatapku sebentar, merogoh lantai,  meraih “rokok ringan, dadaku sesak e,” lalu menghirup dalam-dalam dan berujar, “Masalahnya, aku dak tau bagaimana membuka ceritanya...”

Bahkan saudara, cerita yang tinggal dibentangkan belaka, yang sudah ada rancang-bangunnya, alangkah sulit mencari pintu masuknya. Lama tersiar kabar novel itu menganga sejak bab pertama, meski beberapa hari lalu dia bilang, ada beberapa versi pembukaan yang sama bagus dan punya kelemahan yang sama pula. Beban? Tentu saja, karena ternyata ketika semua pembuka itu dilebur pun tak menghasilkan bab pembuka yang semestinya.

Tapi setidaknya, ia mencoba versi lain, menulis kisah-kisah keluarga dengan mencicilnya dalam beberapa cerpen. “Jelek,” kataku, “Kau menulis esai, bukan cerpen.” Dan ia cengengesan. Tapi kukira itu bisa menjadi obat sementara, tapi bagi dia tidak. Ada yang substansial yang belum sepenuhnya bisa keluar. “Adooh, sekarang aku malah dak bisa menuliskan yang itu lagiii..”

Kukira akan lebih rumit lagi, jangan-jangan koran yang memuat tulisan itu juga tidak mau lagi menerbitkan karena manajemen internalnya. “Dak ada itu.. daklah..” Katanya. Aku senyum-senyum saja. Dia lalu berbisik, “Kamu mau dak menerbitkan cerpenku yang itu..”

Duh...

Kukira memang ia harus berhenti di bab pertama itu saja, sebagai pusara yang dikenang dan terus dikenang “di sini pernah akan lahir novel besar” ketimbang ia memaksakannya selesai dan pembaca  meninggalkan sebelum halaman 18, di mana bab pertama sedang kuat-kuatnya merayu kebosanan kita.

Sebut saja calon penulis novel utama itu Sunlie Thomas Alexander.

***

Sekarang kita pindah ke bagian akhir. Bayangkan misalnya, peristiwa kecil dalam satu malam, menjadi bencana besar bagi banyak orang. Menangkap basah orang pacaran lalu berakhir dengan pembunuhan dan berdarah-darah. Atau, kisah seorang guru mengaji yang ditumbangkan seperti kehancuran sebuah rezim. Dan rumah Tuhan itu tak pernah tenteram hingga kini, meski sudah berkali ganti juru kemudi. Atau bagaimana dengan seseorang yang mati berkali-kali mengisahkan biografi keluargnya yang tidak baik-baik saja? Atau bagaimana kalau menulis novel dengan latar tahun 90-an yang menyertakan ingatan banyak orang, mengisinya dengan banyak lagu-lagu populer di zaman itu serta tontonan dan sejumlah hal lainnya? Bagaimana? Biasa saja? Iya sih.  Itulah sebabnya saya menaruh ini di bagian terakhir saja, karena ini tentang saya.

Banyak, ada banyak sekali gagasan besar menurutku, tapi remeh-temeh menurut diriku yang lain yang tidak pernah jadi keluar. Bahkan saking hebat dan banyaknya, saya seringkali lupa pernah akan menulisnya. Dan setiap rencana itu bahkan batal kuceritakan pada pasangan karena ide itu akan kuncup sendiri bahkan sebelum ia mulai menertawainya. Percayalah, ketika lintasan karya yang gagal lahir itu lewat, rasanya demikian ngilu, perih dan sakit. Jadi jangan tertawakan mereka, sebab aku tahu betul bagaimana sakitnya. Kasian e, Bosku.

Tugasmu melanjutkan ke nomor berikutnya.


Oktober 2020

Tidak ada komentar: