Setiap penulis cerita pastilah berharap dapat menuntaskan pekerjaannya dalam waktu yang terukur, dan segera karya tersebut bisa dinikmati banyak orang. Apalagi itu dirasa sebuah karya besar di masa subur dan produktif. Pasti makin tak sabar mengantarkan ke pembaca. Banyak contoh-contoh karya besar semacam itu lahir, baik oleh seorang pemula, ia yang masih belia dan masih panas-panasnya. Namun ada beberapa karya yang seharusnya hebat dan dasyat itu, yang gema idenya saja membuat kecut rekan si penulis, berakhir tanpa jadi apa-apa. Ia tak pernah berjumpa pembaca. Karya besar itu tak pernah sempat dituliskan. Ia tenggelam dalam lautan rutinitas sang penulis tadi, menjadi mimpi buruk bagi dirinya, terkadang jadi olok-olok kawan dan pasangannya.
Siapakah penulis malang tersebut? Banyak. Banyak sekali. Biar tidak berkepanjangan saya akan menceritakan 4 saja. Empat karya besar yang jika ia terbit barangkali akan benar-benar mengguncang sastra Indonesia tercinta kita, atau sama sekali tak memberikan efek apa-apa. Soal kedua ini abaikan saja. Daftar lainnya kau bisa menambahkan sendiri. Barangkali kalau kita kumpulkan akan jadi kumpulan olok-olok yang dasyat dan mengguncang sastra Indonesia.
Bukankah setiap penulis merasa sedang mengandung
karya besar dan karya hebat? Bukankah ia punya masterpeace dalam dirinya yang sewaktu-waktu keluar dan membuat
semesta di sekitarnya terguncang? Mungkin tidak langsung, bisa berlahan atau cuma
pelan sekali, atau barangkali memang tidak mempengaruhi apa-apa. Mau contoh?
Ulid, karya Mahfud Ikhwan, ketika pertama kali terbit penulisnya ingin menangis
melihat covernya apalagi respon pasarnya. Tapi sekarang, penulisnya sejajar dengan
Andera Hirata, bukan? Mereka senasib. Tapi kan tetap banyak juga yang disiapkan
dengan serius dan penuh ketekunan ternyata hambar di pasaran? Banyak... Tanya
Penerbit JBS atau mana saja kalau tak percaya.
Tanpa berpanjang-panjang, karena saya mulai mengantuk dan lupa ide tulisan ini,
kita mulai dengan yang pertama. Seorang kawan berbakat, sebut saja Purwana
dengan novel Gagasan-Saintik-Historis-Magic-Poliponik. Luar biasa. Bahkan
istilah ini masih belum mampu merangkum semua gagasan dari kepala sang punya
ide. Entah apa jadinya dunia sastra kita hari ini jika saja novel itu terlanjur
ditulis dan diterbitkan. Purwana, seorang kawan yang --di mana pun kamu berada
sekarang, Bung, tetap sehat dan bersemangat, kami rindu-- punya gagasan paling kompleks dalam fiksinya.
Ia akan menggabungkan perang antar bintang, planet-planet, alien, dan sejarah
kebangsaan Indonesia dimulai dari zaman kerajaan hingga zaman modern. Novel itu
sekaligus sebagai jawaban atas masa lalu, pertanyaan manusia tentang adakah
makhluk selain di bumi, sekaligus ramalan cerdas tentang masa depan. Ia tak
hanya menjadi bacaan tetapi juga semacam kitab yang dibuka untuk mencari jawab
banyak hal. Refensinya mulai dari kajian kimia dan fisika, buku-buku agama dan
tentu saja kitab suci agama samawi.
Pusing? Dia tidak. Tokoh-tokohnya sudah ada. Nama-namanya sudah terpilih
demikian rapi. Pembabakan sudah aman di kepala. Alur sudah demikian rapi
disusunnya. Referensi, jangan ditanya, ia tahan duduk berhari-bermalam dengan
setumpuk buku setinggi ia berdiri hanya untuk sekadar menemukan ide: “Melayu
lebih dulu dari Jawa.”
Ia menceritakan rentetan peristiwa, yang jika sekarang saya bayangkan seorang
Pram menceritakan Tetraloginya dalam bentuk lisan, serapih mahasiwa baru ketika
hendak kuliah online. Lancar, terhubung, enak di dengar, sekaligus gemas ingin
mencuri. Pernah ia menceritakan novelnya dari sebuah siang yang terik sejak
rencana perjalanan dari Krapyak ke Sewon, berputar lagi ke kosan dekat Ringroad
Selatan, berlanjut sampai petang, terus sampai malam, dan disudahi dinihari
ketika kami semua telah tertidur dengan cerita Purwana yang menggantung di
antara tidur dan jaga. Sepanjang hari itu kami makan mie rebus, bergosip
ini-itu, cerita futuristik itu terus bergema tanpa terusik oleh celoteh kami
yang tak ada hubungan dengan cerita itu. Kami terus mengobrol, Purwana terus
bercerita dan sesekali menimpali kami. “Gak
apa-apa gak didengarkan. Aku hanya
mau mengasah ingatanku saja. Nanti kalian akan kaget sendiri,” katanya dengan
enteng.
Cerita-cerita itu hadir lagi ketika kami bertemu di mana, sedang apa. Misal soal
tokoh baru, bab baru, orang yang akan menjadi tokoh cerita dan segala
pertimbangannya yang rumit. Sampai suatu ketika pertanyaan sialan itu keluar
juga, entah dari mulut siapa. Mungkin saya. “Jadi, sudah kamu tulis cerita itu,
Bung?”
Purwana tercenung. Tak lama. Laiknya seorang filsuf
bijak, ia memegang dagu dan menjentikkan jari-jarinya di situ. “Hmm, di
komputer belum, tapi sudah di kepala.”
Dan cerita hebat itu selesai di situ dengan rentetan kejadian-kejadian berikutnya.
Yang pasti: ini konspirasi. Ada upaya pencegahan oleh tangan yang tak tampak. Komputer
yang hang, disket yang kena virus,
hingga file berubah kode-kode aneh. Intinya, dengan ide serumit itu (setidaknya
bagiku saat itu yang setengah mendengar setengah tidak), ketangguhannya
membabat literasi demikian serius (pernah dia menekuni sebuah buku bahasa
Jepang yang kami sama-sama tidak akan paham isi dan cara bacanya, ia lakukan semalaman.
Membalik halaman perhalaman. Dan sumpah ia bisa mengira-ngira isinya tentang
apa. Luar biasa.), saya yakin, hari ini para penulis novel akan menaruh bukunya
di urutan buku yang wajib baca dan mencari cara menghindari kesamaan dengan
karya besar itu. Tapi untunglah...
Untunglah novel pertamanya terbit dan tak ada hubungan dengan ide yang tadi.
Tetapi, kukasih tahu satu rahasia, novelnya yang berjudul Pedang Kalingga yang
diterbitkan Basabasi, merupakan bagian lain dari obsesinya meriset sejarah.
Kali ini tentang Swarnadwpha. Dan itu baru bagian kecil saja. Bacalah.
...
Buku kedua yang harusnya bisa mengubah cara pandang
fiksi kita hari ini, akan lahir dari sebuah novel sejarah. Sebuah novel dengan
hitungan waktu yang tidak panjang, tetapi merangkum semua hal dalam satu karya
besar itu: politik, sosial, ekonomi, bangsa, perang, dan tentu saja cinta. Kita
akan diantar ke pertengahan abad 20 beberapa saat sebelum bangsa Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya. Yup, zaman Jepang. Sebuah novel yang padat akan
pengetahuan sejarah, penuh dengan kronik dan kisah cinta akan menemukan
urat-akarnya di sana.
Entah bagaimana persisnya, saya kira tiap orang sudah mengambil jatah
masing-masing dari cerita itu menjadi versinya masing-masingpula. Saya akan
punya lintasan-lintasan kecil tentang apa yang akan ditulis, dan yang lain
punya sudut pandang yang lain pula jika kini ia ditanya. Tetapi Novel Jepang karya cerpenis produktif
pada zamannya itu adalah ancaman besar bagi para sejawatnya. Di saat penulis
lain masih bermimpi punya flashdisk,
ke kos siapa bisa numpang ngetik, di
rental komputer mana yang enak mengedit tulisan, sibuk mencari email koran, tokoh kita ini sudah hadir
dengan gagasan besarnya soal bagaimana sejarah akan terasa murni tetapi empuk
dan renyah ketika dibaca.
Kami yang mendengarkan ada di ambang kagum dan kasihan. Apakah ini disebabkan
asmara, balas dendam, upaya mengabadikan cinta, ataukah memang sedasyat itu ilham
merapat di kepalanya sehingga menghabiskan seluruh waktu anak muda ini untuk
riset Novel Jepangnya itu? Kami cenderung menuduhnya pada hal pertama, bagian
yang hmm.. tidak perlu kita ceriotakan di sini.
Kalau ada yang menawarkan 5 judul buku dengan tema yang terhubung dengan karya
besar kawan ini, 3-4 karya, jika tidak semua, sudah dibabatnya. Kami tak punya
amunisi apa pun lagi untuk membantunya untuk segera melahirkan karya besar itu
selain mendengarkan dan mendoakan sekaligus tetap waspada. “Sudah sampai
mana?”. Woo, itu ancaman, Bung, bagaimana pun. Tidak ada yang meragukan
kemampuan menulisnya yang tajam. Ia babat masalah-masalah sosial dengan sangat lincah,
sekaligus mampu menitikkan airmata pembaca karena pedihnya penderitaan para
tokoh. Ia mampu menggulung seluruh kebejatan dalam satu paragraf yang dingin,
sekaligus membuat kita menjadi terus muda karena ramuan cinta dalam karyanya.
Dan sekarang, penulis ini akan menabalkan sejarah dan cinta dalam satu karya
utuh. Tuhan, selamatkan kami dari cemburu yang tak terkendali ini.
Jika kamu sekarang membaca novel sejarah yang hebat, bukan buku itu yang aku maksud. Bukan. Karya-karya itu akan lemah dari banyak sisi jika dibandingkan dengan novel yang sekiranya jadi ditulis ini. Novel Jepang ini urung ditulis. Si penulis memilih jalan ninja demi itu semua. Mengorbankan banyak hal dan tentu saja kesedihan dan gelak tawa. Tapi jika kamu penasaran juga dengan apa yang akhirnya ia tulis bacalah novelnya yang berjudul Darah Muda. Meski bukan itu yang sebenarnya ingin ditulis. Ya, penulis yang saya maksud bernama Dwi Cipta.
***
Kita melaju ke nomor tiga. Sebuah cerita keluarga dengan dan masih memakai sudut sejarah sebagai jaring-jaring ceritanya. Namun ini rumitnya berbeda. Jangan dikira kisah sebuah keluarga tidak bisa menyentuh batas kolonialisme dan efek perang candu hingga dampaknya pada hari ini. Adalah, sseorang anak muda, nun, dari China Daratan sana, berlayar sampai ke Pulau Bangka. Bukan perjalanan dan perantauan biasa. Pertikaian, ideologi, penjajahan, kemiskinan, penderitaan dan darah bertebaran di sana-sini. Apa yang dibawa, apa yang ditinggalkan, apa yang diharapkan dalam impian, hal yang ditemukan sebagai kenyataan, adalah beban lain yang tak tertanggungkan. Tak cukup sebagai sebuah novel sejarah tapi juga psikologis. Rumit, hitam, dan serupa labirin. Tapi si penulis dengan rendah hati menyebutkan sebagai novel Bingkai Keluarga belaka.
Novel ini akan bergerak maju, terlontar jauh ke
belakang, keluar dari tengah, menyenggol bagian ujung, terus begitu. Licin dan
buas. Alurnya kira-kira begitu. Tahun 1914, tahun 30-an, 40-an, 60-an, hingga
90-an adalah noktah-noktah penting tak terbantahkan. Tak hanya soal benturan
budaya, tapi juga roh leluhur, orang mati, hantu gentayangan, kesaktian ala Sun
Go Kong akan hadir bukan sebagai pemanis belaka. 100 Tahun Kesunyian bahkan akan ciut olehnya. Kita mungkin hanya
akan menertawakan saja upaya Mo Yan dalam Big
Breast and Wide Hips, karena kita punya yang ini. Yang maha dasyat ini.
Ide gila ini mulai mengganggu para penulis seangkatannya atau yang jauh lebih
dulu mencuri start darinya, tapi belum sampai pada titik ancaman. Ruang untuk
dia bisa lebih luas. Setiap ada obrolan soal sulitnya menulis akan ada suara
kau dengar: “Asu e, novelku yang
belum ditulis itu..” Itu pasti tokoh kita. Dia perlu diberi panggung
seluas-luasnya. Hal-hal penting soal pembauran, adaptasi, mitos, dan kenangan
dari calon novel ini akan sangat kuat terasa. Seluruh elemen dan pisau bedah hanya
akan mampu membuka bagian-bagian tertentu saja dari novel besar ini. Selebihnya
tetaplah misteri. Orang akan membincangkannya kadang sambil bertengkar. Kajian
terhadap naskah ini akan jadi membosankan dan penuh pengulangan. Di waktu yang
tak lama saya bayangkan dia akan menjadi seorang peraih nobel dari Indonesia,
tentu dengan terlebih dahulu menyiapkan
negara yang akan memberinya suaka. Kami sudah merancang sedetail itu, berdua
saja. Apa boleh kata, kadang memang perlu dibungkus dengan obsesi palsu jika
saja novel ini benar-benar bisa selesai.
Suatu malam bahkan dia datang dengan coretan kertas dan berteriak sejak di
pintu. “Asuuu.....” lalu
membentangkan peta di kertasnya berisi tahun-tahun dan mulai menunjuk beberapa
titik. “Apakah sebaiknya aku memulai dari sini, atau dari sini?”
“Kenapa tidak dari sini?” tanyaku menunjuk titik yang lain.
“Dak, dak, bukan itu. Bukan itu..”
Lalu ia menjelaskan soal struktur waktu, ulang-alik apa yang akan terjadi dalam
karya besar itu. Detail, nyaris sempurna. Sambil menelan ludah karena merasa
sudah kalah dan menyerah, aku berkata, “kenapa tak kau tulis saja dengan cara
begitu.”
Dia menatapku sebentar, merogoh lantai,
meraih “rokok ringan, dadaku sesak e,”
lalu menghirup dalam-dalam dan berujar, “Masalahnya, aku dak tau bagaimana membuka
ceritanya...”
Bahkan saudara, cerita yang tinggal dibentangkan belaka, yang sudah ada
rancang-bangunnya, alangkah sulit mencari pintu masuknya. Lama tersiar kabar
novel itu menganga sejak bab pertama, meski beberapa hari lalu dia bilang, ada
beberapa versi pembukaan yang sama bagus dan punya kelemahan yang sama pula.
Beban? Tentu saja, karena ternyata ketika semua pembuka itu dilebur pun tak
menghasilkan bab pembuka yang semestinya.
Tapi setidaknya, ia mencoba versi lain, menulis kisah-kisah keluarga dengan
mencicilnya dalam beberapa cerpen. “Jelek,” kataku, “Kau menulis esai, bukan
cerpen.” Dan ia cengengesan. Tapi kukira itu bisa menjadi obat sementara, tapi
bagi dia tidak. Ada yang substansial yang belum sepenuhnya bisa keluar. “Adooh, sekarang aku malah dak bisa menuliskan yang itu lagiii..”
Kukira akan lebih rumit lagi, jangan-jangan koran yang memuat tulisan itu juga tidak mau lagi menerbitkan karena manajemen internalnya. “Dak ada itu.. daklah..” Katanya. Aku senyum-senyum saja. Dia lalu berbisik, “Kamu mau dak menerbitkan cerpenku yang itu..”
Duh...
Kukira memang ia harus berhenti di bab pertama itu
saja, sebagai pusara yang dikenang dan terus dikenang “di sini pernah akan
lahir novel besar” ketimbang ia memaksakannya selesai dan pembaca meninggalkan sebelum halaman 18, di mana bab
pertama sedang kuat-kuatnya merayu kebosanan kita.
Sebut saja calon penulis novel utama itu Sunlie Thomas Alexander.
***
Sekarang kita pindah ke bagian akhir. Bayangkan
misalnya, peristiwa kecil dalam satu malam, menjadi bencana besar bagi banyak
orang. Menangkap basah orang pacaran lalu berakhir dengan pembunuhan dan
berdarah-darah. Atau, kisah seorang guru mengaji yang ditumbangkan seperti
kehancuran sebuah rezim. Dan rumah Tuhan itu tak pernah tenteram hingga kini,
meski sudah berkali ganti juru kemudi. Atau bagaimana dengan seseorang yang
mati berkali-kali mengisahkan biografi keluargnya yang tidak baik-baik saja?
Atau bagaimana kalau menulis novel dengan latar tahun 90-an yang menyertakan
ingatan banyak orang, mengisinya dengan banyak lagu-lagu populer di zaman itu
serta tontonan dan sejumlah hal lainnya? Bagaimana? Biasa saja? Iya sih. Itulah sebabnya saya menaruh ini di bagian
terakhir saja, karena ini tentang saya.
Banyak, ada banyak sekali gagasan besar menurutku, tapi remeh-temeh menurut
diriku yang lain yang tidak pernah jadi keluar. Bahkan saking hebat dan
banyaknya, saya seringkali lupa pernah akan menulisnya. Dan setiap rencana itu
bahkan batal kuceritakan pada pasangan karena ide itu akan kuncup sendiri
bahkan sebelum ia mulai menertawainya. Percayalah, ketika lintasan karya yang
gagal lahir itu lewat, rasanya demikian ngilu, perih dan sakit. Jadi jangan
tertawakan mereka, sebab aku tahu betul bagaimana sakitnya. Kasian e, Bosku.
Tugasmu melanjutkan ke nomor berikutnya.
Oktober 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar