5. Pada Sebuah petang
Syahdan, pada sebuah petang
yang cerah, seorang mahasiswa yang didera deadline skripsi mengunjungi seorang
cerpenis. Untuk mempermudah saja, kita sebut saja pemuda itu bernama Reddy dan
sang cerpenis kita panggil dengan nama Sunlie. Mereka sudah janjian sebelumnya.
Dua orang tampan akan bertemu. Senja
merunduk malu-malu. Reddy mahasiswa yang ketampanannya membuat ia demikian
betah di kampus, dan Sunlie berkat ketampanan pula bertahan sebagai penulis.
Tak usah diperdebatkan, orang kedua yang saya sebut, setidaknya merasa nyaman
jika ditulis demikian.
“Saya mau membahas Malam Buta
Yin untuk skripsi saya, Bang,” begitulah Pemuda Reddy mengulang penjelasannya
sore itu, sekedar basa-basi di awal jumpa.
“Kenapa tertarik mengkaji itu?”
Sunlie membalas dengan sedikit berbasa-basi pula, namun sedikit berlagak
angkuh.
“Saya suka cerpen-cerpen, Abang. Abang salah satu inspirasi saya dalam menulis. Status FB abang juga garang dan berani.”
“Wah menulis juga? Soal FB itu, begitulah.”
“Iyalah Bang, anak Sasindo, gitu loh. Adalah bang beberapa cerpen dan puisi. Sekarang lagi proses bikin novel juga, Bang.”
“Wah bagus itu. Saya juga sedang proses menulis novel. Baru sampai di bab pertama. Novel yang sulit, tampaknya. Padahal alurnya sudah tumbuh di kepala.”
“Wah semoga selesai, novelnya. Saya pernah dengar itu dari yang lain. Bang Koto mungkin ya? Adik-adik kelasku juga pernah membicarakannya, Anik kalau gak salah.”
“Ah itu...”
“Kata temanku, Mang Oji, karya itu seperti jatuh cinta: mesti dituntaskan biar gak bikin demam.”
“Saya suka cerpen-cerpen, Abang. Abang salah satu inspirasi saya dalam menulis. Status FB abang juga garang dan berani.”
“Wah menulis juga? Soal FB itu, begitulah.”
“Iyalah Bang, anak Sasindo, gitu loh. Adalah bang beberapa cerpen dan puisi. Sekarang lagi proses bikin novel juga, Bang.”
“Wah bagus itu. Saya juga sedang proses menulis novel. Baru sampai di bab pertama. Novel yang sulit, tampaknya. Padahal alurnya sudah tumbuh di kepala.”
“Wah semoga selesai, novelnya. Saya pernah dengar itu dari yang lain. Bang Koto mungkin ya? Adik-adik kelasku juga pernah membicarakannya, Anik kalau gak salah.”
“Ah itu...”
“Kata temanku, Mang Oji, karya itu seperti jatuh cinta: mesti dituntaskan biar gak bikin demam.”
“Wah, romantis juga temanmu itu. Dia
penyair juga?”
“Sempat, Bang. Cuma dia peragu. Meyakini bahwa Toni Morisson adalah perempuan, terasa sulit baginya dengan alasan nama. Mungkin buku puisinya terbit ketika ia berusia 70 tahun.”
“Sempat, Bang. Cuma dia peragu. Meyakini bahwa Toni Morisson adalah perempuan, terasa sulit baginya dengan alasan nama. Mungkin buku puisinya terbit ketika ia berusia 70 tahun.”
Jeda sejenak.
“Saya
merasa dekat dengan cerita-ceritanya, Bang. Saya orang Bangka juga dan pernah
sekolah di Belinyu, kota asal cerita-cerita Abang.”
“Oh ya, wah asyik nih.”
Pertemuan seasal memang tema paling asyik bagi perantau. Percakapan mulai lancar, kopi panas disajikan, rokok mulai dibakar.
Pertemuan seasal memang tema paling asyik bagi perantau. Percakapan mulai lancar, kopi panas disajikan, rokok mulai dibakar.
Obrolan
pun berkisar seputar Belinyu, tempat asal cerpenis kita. Mereka mulai menyibak
kota kecamatan itu dengan ketakjuban, seolah di antara mereka berdua, satu di
antaranya adalah yang lebih dulu menemukan kota kecil itu. Di mana mereka bisa
membeli TKW, tempat pacaran yang paling tersembunyi, di mana salon yang ada
perempuan semok, di warung rokok siapa mereka bisa menemukan gadis cantik,
sekolah mana yang menyimpan amoy-amoy yang segar...
Seperti
biasa, gosip mulai dilempar.
“Oh, kamu dan Dea Anugrah itu punya cerita koplak begitu ya?”
“Oh, kamu dan Dea Anugrah itu punya cerita koplak begitu ya?”
“Iya
bang, sudah ditulis di seri sebelumnya oleh Kuli pelabuhan ini dan diposting di
blog ini juga..”
“Iya sih, tapi kurang mendalam..”
“Kurang dramatis juga, ya Bang?”
“Jadi kamu dan Dea Anugrah...?”
“Gak persis gitu sih, Bang, ceritanya.”
“Tapi benar kan?”
“Iya sih, tapi kurang mendalam..”
“Kurang dramatis juga, ya Bang?”
“Jadi kamu dan Dea Anugrah...?”
“Gak persis gitu sih, Bang, ceritanya.”
“Tapi benar kan?”
“He-he,
gimana ya...”
Setelah
rahasia tempat habis digali, tema berganti ke lelucon lain.
“Aku
pernah digoda oleh orang gila bencong di daerah pasar lama dekat rumah Abang.”
Reddy membuka cerita setelah jeda singkat. “Nah Abang pasti tahu si homo-gila
itu,”
“Wah yang mana itu?”
“Itu yang biasa nongkrong di lapangan dekat SMA. Dia suka mengejar anak-anak cowok kalau pulang sekolah.”
“Wah yang mana itu?”
“Itu yang biasa nongkrong di lapangan dekat SMA. Dia suka mengejar anak-anak cowok kalau pulang sekolah.”
“Oh yang itu...”
“Wah aku pernah beberapa kali digoda dan sempat dikejar, Bang.” Merasa Si cerpenis mengenal tokoh yang sama, pemuda kita makin bersemangat, seolah ialah pemilik tunggal legenda itu. Bahwa pengalaman yang nantinya akan diceritakan cerpenis kita tidak ada arti apa-apa. “Panik setengah mati aku, Bang. Untung bisa sembunyi di pasar ikan. Sampai tak berani lewat lapangan kalau pulang sekolah. Takut kali sama si homo itu.”
“Wah aku pernah beberapa kali digoda dan sempat dikejar, Bang.” Merasa Si cerpenis mengenal tokoh yang sama, pemuda kita makin bersemangat, seolah ialah pemilik tunggal legenda itu. Bahwa pengalaman yang nantinya akan diceritakan cerpenis kita tidak ada arti apa-apa. “Panik setengah mati aku, Bang. Untung bisa sembunyi di pasar ikan. Sampai tak berani lewat lapangan kalau pulang sekolah. Takut kali sama si homo itu.”
Ia
tertawa, puas sekali. “Abang pasti
pernah ketemu juga...”
“Iya, aku pernah...” Sunlie menyambar kopi, menghirupnya sejenak, lalu membakar sebatang rokok.
“Dikejar juga?” Sambar Reddy cepat. “Wah, kalau sekarang pasti kutimpuk dia pakai batu.”
“Iya, aku pernah...” Sunlie menyambar kopi, menghirupnya sejenak, lalu membakar sebatang rokok.
“Dikejar juga?” Sambar Reddy cepat. “Wah, kalau sekarang pasti kutimpuk dia pakai batu.”
Diam sejenak.
“Pernah
baca cerpenku di Jawa Pos yang tentang lelaki setengah dewa?”
Diam, Reddy
menggaruk kepala, mesem-mesem.
“Aku menuliskan cerita tentang dia...”
“Aku menuliskan cerita tentang dia...”
“Wah si Abang ternyata punya
pengalaman juga. Nanti aku baca, Bang. Ternyata penting juga orang itu bagi Abang, ya?”
Sunlie tak langsung menjawab. Ia tersenyum. Ringkas. Lalu menghisap rokoknya dalam-dalam, memainkan sejenak asapnya di dalam mulut lalu menghebuskan kuat-kuat. Dengan keheningan yang sama, ia mengambil cangkir kopinya dan menghisap dengan cecap yang menggema sampai ke rumah tetangga.
Sunlie tak langsung menjawab. Ia tersenyum. Ringkas. Lalu menghisap rokoknya dalam-dalam, memainkan sejenak asapnya di dalam mulut lalu menghebuskan kuat-kuat. Dengan keheningan yang sama, ia mengambil cangkir kopinya dan menghisap dengan cecap yang menggema sampai ke rumah tetangga.
“Itu pamanku,” ucapnya sambil meletakan
cangkirnya ke lantai. Suaranya pelan tetapi tajam. Mendesis dan agak bergetar.
“Itu
paman bungsuku.” Ia mengulang lebih tegas, lalu memandang lurus ke depan.
Lalu kembali hening. Hening yang panjang. Di luar, malam sudah dari tadi bertandang.
2017-2019
Lalu kembali hening. Hening yang panjang. Di luar, malam sudah dari tadi bertandang.
2017-2019
1 komentar:
Lai ndak paman bungsunyo nan mangaja2 si Reddy tu?
Posting Komentar