29 Mar 2019

Kisah Penulis Muda (3)



5. Pada Sebuah petang


            Syahdan, pada sebuah petang yang cerah, seorang mahasiswa yang didera deadline skripsi mengunjungi seorang cerpenis. Untuk mempermudah saja, kita sebut saja pemuda itu bernama Reddy dan sang cerpenis kita panggil dengan nama Sunlie. Mereka sudah janjian sebelumnya.
            Dua orang tampan akan bertemu. Senja merunduk malu-malu. Reddy mahasiswa yang ketampanannya membuat ia demikian betah di kampus, dan Sunlie berkat ketampanan pula bertahan sebagai penulis. Tak usah diperdebatkan, orang kedua yang saya sebut, setidaknya merasa nyaman jika ditulis demikian.
          
            “Saya mau membahas Malam Buta Yin untuk skripsi saya, Bang,” begitulah Pemuda Reddy mengulang penjelasannya sore itu, sekedar basa-basi di awal jumpa.
            “Kenapa tertarik mengkaji itu?” Sunlie membalas dengan sedikit berbasa-basi pula, namun sedikit berlagak angkuh.
            “Saya suka cerpen-cerpen, Abang. Abang salah satu inspirasi saya dalam menulis. Status FB abang juga garang dan berani.”
            “Wah menulis juga? Soal FB itu, begitulah.”
            “Iyalah Bang, anak Sasindo, gitu loh. Adalah bang beberapa cerpen dan puisi. Sekarang lagi proses bikin novel juga, Bang.”
            “Wah bagus itu. Saya juga sedang proses menulis novel. Baru sampai di bab pertama. Novel yang sulit, tampaknya. Padahal alurnya sudah tumbuh di kepala.”
            “Wah semoga selesai, novelnya. Saya pernah dengar itu dari yang lain. Bang Koto mungkin ya? Adik-adik kelasku juga pernah membicarakannya, Anik kalau gak salah.”
            “Ah itu...”
            “Kata temanku, Mang Oji, karya itu seperti jatuh cinta: mesti dituntaskan biar gak bikin demam.”
            “Wah, romantis juga temanmu itu. Dia penyair juga?”
            “Sempat, Bang. Cuma dia peragu. Meyakini bahwa Toni Morisson adalah perempuan, terasa sulit baginya dengan alasan nama. Mungkin buku puisinya terbit ketika ia berusia 70 tahun.”
            Jeda sejenak.
“Saya merasa dekat dengan cerita-ceritanya, Bang. Saya orang Bangka juga dan pernah sekolah di Belinyu, kota asal cerita-cerita Abang.”
            “Oh ya, wah asyik nih.”
            Pertemuan seasal memang tema paling asyik bagi perantau. Percakapan mulai lancar, kopi panas disajikan, rokok mulai dibakar.
Obrolan pun berkisar seputar Belinyu, tempat asal cerpenis kita. Mereka mulai menyibak kota kecamatan itu dengan ketakjuban, seolah di antara mereka berdua, satu di antaranya adalah yang lebih dulu menemukan kota kecil itu. Di mana mereka bisa membeli TKW, tempat pacaran yang paling tersembunyi, di mana salon yang ada perempuan semok, di warung rokok siapa mereka bisa menemukan gadis cantik, sekolah mana yang menyimpan amoy-amoy yang segar...
Seperti biasa, gosip mulai dilempar.
            “Oh, kamu dan Dea Anugrah itu punya cerita koplak begitu ya?”
“Iya bang, sudah ditulis di seri sebelumnya oleh Kuli pelabuhan ini dan diposting di blog ini juga..”
            “Iya sih, tapi kurang mendalam..”
            “Kurang dramatis juga, ya Bang?”
            “Jadi kamu dan Dea Anugrah...?”
            “Gak persis gitu sih, Bang, ceritanya.”
            “Tapi benar kan?”
“He-he, gimana ya...”
Setelah rahasia tempat habis digali, tema berganti ke lelucon lain.
“Aku pernah digoda oleh orang gila bencong di daerah pasar lama dekat rumah Abang.” Reddy membuka cerita setelah jeda singkat. “Nah Abang pasti tahu si homo-gila itu,”
            “Wah yang mana itu?”
            “Itu yang biasa nongkrong di lapangan dekat SMA. Dia suka mengejar anak-anak cowok kalau pulang sekolah.”
            “Oh yang itu...”
            “Wah aku pernah beberapa kali digoda dan sempat dikejar, Bang.” Merasa Si cerpenis mengenal tokoh yang sama, pemuda kita makin bersemangat, seolah ialah pemilik tunggal legenda itu. Bahwa pengalaman yang nantinya akan diceritakan cerpenis kita tidak ada arti apa-apa. “Panik setengah mati aku, Bang. Untung bisa sembunyi di pasar ikan. Sampai tak berani lewat lapangan kalau pulang sekolah. Takut kali sama si homo itu.”
Ia tertawa, puas sekali.  “Abang pasti pernah ketemu juga...”
            “Iya, aku pernah...” Sunlie menyambar kopi, menghirupnya sejenak, lalu membakar sebatang rokok.
            “Dikejar juga?” Sambar Reddy cepat. “Wah, kalau sekarang  pasti kutimpuk dia pakai batu.”
            Diam sejenak.
“Pernah baca cerpenku di Jawa Pos yang tentang lelaki setengah dewa?”
Diam, Reddy menggaruk kepala, mesem-mesem.
“Aku menuliskan cerita tentang dia...”
            “Wah si Abang ternyata punya pengalaman juga. Nanti aku baca, Bang. Ternyata penting juga orang itu bagi Abang, ya?”
            Sunlie tak langsung menjawab. Ia tersenyum. Ringkas. Lalu menghisap rokoknya dalam-dalam, memainkan sejenak asapnya di dalam mulut lalu menghebuskan kuat-kuat. Dengan keheningan yang sama, ia mengambil cangkir kopinya dan menghisap dengan cecap yang menggema sampai ke rumah tetangga.
 “Itu pamanku,” ucapnya sambil meletakan cangkirnya ke lantai. Suaranya pelan tetapi tajam. Mendesis dan agak bergetar.
“Itu paman bungsuku.” Ia mengulang lebih tegas, lalu memandang lurus ke depan.
            Lalu kembali hening. Hening yang panjang. Di luar, malam sudah dari tadi bertandang.

2017-2019

1 komentar:

Arif P. Putra mengatakan...

Lai ndak paman bungsunyo nan mangaja2 si Reddy tu?