Jadi gini, para penulis kita seringkali tingkahnya memuakkan. Ambil saja contoh
seorang kawan penulis yang bisa diambil pelajaran. BTW, saya sudah diiblokir
orangnya.
Hal-hal buruk
dalam hidup kawan kita ini terdokumentasi
cukup dramatis di status-status facebooknya. Sebenarnya semua status
facebooknya bernada suram. Belakangan ini cukup intens keluh kesahnya hadir di
beranda. Resikonya tentu saja bisa dibaca, beberapa orang ada yang unfollow dan
tak sedikit pula yang memblokir. Masalahnya, di balik status dramatik
semangatnya untuk menampilkan diri sendiri tetap mencolok.
Ambil saja contoh secara acak dari 8 statusnya 2
hari belakangan. Dalam dua hari:
“Negara
apa ini yang tak bisa melindung penyairnya. Semalam di kafe Basabasi, korekku
hilang dihajar kawan semeja.”
“Beban berat dalam hidup hanya bisa terasa biasa bagi seorang sastrawan. Redaktur-redaktur goblok itu, koran-koran kacangan itu, tak pernah tahu betapa kebenaran semata yang ada dalam tulisanku. Puisiku adalah suara hati yang bening, cerpenku adalah hamparan realitas, dan kritik-kritiku adalah pancaran cahaya Ilahi. Sesuram apa pun hidup, aku akan tetap menulis..”
“Berikut kupostingkan sebuah sajak indah yang pernah dimuat di koran Jogja Ekspress. Tak ada satu pun yang akan mampu menafsirnya. Tak akan ada. Tidak para (konon) krtikus itu, tidak pula para penulis (sic) yang payah itu. sastra ini payah, rusak di dalam (interen) rusak pula di luar (eksternal).”
“Beban berat dalam hidup hanya bisa terasa biasa bagi seorang sastrawan. Redaktur-redaktur goblok itu, koran-koran kacangan itu, tak pernah tahu betapa kebenaran semata yang ada dalam tulisanku. Puisiku adalah suara hati yang bening, cerpenku adalah hamparan realitas, dan kritik-kritiku adalah pancaran cahaya Ilahi. Sesuram apa pun hidup, aku akan tetap menulis..”
“Berikut kupostingkan sebuah sajak indah yang pernah dimuat di koran Jogja Ekspress. Tak ada satu pun yang akan mampu menafsirnya. Tak akan ada. Tidak para (konon) krtikus itu, tidak pula para penulis (sic) yang payah itu. sastra ini payah, rusak di dalam (interen) rusak pula di luar (eksternal).”
“Apa
yang diwariskan sastrawan masa lalu? Aku tak pernah baca mereka. Karyaku adalah
karyaku.”
“Aku masih mencintaimu, mantan. Seperti mencintai tulisan-tulisanku yang dimuat dan akan terbit di koran.”
“Aku masih mencintaimu, mantan. Seperti mencintai tulisan-tulisanku yang dimuat dan akan terbit di koran.”
“Tadi
ada yang senyum-senyum di acara diskusi bersama Agus Noor dan Gunawan Maryanto.
Mau menyapa mungkin, tapi gak enak. Tenang pak, aku bukan jenis sastrawan yang
suka pamer. Bersastra bagiku bukan kumpul-kumpul macam itu. tapi kerja keras.
Besok kalau ketemu lagi kau pasti mengejarku untuk minta tandatangan. Dan
puisiku bukan semata pembungkus naso angkringan.
Btw, alhamdulillah sukses foto bareng sama mas Agus dan Mas Cindil. Pengen minta tandatangan tapi bukunya belum sempat beli. Sudi mengasih? Pliss..”
Btw, alhamdulillah sukses foto bareng sama mas Agus dan Mas Cindil. Pengen minta tandatangan tapi bukunya belum sempat beli. Sudi mengasih? Pliss..”
“Hujan.
Rokok habis. Tapi ide sedang berkembang. Apa aku harus ke warung, atau tetap
menulis di android ini?”
“Dasar
penerbit payah. Menyesal mereka menolak naskahku. Lihat saja nanti. Pedagang
buku tolol macam sebut saja JBS akan menyesal menolak menjualkan buku saya. Sombong,
betul-betul sombong. Berani betul dia menolak, emang berapa buku bestseller mereka laku sebulan? paling 3 biji. Stand Buku aja suka CoD dengan saya, kok.”
Kukira cukup sebagai alasan kenapa orang-orang mulai bosan dengan penulis yang satu ini. Beberapa statusnya membuat orang gatal untuk tidak ikut-ikutan menanggapi kepalanya yang penuh micin. Bodoh kokya keterlaluan. Sudah kaubaca baik-baik statusnya? Payah betulkan?
Sebagai pengikut yang baik aku tetap memberi jempol di nyaris setiap statusnya, memberi komen-komen panas dan pancingan dengan kata singkat penuh ejekan: “Mantap, luar biasa. Lanjut bung. Ciee cieee. cerrr-ke-cehhh. habis merancap, Bung? Suara golkar suara rakyat.” Dan banyak lagi. Dan itulah mungkin aku diblokirnya. Sebab, siapa pun tahu, di belakangnya aku adalah menggunjing yang tangguh, lebih-lebih mengenai dirinya. Dia galak, menulis status terang-terangan, aku juga begitu.
Heran deh, kenapa orang-orang suka memamerkan proses
kreatif mereka? Saya, meski menulis sedikit, baru mulai menulis 3 tahun yang
lalu. Alhamdulillah, terkumpul dalam 42 antologi bersama, baik cerpen, puisi,
esai, naskah drama, kritik. Selain itu ada 1 buku puisi yang aku sengaja terbitkan secara
indie. Kumcerku yang baru cetak ulang juga diberi pengantar oleh Irwan Bajang dan di endors oleh Dea Anugrah dan Y. Thendra BP. Toh, aku merasa terus belajar.
Belajar tak pernah berhenti, itu kata guru saya Puthut EA. Puisi saya pernah masuk
200 besar untuk lomba penulisan puisi Asia Tenggara dan Selatan, dalihbahasakan
ke dalam bahasa Urdu dan Suriname. Doakan tengah tahun ini novel saya bisa terbit.
Sahabatku di FB ini adakah yang mengalami peristiwa menjengkelkan semacam ini dengan sesama penulis? Kata kuncinya, rendah hati.
Sahabatku di FB ini adakah yang mengalami peristiwa menjengkelkan semacam ini dengan sesama penulis? Kata kuncinya, rendah hati.
***
“Sial,
internet sialan, lemot. Status FBku kok terkirim, sih! Tapi lumayan panjang nih. Posting di blog ah!”
2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar